Cerpen Sandza (Republika, 2 Februari 2014)
KALAM Ilahi bermukim di dinding kamarku. Hampir memenuhi separuhnya. Asmaul husna termaktub di dinding kiri, ayat Qursi di dinding sebelah kanan. Doa sebelum dan sesudah tidur bergandengan di dinding depan tempat tidur terbaca jelas ketika aku rebahan. Lafaz Allah bersanding dengan lafaz Rasullulah dalam hiasan tali di bawah lampu kristal.
Entah semenjak kapan semua itu menjadi penghuni kamarku. Mungkin, semenjak kecil. Mungkin, semenjak pertama kali aku mendiami kamar sendiri. Atau, bisa saja semua itu sudah ada semenjak rumah ini berdiri. Tak kuingat. Karena, semenjak umur empat tahun, ketika aku sudah berhenti ngompol di kasur, ayah dan ibu dengan bangga memperkenalkan kamar ini sebagai tempat peraduanku yang baru.
”Agar nama-Nya tetap terpatri di hati, jiwa, dan ragamu, Nak,“ begitu kata ayah saat suatu ketika lidahku bertanya tentang dinding kamarku yang dipenuhi lafaz-lafaz suci.
Benar saja, nama-Nya begitu tak lepas di kepalaku. Bagaimana tidak, ruangan yang sudah kutempati tiga belas tahun ini menjadi satu-satunya tempat untuk menghabiskan waktu selain sekolah. Dinding kamar sudah dijadikan tempatku mengadu untuk diteruskan kepada Tuhan kala senyap menerjang dinding hati. Kalam-kalam Ilahi itu sudah menjadi santapan mataku setiap hari.
Ayah dan ibu tak lelah melahap waktu yang bermukim di tubuh jam hampir seharian penuh, membuat peraturan hidup yang super ketat kepadaku. Kata mereka, itu semua demi kebaikanku agar aku tak terjerumus dalam pergaulan tak baik remaja kota besar; menerbangkan angan dan harapan dalam balutan narkoba, menjadi lelaki jantan dengan bergumul menjadi anggota geng motor, serta perbuatan-perbuatan yang dicap nakal kebanyakan mata.
Peraturan super ketat tersebut berdampak pada kemiskinan ilmu agamaku. Ayah hanya mengundang guru ngaji privat datang ke rumah sampai aku fasih merangkai ayat-ayat suci serta tahu tata cara ibadah wajib, semisal, shalat dan puasa. Sampai bangku sekolah kulahap tiga tahun di SD, semua sudah lancar kukaji. Selepas itu, wajah-wajah guru privat silih berganti menggantikannya. Banyak sekali, sesuai dengan pelajarannya. Pelajaran yang dianggap super penting kebanyakan orang. Apalagi, kalau bukan privat bahasa asing beserta ilmu-ilmu eksak. Kata ayah, itu akan berguna untuk menopang masa depanku.
”Kau belajar ilmu agama dari sini saja, Nak,” ayah menumpukkan belasan buku agama di atas meja belajarku setelah kuajukan keinginan untuk mengikuti kegiatan pengajian di sekolah seminggu dua kali sepulang sekolah.
Ayah menggelengkan kepala yang artinya keinginanku itu ditolak mentah-mentah. Sopir pribadiku tetap mengantar dan menjemputku tepat waktu. Tak pernah terlambat barang satu menit juga.
Ingin sekali aku protes dengan keadaan yang memenjarakanku ini, bagaimana bisa kaya ilmu agamaku jika hanya mengunyah pelajaran agama di sekolah, dua jam? Lagi pula, aku bukan tipe orang yang suka membaca. Melahap buku senikmat keju. Melihat buku yang tebalnya setara dengan tebal dinding itu mulutku sudah menguap, apalagi membacanya. Jangan-jangan, baru mencicipi halaman pertama saja kelopak mataku sudah mengatup, mengantarkanku ke alam mimpi.
