Cerpen, Pikiran Rakyat, Tati Y Adiwinata

Laela Ning dan Samaran

2
(2)

SEPENINGGAL Samaran, Maemunah berdoa kepada Tuhan, berharap sang putri dijauhkan dari laki-laki itu. Tapi, takdir berkata lain.

SAMARAN namanya, kulitnya hitam, giginya gingsul, rambutnya keriting tak beraturan. Namun, ia memiliki sepasang mata tajam yang bisa meluluhkan perasaan gadis mana pun. Tapi, tidak untuk Maemunah, kesan pertama ketika melihatnya, ia memiliki wajah yang sangat sangar. Kesan itulah yang melekat di benaknya, ibu yang tengah merawat luka karena ditinggal anak semata wayang.

Dia tengah protes kepada Tuhan, kenapa dara yang begitu disayang lebih memilih pergi dengan Samaran daripada ibunya sendiri yang telah mengandung dan membesarkan hingga umurnya genap dua puluh tahun.

Dua hari ini Maemunah merintih, menangisi kepergian Laela Ning. Terbayang wajah cantiknya, memiliki kulit putih mulus, tubuh tinggi semampai dengan buah dada yang tengah mekar sempurna. Begitu bangga Maemunah memiliki Laela.

Dia seakan tengah bercermin dan melihat pantulan dirinya saat muda dulu, ketika dipinang Karjo sebagai teman hidup, sampai ia dipanggil Tuhan karena kanker yang menggerogoti paru-paru.

Maemunah membesarkan Laela sendiri, ke mana pun pergi Laela selalu dibawa. Dia ingin mengajarkan kepada sang anak bahwa hidup tak sekadar mendapatkan kesenangan semata, hidup adalah sebuah perjuangan. Maka tumbuhlah Laela Ning sebagai gadis yang tekun belajar, pantang menyerah dan menyenangkan bagi Maemunah.

Tak ada satu permintaannya, tak pernah dituruti Laela. Dia begitu bersyukur memiliki Laela, dan begitu pun Laela sangat mencintai ibunya. Laela kagum pada kegigihan perempuan yang membesarkannya, meski hanya sebagai penjual gado-gado di pojok taman kota. Dengan cara itulah Laela Ning tumbuh dan dibesarkan.

Sampai saat itu datang. Ya, bisa disebut sebuah malapetaka, bencana atau apa namanya. Samaran, laki-laki itu dikenalkan Laela padanya, saat hujan baru saja tiba di pekarangan.

Maemunah tertegun untuk beberapa saat, hatinya bergetar ketika Laela memanggilnya sebagai kekasih. Hati Maemunah menjerit, kenapa harus Samaran? Kenapa mesti ia yang merebut hati Laela? Dia bersaing dengan laki-laki yang sejak semula tak disukainya sama sekali.

Baca juga  Muhallil

Maemunah yang selalu menanamkan pemahaman tentang kehidupan kepada Laela, kini malah mendapat sebuah tamparan di wajahnya sendiri.

“Mak, aku mencintainya sepenuh hati!” teriak Laela. Sesaat setelah Samaran pergi dan Maemunah mencecar Laela dengan beberapa pertanyaan layaknya penyidik kepolisian.

Lalu Maemunah mengiba kepada Laela, memintanya putus dari Samaran. Hati Laela pilu, ketika harus memilih antara ibu atau Samaran, kekasihnya. Bagaimana mungkin dia mampu memilih di antara dua pilihan yang sama beratnya.

“Mak, kau yang mengajarkan aku untuk mencintai kejujuran. Dan satu hal yang membuatku terlalu mencintainya karena Samaran adalah laki-laki yang sangat jujur dan apa adanya. Dari semula ia katakan bahwa ia bukanlah laki-laki berpunya. Ia hanya memiliki sebuah hati penuh cinta.”

Mata Laela berbinar bahagia, sementara Maemunah meradang, dia tahu anaknya tengah mabuk cinta, apa yang ada di sekitarnya akan tampak indah. Selama ini, dia berharap Laela dipinang laki-laki yang tampan wajah juga hatinya. Laki-laki kaya, tentu tak akan menyusahkan kehidupan Laela kelak.

Sementara Samaran? Pekerjaannya saja tidak jelas. Maemunah hanya bisa meneteskan air mata.

Adalah ia, Samaran yang memiliki hati seteguh baja. Mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari Maemunah tak menyurutkan tekadnya untuk meminang Laela, meski beberapa kali ia ditolak dengan kasar. Tapi, berkali-kali pula Samaran datang, sampai terakhir kali ibu kekasihnya mengusir dengan rasa benci.

“Jangan pernah datang lagi ke rumah ini. Jangan ganggu kebahagiaan aku dan Laela!” desisnya. Matanya tampak merah, disusul beberapa tetes air setelahnya.

