TUKANG PIKAT
.
Pergi kami,
di antara tidur dan jagamu.
Hari masih pagi,
tak ada yang patut dirayakan.
Langit di sebelah timur yang dingin.
.
Telah tiba kami,
di puncak itu.
Bukit, bukit namanya.
Sewaktu-waktu perang bisa meletus di sini.
Sewaktu-waktu tangis dan harapan bisa mati di sini.
.
“Apa yang kau tunggu,
lemparkan sekarang tali itu!”
Pada gagangnya kau bukalah simpul,
pada ujungnya biarlah kuikat kayu,
kulempar ia,
setinggi mungkin.
.
“Tali dan getah sudah selesai kawan,
mana speaker?”
Kunyalakan sekarang.
Suara apa yang kita punya?
“Cucak Ijo ribut,
suara Kapas Tembak yang membara,
suara Konin, yang aduh merdunya.”
.
Telah tiba panggilan,
telah nyala harapan.
“Oh wahai kawanan burung, hinggaplah kalian!”
.
Koto Berapak, 27 April 2021
.
TERSESATNYA TUKANG PIKAT
.
Jangan kau menjadi sejarah atasku;
menjauh dan lampau.
Dekatkanlah bayangmu pada jalan hidup yang liku.
Lalu dengarkan nyanyian ini:
.
Konon, nun dalam hutan,
bersila seorang dewa,
apabila ia terjaga,
diajaknya engkau selatan,
ke utara yang berlembah.
Ia tuntun engkau bagai seorang imam yang maha benar.
.
Tukang pikat itu,
setidaknya dua sampai tiga kali
ia pernah mengalami.
“Rasanya perkampungan sangat dekatlah lagi”
Pekik detik merajam,
ada serunai dari sekitarnya bagai memanggil.
Ia mencari siapakah yang menciptakan alunan demikian indah.
Tapi suara kadang hanya suara.
Kakinya tak kunjung sampai,
ke tempat di mana harapan tentang rumah masih terngiang.
Diarahkannya matanya ke pisau takdir.
Namun serunai atau apa,
tak pernah benar-benar ditemuinya.
Ia berpusing di tempat yang itu-itu juga.
.
“Ah, tersesat dalam duka yang panjang,
mungkin itu hanya bualan belaka! Hah? Dewa?”
Katamu.
.
Bayang, 30 Juni 2021
.
Rion Albukhari lahir di Limau-Limau, Bayang Utara, Pantai Barat Sumatera. Mahasiswa ilmu sejarah Unand ini bergiat dalam organisasi Cendekia dan Rumah Baca Pelopor 19. Ia sedang mempersiapkan buku puisinya, Inilah Sajak Terakhir.
.
TARIAN FILSUF
: Hamlet
.
‘kau lupa baca tradisi
pepatah hilang, tergerus gelap
itu masa silam
.
—aku memaku ingatan
.
sebatang korek nyalakan lilin
meraba masa kini
.
ilalang tumbuh
di penantian morfem
kita rayakan sampul baru
.
—mengerat ladang di helai mimpi
dua kutub menggali sesat
.
lempengan lilin melumuri lisan kita
memenggal cinta
aksara bersih mulai terbakar
di sayatan maut, yang mengintai
.
lalu, kita eja diksi
mengejar sinar di geligi matahari
sama-sama kita bergegas
memutar peradaban
.
—isi kepalaku tak pernah kekal
mengingat firaun, dajal, atau siapa saja
.
sungai-sungai mengalir
membawa keberaniannya
di putaran sejarah
penuh intrik sihir, pengungkap takdir
.
kita tak lagi bermimpi
cermin malam tenggelam
bersembunyi, di kota-kota tanpa penghuni
.
—kalimat tak pernah selesai
.
teknologi kini berkecamuk
seperti bunga rampai
penghias jalan-jalan, yang kita lalui
.
—penuh pandemi
.
siang dan malam
puisi lantunkan duka
.
tebing merapuh di bibir khatulistiwa
isyarat jadi warisan
dari leluhur yang telah kita lupakan
seperti menghitung galaksi, gemintang dan meteor
.
—kita menyapu kota
di riak ombak
.
seharusnya moyang kita tersenyum
pikiran kita terpenjara
di halte baru
.
tradisi menjadi setumpuk duka
di tanah-tanah peninggalan
tersiram hujan, pemurka masa
.
—itu revolusi alam
.
lembaran buku, tersingkap satu-persatu
epilog drama di zaman baru
seperti tarian filsuf
mengaburkan Noc S Hamletem
Malang, 2021
Vito Prasetyo lahir di Makassar, 24 Februari 1964; dan tinggal di Malang. Ia menulis puisi, cerpen, esai, dan resensi di media cetak lokal, nasional, dan Malaysia. Puisi-puisinya juga termaktub dalam berbagai antologi bersama.
Leave a Reply