Kala dinding kamar tak mampu menjadi tempatku mencurahkan segala sepi yang bergemuruh di sanubari, kuhibur diri dengan menjelajah dunia maya. Di sanalah awal mula aku bertemu dengan guru-guru agama. Kupanggil mereka dengan sebutan ustaz maya. Tidak hanya satu, tetapi aku memiliki banyak ustaz maya.
Sudah dua tahun lamanya aku berguru ilmu agama kepada ustaz maya. Pasif memang cara belajarku. Kukaji petuah mereka yang bermukim di blog pribadi mereka. Kukaji cara beribadah dan segala persoalan hidup beragama dari ruang tanya-jawab yang tersedia melimpah.
Kadang, aku mengernyitkan kening ketika mendapati perdebatan tata cara shalat yang benar seperti apa. Pun, kepala cukup pening menyaksikan pergulatan argumen perihal tata cara memulai melafazkan ayat suci Alquran. Perihal perayaan hari besar agama, perayaan kematian, perayaan-perayaan keagamaan lainnya yang kerap beradu hadis menjadi perbincangan yang tak urung membuat keyakinanku kalang kabut. Hingga, akhirnya kuputuskan akan beribadah menurut tata cara yang logikanya masuk akal.
Dari ustaz maya A kuambil tata cara melaksanakan shalat karena menurutku masuk logika. Dari ustaz maya B kuambil tata cara permulaan membaca ayat-ayat suci karena lagi-lagi menurutku itu masuk logika. Kajian dari ustaz C perihal ibadah-ibadah sunah kutolak mentah-mentah karena tak sejalan dengan logikaku. Semenjak itu, aku beribadah menurut hasil kajianku yang masuk logika.
”Mengapa tata cara shalatmu seperti itu?” tiga lipatan di kening kawanku bertanda heran selepas kutunaikan shalat Zhuhur di mushala sekolah suatu ketika.
”Apa ada yang salah?” aku bertanya cukup terbata, takut sekali hasil kajianku kepada ustaz-ustaz maya selama ini keliru.
”Tidak ada yang salah, selama pandanganmu terhadap suatu perayaan keagamaan tidak seperti yang kau utarakan beberapa hari lalu,” jawaban kawanku ini semakin membuatku bimbang.
”Apa salahnya? Toh, keyakinanku masih Islam,” kusemai argumen untuk memupus keraguanku.
”Tapi, bukan berarti mencampuradukkan mazhab,” ia tak kalah menyulam argumen.
”Mengapa kita beribadah sesuai satu mazhab? Mengapa kita tidak beribadah sesuai apa yang benar-benar dilakukan Rasulullah? Lagi pula, keterbatasan gerakku tak bisa mengetahui batasan-batasan dan perbedaan antarmazhab. Apa dengan begitu ibadahku dianggap salah juga?“ kukeluarkan isi hati yang selama ini mengganjal.
”Kawan, kita bukan hidup di zaman Rasul, di mana kita bisa melihat dan mengamati secara langsung bagaimana Rasul beribadah. Lagi pula, dengan meyakini satu mazhab kita bisa berlindung di hari perhitungan kelak karena iman-imam ini sudah lebih paham tata cara beribadah. Belajarlah secara kafah, jangan setengah-setengah,“ ia menepuk bahuku, menatapku cukup lamat, mungkin iba karena ia tahu keterbatasan gerak hidupku.
Hening sejenak. Kukaji lamat-lamat perkataan kawanku ini. ”Apa yang harus aku lakukan sekarang? Sia-siakah ibadahku selama ini?“
”Kau pasti lebih tahu apa yang harus kau lakukan. Aku percaya kepadamu, kawan. Kau selalu bisa belajar cepat ilmu lain. Mengapa ilmu agama harus diliputi bimbang?“ ia meninggalkanku dalam lamunan panjang.
