Cerpen Putu Oka Sukanta (Kompas, 02 Juni 2019)
MBAK Mar, begitulah kami sekeluarga memanggilnya. Saya dan istri jauh lebih tua, sedangkan anak-anak jauh lebih muda. Tetapi tetap, “Mbak Mar”, begitulah kami memanggil Marisantun. Nama Marisantun yang diberikan oleh ibu bapaknya, adalah sebuah ajakan untuk bersantun terhadap sesama, baik tua maupun muda, laki maupun perempuan, ya kaya ya miskin.
Tetangga saya, jarang yang memanggil dengan sebutan Mbak Mar, kebanyakan memanggilnya hanya dengan Mar. Mbak Mar punya hubungan baik dengan para tetangga, juga dengan dagang sayur keliling dan Tukang Sampah. Banyak di antara mereka heran mengapa Mbak Mar betah bekerja di rumah saya sampai belasan tahun. Menurut ceritanya sambil lalu, ada beberapa ibu rumah tangga menawarinya bekerja di rumah mereka dengan gaji lebih besar dari yang kami berikan. Tetapi dengan santai dan bergurau ia menolaknya. Juga ia pernah bercerita bahwa beberapa kali dirayu Agen dan Calo buruh migran untuk bekerja ke Malaysia atau Arab.
Para Perayu itu, begitu Mbak Mar menyebut mereka, menceritakan kesuksesan beberapa perempuan yang berhasil bekerja di luar negeri. Mereka sudah membuat rumah gedong di desanya, gemerlap dengan lampu berwarna-warni di malam hari, temboknya di lapis keramik, lantainya ditutup permadani dari Arab. Suami, orang tua dan anak-anaknya dibelikan motor. Dengan ringan ia menjawab, menurut pengakuannya, “Saya bekerja tidak hanya mencari uang. Itu cerita bohong.”
“Kamu tahu dari mana Mbak Mar kalau itu gak benar.” Istri saya kepingin tahu lebih lanjut.
“Kan banyak beritanya di tivi, Bu. Cerita orang diperkosa oleh majikan dan anak majikan. Bahkan ada yang dibunuh, ada yang terjun dari loteng karena gak tahan disiksa nyonya majikan, gaji gak dibayar. Tapi orang kok mau saja ya, Bu?”
“Kan gajinya besar. Kalau Mbak Mar mau gaji lebih besar ya berangkat saja ke luar negeri, mumpung ada yang menawari.”
“Enggaklah, Bu.”
“Di desamu tidak ada TKW yang berhasil apa?”
“Ada juga, Bu. Yuti, namanya, membuka warung besar, juga punya salon. Karyawannya banyak, katanya juga bekas TKW.”
“Nah itu kan contoh baik.”
“Tapi suaminya kurang ajar. Gak tahu diuntung. Sekarang melarat tinggal sama istri keduanya, jadi kuli serabutan, sakit-sakitan lagi.”
“Yaitu tidak tahan kemulyaan namanya.”
“Dulu waktu istrinya masih bekerja di luar negeri, ia kawin lagi diam-diam, dan uang kiriman istrinya dia gunakan untuk kawin. Kemudian ketahuan dan tidak pernah lagi mendapat kiriman uang. Itu cerita orang-orang di kampung Bu.”
***
Suatu hari Mbak Mar menyampaikan niatnya membangun rumah di desanya.
“Bu, masa ya, orang yang bekerja di luar negeri saja bisa membangun rumah. Saya pingin juga punya rumah sendiri seperti mereka.”
“Ya, itu niat baik.”
“Tapi saya tidak punya uang kontan yang cukup untuk membeli bahan bangunan dan ngasi makan tukang. Tanahnya sudah diberi oleh ibu saya, dua ratus meter.”
“Lalu?”
“Boleh enggak Bu, saya ngambil gaji untuk dua tahun?”
“Haaa, dua tahun? Berapa banyak itu?”
Ketika istri saya menyampaikan keinginan Mbak Mar itu kepada saya, ia uring-uringan setengah marah dan buntutnya berprasangka tidak baik terhadap saya.
“Coba, Pah, ia semakin melonjak, berani meminjam sebegitu banyak. Jangan-jangan Papah ada hubungan gelap dengan dia.”
“Lha, kenapa Mama jadi menyeret-nyeret aku?”
