Cerpen, Eli Rusli, Pikiran Rakyat

Telunjuk

4.3
(3)

DI pabrik, Gino adalah raja. Telunjuknya laksana sabda. Wajib dipatuhi ratusan kepala yang posisinya jauh di bawah telapak kakinya.

ENTENG bagi lelaki yang tingginya kurang dari 155 sentimeter dengan perut lebar melewati dagunya ini melahap tempat duduknya sekarang. Tak perlu berkarung-karung rupiah seperti politisi merayu suara rakyat setiap lima tahun sekali. Karena dia karyawan istimewa.

Telunjuknya terkait erat dengan telunjuk kepala desa yang berkuasa. Menempatkan lelaki berkumis tipis ini di tempat sampah sama saja membakar perusahaan. Logika itu terpancang kuat di dasar kepala Tuan Poyi, pemilik perusahaan.

Adalah Tuman, manajer HRD yang mirip bunglon, pandai membaca situasi dan kondisi perusahaan. Keberadaan Gino adalah anugerah terindah dari Tuhan bagi dirinya. Mulut busuknya liar mengemudikan telunjuk Gino supaya sejajar dengan kehendak hatinya.

Tercium asap simbiosis mutualisme di antara dua makhluk sesama jenis ini. Tuman dan Gino berkolaborasi mengeruk keuntungan pribadi dari ladang-ladang basah perusahaan.

Jika pegawai Dinas Lingkungan Hidup menjejakkan kaki di gerbang pabrik, telunjuk Gino gegas membentangkan karpet merah di ruang kerjanya. Panorama wajahnya dikelilingi jutaan cahaya kegembiraan.

Langkah kaki pegawai Dinas Lingkungan Hidup 100% bakal mengenyangkan isi perut dan dompetnya. Mereka cukup diarak keliling tempat pembuangan limbah. Setelah sedikit membuang keringat, telunjuknya memilih rumah makan enak guna membesarkan perut yang merintih minta diisi.

Selain Tuman, telunjuk Gino lincah mengajak Mehda, staf HRD yang berlindung di balik ketiaknya. Segenap jiwa lelaki berkaca mata tebal ini sadar diri. Meski lelaki buncit itu bukan atasannya langsung tapi telunjuknya merupakan lahan paling subur guna menambah pundi-pundi di samping upah bulanannya.

Tidak sia-sia Mehda tunduk pada ujung telunjuk Gino. Jika pesan makanan lima porsi, Gino akan menulis pesanannya delapan porsi. Tiga porsi dijinjing mengetuk pintu rumah Gino, Tuman, dan Mehda.

Tamu yang berkunjung ke pabrik, khususnya aparatur pemerintah, adalah rezeki yang dinantikan seperti kemarau menantikan setetes air hujan. Lewat surat permintaan dana yang diketik Mehda dan diparaf Tuman, dana perusahaan mengalir mulus melewati rekening Tuman.

Baca juga  Masjid Wali

Seandainya dana yang diminta dua juta rupiah, lima ratus ribu tertahan di rekening lelaki yang memelihara berewok itu. Jari-jari tangan Gino kebagian tugas menempelkan amplop ke telapak tangan tamu. Setelah urusan beres, Tuman, Gino, dan Mehda bersuka ria di tempat hiburan malam.

Mereka pernah panen raya. Ketika marketing sebuah bank menawarkan pinjaman tanpa agunan bagi karyawan. Gino yang punya kuasa menjentikkan jari telunjuknya dengan pongah.

“Yang penting komisinya lancar!” seru Gino kepada lawan bicaranya.

Tidak perlu menunggu sabit berubah purnama. Lewat telunjuknya, puluhan penghuni pabrik berbondong-bondong menitipkan namanya kepada Gino yang mencatut jabatan manajer keuangan. Jari-jari Mehda menari lincah di atas huruf-huruf, mengetik surat keterangan karyawan. Tuman penuh senyum kemenangan membubuhkan tanda tangannya.

Jika Mehda ditugaskan mengurus perizinan ke instansi pemerintah, Gino setia mendampinginya. Mehda tidak bisa menyetir kendaraan roda empat, Gino sebaliknya. Jadi Gino menjadi sopir bagi Mehda. Tetapi di tempat tujuan berlaku sebaliknya.

Lelaki perut buncit itu menjadi orang pertama yang mengulurkan tangan kepada pejabat yang menyambutnya. Mulutnya manis dijejali basa-basi. Berfoto bersama. Langsung diunggah di status WhatsApp-nya.

Kepala Gino seperti dihiasi mahkota, sedangkan Mehda adalah hamba sahaya. Giliran ngomong pekerjaan, mulut Gino terkunci rapat-rapat. Telujuknya cepat-cepat memaksa mulut Mehda bicara meski terbata-bata.

Tuan Poyi menunjuk Tuman menyelesaikan perizinan ekspor sebelum akhir bulan ini. Maka diutuslah Mehda dan Gino ke departemen terkait. Hati Gino berbunga-bunga seperti mendapat durian runtuh.