Lamunanku terpenggal oleh tepukan sopir pribadiku yang mendarat di pundakku untuk mengajak lekas pulang.
***
Bimbang masih terbaca di pikiranku perihal cara beribadahku yang takut hanya sebagai pekerjaan yang sia-sia, tak bernilai sama sekali. Kesibukan menjelang ujian nasional yang menyita hampir seluruh isi kepalaku tak urung membuatku kembali kepada keyakinan untuk berbibadah menurut apa yang masuk logika. Terpaksa, harus kulakukan ini. Aku tak ini ada jeda dalam penghambaanku. Tak mungkin aku meninggalkan peribadahan walau hanya sementara waktu sebelum mengetahui tata cara beribadah yang sebenarnya seperti apa. Itu sama saja dengan aku mengafirkan diri.
Denyut bimbangku kerap menghantui. Apalagi, ketika suatu hari, menjelang ujian akhirku tinggal menunggu satu purnama memunculkan wajahnya di tubuh langit malam, ibu bercerita kalau tiga purnama lagi kami sekeluarga akan pindah ke kota kecil karena ayah dipindahtugaskan kerjanya. Sontak, aku semakin bingung. Kawanku yang kuajak berbincang tempo hari tak bisa kuajak kembali berdiskusi karena terlalu sibuk dalam lautan buku demi sebuah angka fantastis di tubuh ijazah nanti.
”Setidaknya, ibadah kau kali ini telah mengarah kepada satu mazhab,“ itu tuturnya terakhir kali, beberapa minggu silam.
Ayah dan ibu memilih rumah di sebuah perkampungan yang jaraknya tak jauh dari kota, bisa dijangkau sepuluh menit berkendaraan menuju mulut jalan raya. Berbeda dengan rumahku di kota besar ini, di tengah hiruk pikuk kehidupan kota yang beringas. Walau setelah seminggu lamanya ayah dengan tegas untuk tidak keluar rumah kecuali untuk pergi ke masjid dan harus menyibukkan diri untuk urusan kuliah, ketika mendapati perilaku sebagian pemuda kampung yang mengkhawatirkan.
Kuturuti petuah ayah karena memang benar adanya. Selang beberapa lama, setelah semakin sering mengikuti shalat berjamaah, ada ketertarikanku untuk membantu ustaz di masjid yang mengajar anak-anak kampung sendirian. Setidaknya, aku bisa mengajari tata cara berdoa atau membantu mengeja lafaz suci di tubuh Alquran.
”Maaf, aku tak bisa mengjinkan kau mengajari mereka ilmu agama. Kau tak sealiran dengan kami,“ ustaz itu menjawab dengan cukup lembut ketika kuutarakan perihal keinginanku untuk membantunya mengajar anak-anak yang setiap selepas maghrib belajar mengaji kepadanya.
Aku terperangah. Mengapa caraku berdoa, caraku menegakkan shalat, caraku beribadah yang menjadi persoalan. Tetapi, pemuda-pemuda di pertigaan jalan kampung yang menenggak minuman keras, pemuda-pemuda di pos ronda yang selalu melantunkan bahak dengan uang-uang dan kartu judi berserakan di hadapan mereka dibiarkan.
Apa ada yang salah dengan keislamanku?
Penulis memiliki nama asli Iwan Sanja dan berprofesi sebagai pengajar aritmatika, kelahiran Garut, 29 Mei 1985. Lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Arqam (STAIDA) Garut jurusan Tadris Matematika. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di koran Pikiran Rakyat dan Inilah Koran.
Muksalmina sabang
Nice story.tapi,ceritanya terkecan rancu karna tidak ditulis bagaimana ia beribadah sehingga dianggap beda aliran atau mazhab.beribadah memang bukan hanya sesuai logika namun perlu berguru supaya tau tata cara sebenarnya.cerpen yg mengandung banyak pelajaran.
Aris Rahman
Reblogged this on Rumah Untuk Amaltea.