“Habis selama ini semua keinginannya Papah penuhi. Tadinya minjam duit untuk mengontrak tempat tinggalnya, padahal ia punya suami. Ia pernah meminjam uang untuk ibunya yang sakit. Juga untuk menggadai sawah agar suaminya pulang ke kampung, berhenti jadi sopir bajaj karena sering tidak bisa membayar setoran. Ah banyak lagilah. Dan sekarang mau mengambil gajinya dua tahun. Apa kita ini bank?”
“Mama ingat dong, semua permintaannya dari dulu, disampaikan melalui Mama, dan Mama setuju.”
“Mungkin cara itu cuma pura-pura, padahal sebelumnya ia sudah ngomong kepada Papah.”
“Belum tuh. Sekarang terserah Mama saja. Tapi aku gak bersedia membayar ijon untuk dua tahun.”
“Kok ijon?”
“Ya ijon. Itu kebiasaan buruh tani di desa. Mengambil uang hasil panen pada saat mereka baru menanam benih padi atau palawija. Aku benci sistem itu.”
“Tapi ini bukan ijon, Pah. Jangan mempolitisir masalah. Ia akan bayar utangnya dengan mencicil tiap bulan. Nilainya sama. Lantas, permintaan Mbak Mar kita tolak?”
“Terserah Mama.”
Beberapa hari kemudian, Mbak Mar menanyakan keputusan saya. Ia tahu kalau saya bingung.
“Kalau Bapak memberi pinjaman, saya akan pulang nungguin tukang bekerja. Ya paling lama 4 bulan.”
“Ini kan aneh. Kamu ngambil gaji dua tahun, terus pulang tidak bekerja lagi di sini.”
“Kalau membangun rumah di kampung caranya beda. Kita gotong royong. Kita memberi kopi dan makan siang. Tetangga ada juga yang meminjamkan bahan bangunan, nanti kalau mereka membuat rumah baru saya kembalikan. Jadi saya harus pulang membawa uang dan nungguin mereka bekerja. Apa Bapak tidak percaya, saya akan kembali bekerja sama Bapak?”
“Bukan tidak percaya, tapi sepertinya aneh.”
“Kalau Bapak tidak beri pinjaman, ya gak jadi membangun rumah. Padahal beberapa bahan sudah terkumpul, batu, besi beton, genteng.” Suaranya melemah.
Mbak Mar mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, sering ditinggal sendirian juga. Ia terkadang menggendong anak saya terkecil ketika ke sekolah Taman Bermain dan Taman Kanak-kanak. Sekarang Yayu sudah di sekolah dasar, dan mereka berdua sering ngobrol di kamar tidur Mbak Mar. Suatu hari ketika ia sedang merapikan rambut anak saya sebelum berangkat ke sekolah, mereka berdua ngobrol.
“Mbak ke Jakarta umur berapa?”
“Sebelas tahun, diajak Bibik. Bekerja ngasuh anak di Mampang.”
“Masih kecil ya Mbak?”
“Di kampung mulai umur delapan tahun sudah ngasuh anak tetangga.”
“Tidak sekolah, Mbak?”
“Sampai kelas dua, disuruh berhenti oleh Mbokke, dan disuruh ikut tetangga ke kota jadi pengemis.”
“Jadi pengemis? Mbak dapat duit banyak?”
“Mbak gak mau. Lalu dipukuli, dicubitin sampai memar oleh Mbokke. Terus disuruh ngasuh anak tetangga supaya dapat duit untuk makan.”
“Jangan mau jadi pengemis, Mbak. Malu. Nanti kalau Yayu sudah nikah, punya anak, mbak ngasuh anak Yayu saja.”
“Gajinya berapa? Sekarang saja gak pernah ngasih duit.” Terdengar Mbak Mar menggoda Yayu.
“Mbak jahat. Ayo Mbak berangkat. Gendong.” Terdengar Yayu merengek manja.
“Sudah tua masih minta gendong, kayak masih TK. Ayo jalan sekarang.” Terdengar tawa mereka bersamaan.
Ketika mulai bekerja di rumah kami, Mbak Mar datang pagi dan kembali ke rumah kontrakannya menjelang malam.
Ia sering berkeluh kesah kepada istri saya. Ketiga anaknya yang di kampung tidak mau lagi bersekolah. Neneknya menyuruh mereka menjadi buruh kebun bawang.
“Saya pingin anak-anak saya tidak jadi pembantu atau sopir bajaj seperti bapaknya. Tapi kalau SD saja tidak tamat, mau jadi apa?”
