Cerpen, Dedi Tarhedi, Pikiran Rakyat

Udin, Lebaran, dan Istri Salehah

3
(3)

PUASA baru seminggu Udin sudah pusing dengan pikiran ke Lebaran. Dahinya mengkerut seperti lipatan babat pada bakso yang diolahnya di tempatnya bekerja. Ya, pekerjaan Udin yang tamatan SMA sepuluh tahun lalu adalah membantu tetangganya mengolah bakso babat, bakso urat dan bakso gejrot, sejak dia menganggur. Penghasilannya tentu bergantung pada laku tidaknya bakso-bakso yang diedarkan ke pasar dan warung-warung bakso yang menampung makanan berbentuk bulat dengan rasa lezat saat dikunyah lidah itu.

SETIAP hari, pagi-pagi sebelum subuh, Udin yang mirip Sule artis serbabisa dan memiliki tiga anak, pergi ke Pasar Cikurubuk, Tasikmalaya. Dia menjumpai pedagang sapi langganannya. Mengambil daging segar yang sudah siap dan tinggal membayar.

Lalu membeli beberapa ekor ayam potong di pasar yang sama tapi beda blok dengan penjual daging sapi tadi.

Setelah itu, dengan mengendarai sepeda motor tahun 1990-an dia pulang menuju rumah bosnya dan masuk ke ruang olahan di belakang rumah. Dapur seluas 5 meter persegi itu, tempatnya bekerja sampai siang hari.

Begitulah hari-hari Udin sejak dia di-PHK dari pabrik minuman di sekitar Cicalengka Bandung pada tahun 2019 lalu, akibat corona yang terus menggila memakan banyak korban nyawa dan merontokkan ekonomi di mana-mana.

Udin sudah mencoba melamar ke sana-sini dengan berbekal ijazah SMA swasta di kotanya. Namun sampai kini, dia belum mendapatkan pekerjaan kantoran, atau di pabrik seperti dulu. Itu cita-citanya.

Dan pada akhirnya, karena keluarga harus makan, maka jadilah dia pengolah bakso. Bergabung dengan tetangga yang sekaligus jadi bosnya itu.

“Ayo, Din, jangan melamun!” Pak Tukiman asal Jawa yang jadi bosnya menegur Udin.

Baca juga  Chief Sitting Bull

“Tak biasanya kamu begitu. Apa sakitkah? Terkena corona?” bosnya menyambung sambil melucu dengan intonasi pertanyaan dialek Indonesia Timur. Udin merasa lucu dengan logat Pak Tukiman yang medok Jawa tapi intonasi Kupang NTT.

***

DAN memang Udin makin terpuruk. Dia terus melamun ingin segera menuntaskan masalah ekonomi yang melilitnya. Hutangnya mulai merambah ke warung, tetangga dan temannya.

Sehabis berbuka dia menghisap rokoknya dan melihat asapnya yang melayang ke udara. Melayang makin jauh ke luar dan terus naik melayang-layang seperti pikirannya.

Dia melamun bertemu dengan Rina, gadis yang dulu sangat mencintainya setengah mati. Tapi Udin menampik perawan anak juragan kerupuk di Cikoneng, Ciamis itu.

Walau Rina sudah berbagai cara mendekati Udin, tetap saja hati Udin pada Lia, perempuan yang kini sudah jadi istrinya.

“Kalau saja aku nurut Bapak agar kawin dengan Rina. Mungkin hidupku tak susah seperti ini!” lamun Udin menyesal.

Ah, tapi bukankah kalau pernikahan itu terjadi, tentu Udin hanyalah jadi jongosnya Rina alias apa-apa harus menuruti kehendak Rina. Karena Rina jauh lebih kaya. Dan bapaknya Udin bekerja juga di pabrik kerupuk ayah Rina itu.

“Jadi sudah bisa dipastikan, akan seperti apa situasinya, mungkin di awal nikah Rina akan manut dan nurut padanya. Tapi setelah itu, apalagi kalau ada percekcokan, tentu kemiskinan Udin akan diungkitnya. Bahwa yang selama ini membiayai hidup rumah tangga adalah Rina. Bahwa keluarga Udin sudah diangkat derajatnya karena perkawinan dengan keluarga Rina yang kaya itu… Ya, mungkin akan…” Udin terkejut karena tiba-tiba Lia sudah berdiri di depannya.

Gak pergi Tarawih, Yah?” Lia, istri Udin membuyarkan lamunannya.

Baca juga  Samping Kebat

Dan Udin tersadar, rokok yang dipegangnya hampir terjatuh.

“Jangan dipikir terus, Yah. Ibu juga gak mengharap apa-apa untuk Lebaran nanti,” suara istrinya menenangkan Udin.

“Yang penting kita bisa jalani ibadah puasa dan ibadah lainnya dengan khusyuk. Tidak kok, Ibu tak kan minta baju baru atau yang lainnya. Baju anak-anak juga masih bagus kok untuk dipakai salat Idulfitri. Anak-anak juga mengerti keadaan Ayah,” tutur istrinya.

Udin menatap Lia tak percaya. Memang sering Lia menyatakan tentang kesabaran. Ketenangan. Dan hal lain yang menyejukkan. Udin tak percaya awalnya. Tapi kini, dia menyaksikan sendiri Lia sudah memakai mukena, membawa sajadah, mengajaknya salat. Lalu apa lagi yang diragukan?

Dan Udin cukup merasa plong dan tenang. Udin memang tak salah memilih istri seperti Lia. “Sekarang, kita Tarawih yuk…,” sambil senyum Lia mengajak Udin ke masjid.

Tentu Udin tak punya alasan untuk menolak ajakan istrinya yang salehah itu. Udin yakin sangat jarang di zaman sekarang seorang istri seperti Lia. Maka dia pun membuang semua keraguannya. Dia bangkit, mengambil sarung dan pergi tarawehan. ***

Dedi Tarhedi lahir di Bandung, 6 April. Setelah pulang dari Timor Timur sekira tahun 2000, cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai koran daerah dan Jakarta. Kumpulan cerpennya: Darah Maria di Sudut Dili. Sehari-hari Om Dedi, biasa dipanggil rekan kantor dan kawan seniman di Tasikmalaya, bekerja selaku PNS/ASN Pemkot Tasikmalaya di Dinas Pol PP.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!