“Kita harus berangkat pagi. Biar cepat selesai. Dari pusat siapa yang pergi? Meli?”

“Ya. Meli. Besok kita ketemu langsung di sana,” kata Mehda.

Wajah Gino cerah ceria mendengar keterangan rekannya. Meli hanya staf biasa di pusat. Telunjuk Gino lebih sakti dibanding mulut Meli.

Baca juga  Dari Balik Jendela

Dari tempat parkir, Gino dan Mehda berjalan kaki menuju lobi lantai satu. Langkah Gino dibikin segagah mungkin seperti tentara yang mengikuti upacara peringatan hari kemerdekaan. Mehda mengekor di belakangnya seperti abdi dalem mengawal raja. Di lobi Meli sudah menunggu.

Tiba-tiba jantung Gino serasa mau copot. Langkahnya tidak gagah lagi. Gino seperti tikus kecil bertemu kucing. Sebaliknya dengan Mehda. Langkahnya dibikin gagah. Seperti anak ayam menemukan induknya. Gino yang berjalan di depan, perlahan-lahan mengurangi langkahnya. Posisinya menjadi terbalik. Kini Mehda berjalan di depan Gino.

Rupanya Gino tidak menyangka jika hari itu Meli berangkat bareng Bu Ani, manajer keuangan yang sesungguhnya. Bu Ani yang dulu menyingkirkan Gino dari pengawas proyek-proyek pembangunan pabrik. Telunjuk perempuan beranak satu ini yang mengantar Gino ke balik ketiak Tuman karena tidak mungkin jika harus menendangnya keluar pabrik.

Bangkai yang disembunyikan Gino di proyek terendus hidung Bu Ani yang terkenal setajam anjing pelacak. Aliran dana ke kantong Gino sempat tersumbat sebelum menemukan sumber baru di posisinya sekarang.

“Selamat pagi!” Seru Bu Ani ramah.

“Pagi, Bu!”

Mehda menjawab riang, sedangkan Gino menjawab nyaris tak terdengar.

Kehadiran Bu Ani menumbuhkan bisul di pantat Gino. Lelaki perut buncit itu tidak bisa duduk lama-lama di kursi. Tubuhnya dikuasai kegelisahan. Ketika pejabat departemen datang menemui mereka, mulut Gino tidak ngoceh seperti biasa karena telah diwakili mulut Bu Ani yang lembut tapi tajam. Gino terpinggirkan. Tubuhnya serasa dibuang ke pulau terpencil.

Tidak ada sesi foto. Tidak ada status terbaru di WhatsApp-nya. Urat-urat telunjuk Gino impoten. Dunia gelap gulita. Sekarang matahari belum tinggi. Berapa lama lagi tubuhnya menahan kegelisahan?

Telunjuk Gino hari itu hanya bercumbu dengan telefon genggamnya. Mulutnya tak banyak bicara karena dihadang mulut Bu Ani. Jari telunjuk Bu Ani lebih berkuasa daripada jari telunjuknya. Tubuh Gino lebih banyak bermain-main dengan angin.

Baca juga  Sang Sinden

Warung kopi pinggir jalan menjadi pelarian paling nyaman bagi Gino sambil meredakan bisul di pantatnya. Sialnya. Tuan Poyi mengeluarkan perintah yang membuat Gino sakit gigi.

Sebelum perizinan selesai tidak boleh balik ke pabrik. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa militer, prajurit tidak boleh balik ke barak sebelum perang usai. Artinya, jika pekerjaan belum selesai, Gino, Mehda, Meli, dan Bu Ani harus mencari hotel buat meluruskan punggungnya.

Semua pekerjaan dan akomodasi dijalankan mengikuti telunjuk Bu Ani. Gino tidak bisa memilih makanan mahal kesukaannya seperti saat tugas keluar bareng Mehda. Jika dulu Gino sering mengontak Tuman untuk sekadar menyediakan amplop buat pejabat departemen sebagai ungkapan terima kasih, sekarang tidak lagi. Bu Ani lebih mengetahui proses perizinan sehingga tak memerlukan amplop pelicin. Tak ada lagi selisih uang dinas yang bakal singgah di dompetnya.

Gino seperti harimau yang berubah menjadi kerbau. Tidak bertaring dan bercakar tajam. Tidak memiliki auman yang sanggup menggetarkan nyali musuhnya. Gino ibarat kerbau bertanduk besar dicocok hidung mesti menurut apa kata tuannya. Aliran darah ke telunjuknya terhenti. Telunjuknya tidak sanggup berdiri. Loyo.

Selama pekerjaan belum kelar, Gino otomatis dijadikan sopir. Kepalanya tidak pernah tengadah, selalu menunduk. Di hotel, ketika yang lain sibuk bekerja, Gino hanya menghabiskan puluhan batang rokok kesukaannya di beranda hotel. Pandangannya kosong menatap gedung-gedung pencakar langit yang mulai menyala menyambut malam. Satu hari dirasa bagai tiga ratus enam puluh lima hari. ***

Eli Rusli, alumnus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai surat kabar lokal.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!