“Lalu bagaimana dengan kebahagiaan Laela, Ibu?” protes Samaran. Pertanyaan yang telah membuat hati Maemunah seketika seolah tambah robek. Sejak saat itu drama percintaan mereka berlanjut di belakangnya.

Baca juga  Mengurai Malam Menjadi Catatan

Sepeninggal Samaran, Maemunah berdoa kepada Tuhan, berharap sang putri dijauhkan dari laki-laki itu. Tapi, takdir berkata lain.

***

GENAP usia Laela Ning kedua puluh tahun, dua jam setelah dia mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari Samaran lewat pesan WA. Laela memutuskan pergi, meninggalkan Maemunah yang tengah menangis di atas sajadah.

Maemunah teringat kembali cara dia membesarkan Laela. Penuh tangis dan perjuangan, bagaimana anak itu begitu penurut dan selalu membahagiakan dirinya. Tapi, sekarang, setelah kedatangan Samaran, Laela begitu membencinya. Dia berubah menjadi pembangkang. Beberapa kali mereka berdebat tentang Samaran, beberapa kali pula mereka saling melukai.

Maemunah putus asa, dia hanya mampu menangis dan berdoa, bukankah doa ibu begitu mustajab? Dia tidak mau sampai melontarkan sumpah serapah yang akan disesalinya di kemudian hari.

Malam kian merangkak, Maemunah khusuk berdoa sampai tak menyadari bahwa Laela telah pergi pada tengah malam buta, saat dunia tengah terlelap dari ingar bingar.

Waktu Subuh tiba, Maemunah bangkit dari duduknya. Matanya sembab, tetapi hatinya sangat tenang. Maemunah berusaha mengatasi masalah dengan cara mengembalikan semua kepada Tuhan Sang Maha Pencipta.

“Laela!” teriak Maemunah membangunkan anaknya. Tak ada sahutan. Maemunah menengok ke dalam kamar, disadarinya beberapa helai baju dalam lemari Laela telah raib, anaknya tak berada dalam kamar pula, Maemunah histeris.

Begitulah Maemunah menghabiskan dua hari ini dengan menangis, tak ada makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Dan ini adalah hari ketiga, badannya lemas, dia hanya berbaring, memanggil-manggil nama Laela dengan penuh luka. Dia tak tahu ke mana harus mencari Laela. Bodohnya dia, Maemunah tak pernah bertanya di mana Samaran tinggal.

“Laela! Anakku, pulanglah!” rintih Maemunah. Ruangan itu begitu sunyi sepeninggal Laela. Anaknya tengah buta karena cinta. Meski marah, kini dia mencoba memahami. Walaupun pergi dari rumah tidak menyelesaikan masalah, setidaknya telah membuat Maemunah mulai menyadari bahwa cinta tidak pernah salah. Mulutnya tak henti memanggil nama Laela, suaranya semakin lirih.

Baca juga  Puisi yang Memulihkan Perempuan

“Aku pulang Mak,” sayup-sayup terdengar suara Laela di ambang pintu kamar. Mata Maemunah mengerjap, dia takut salah mendengar atau takut sedang bermimpi.

Namun, itu benar-benar Laela Ning, di sampingnya ada Samaran yang tengah menatapnya tajam. Maemunah kini merasa kalah.

Lalu Samaran bersimpuh dengan khidmat sambil berkata, “Ibu, aku antarkan Laela pulang setelah lama membujuknya… Maafkan kami. Aku tak akan pernah merebut kebahagiaan Ibu dari Laela. Jika ada pernikahan haruslah ada restu Ibu. Jika tak ada, biarlah aku yang mengalah.”

Kata-kata Samaran bagaikan siraman air yang sangat menyejukkan. Tiba-tiba, Maemunah melihat keindahan di wajah Samaran. Ia bagaikan cahaya rembulan.

Entahlah, saat itu Samaran tampak tampan sekali. Namun, badannya terasa lemas. Sekalipun hanya untuk memeluk Laela Ning. Dua bulir air mata bergulir di pipi. Laela memburu ke arah Maemunah.

“Mak!” Jerit Laela.

Maemunah terdiam kaku. ***

Tati Y Adiwinata, lahir di Cicalengka, 6 Juni. Karya-karyanya termuat di pelbagai media cetak lokal dan nasional, serta terlibat dalam 50 lebih buku bersama penulis lain dalam antologi puisi/cerpen/haiku. Novel perdananya Rembulan dan Matahari menjadi juara kedua dan diterbitkan oleh Penerbit Rumah Imaji (2019). Antologi puisi tunggal: Merahnya Rindu (2019). Kumcer tunggal: Laki-laki Bayangan (2020). Bergiat di beberapa komunitas: Komunitas Penulis Perempuan Indonesia (KPPI), Moms Kreatif Menulis (MKM), dan Penyair Perempuan Indonesia (PPI).

Loading

Average rating 2 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!