Kalau pikirannya sumpek atau sedang sedih pasti makanan yang dimasaknya tidak enak. Saya pasti tanya macam-macam. Tapi istri saya mencegahnya.
“Kalau masakannya tidak enak, makan di restoran saja atau pesan, kan tinggal angkat telepon dan bayar.”
“Kok nanya saja gak boleh?”
“Mbak Mar sedang susah. Apa Papah bisa mengatasinya, juga tidak kan?”
“Mbuh ya demokratis sedikit, aku diberi hak untuk bertanya.”
“Nanti Mamah ceritain soalnya.”
Mbak Mar terkadang melayani pijat beberapa orang seselesainya bekerja di rumah kami. Tetapi akhirnya ia tidak mau lagi, katanya banyak laki-laki yang dipijat tangannya usil dan sering ngomong jorok. Kalau Mbak Mar memijat istri saya, ia mendapat imbalan tambahan. Istri saya suatu hari terdengar menjelaskan sikapnya kepada tetangga, bahwa ia wajib mendapat tambahan karena Mbak Mar bekerja bukan sebagai tukang pijat gratisan.
***
“Ini gara-gara Papah ngasi izin Mbak Mar pulang kampung. Baju kotor numpuk, tidak ada yang nyuci seterika. Yayu juga terus, terus nyuci piring seabreg-abreg.”
“Lha kok Papah yang disalahkan. Mbak Mar ada keperluannya ke kampung, bikin rumah. Papah juga ngepel, nyapu halaman dan nyiram tanaman. Semua ikut bekerja, Masmu. Mama.”
“Pokoknya gak enak kalau gak ada Mbak Mar. Cari penggantinya, Pah.”
“Gak gampang cari orang seperti Mbak Mar, Yu.” Istri saya menyahut sambil lewat di dapur. “Perempuan harus bisa ngurus rumah, kalau Yayu berumah tangga, akan bergantung kepada siapa?”
“Mbak Mar katanya mau ikut Yayu, kalau Yayu sudah nikah.”
“Apa ya sanggup membayarnya?”
“Ah Mamah sih, sama saja dengan Mbak Mar.”
***
Sampai bulan keempat Marisantun belum lagi datang bekerja. Istri dan anak mulai uring-uringan, mencari kambing hitam. Sedikit-sedikit nyerempet kepala rumah tangga yang tidak tegas. “Bagaimana kalau Mbak Mar tidak datang lagi? Berapa duit dibawa kabur. Banyak lho Pah, modus baru para penipu.”
“Sabar, mungkin rumahnya belum selesai.”
“Tunggu sampai kapan, Pah, kuku jari Yayu sudah robek kebanyakan mencuci piring.”
Saya tertawa mendengar keluh kesah Yayu, dan dengan agak marah ia menyahut, “Papah senang kalau anak gadisnya punya kuku sobek-sobek.”
“Sabar. Malam ini kita tidak masak, makan sate ayam saja ya. Tunggu dagang sate lewat.”
Beberapa hari kemudian, istri saya mendapat telepon dari Mbak Mar yang menceritakan perkelahiannya dengan suaminya. Suaminya ingin menempati satu kamar rumahnya yang baru, bersama istri simpanannya. Kalau ditolak, rumahnya akan dirobohkan. Kata Mbak Mar lebih lanjut, kalau keberatan suaminya punya istri simpanan ya Mbak Mar harus pulang, berhenti bekerja di Jakarta.
“Lantas bagaimana keputusan Mbak Mar, Mah,” desak Hary, anak saya pertama.
“Ya belum tahu. Mbak Mar kebingungan dan nangis terus.”
“Jangan-jangan ini cuma akal-akalan saja, Mah,” nyeletuk Yayu.
“Hus, jangan begitu Yayu, Mbak Már lagi susah. Kita doakan supaya Tuhan memberi jalan terbaik buat Mbak Már.”
Rumah kami sejak itu terasa lengang. Pembicaraan soal Mbak Mar tidak diperdengarkan lagi, tetapi menjadi pertanyaan di dalam kepala dan hati masing-masing. Buruk sangka dan rasa prihatin bercampur seperti rujak serut, asam, manis, asin dan terasi lebur menyatu dengan rasa buah-buahan.
Bulan keempat sudah lewat, Mbak Mar belum menampakkan hidungnya. “Mah, telepon Mah. Mbak Mar. Kasihan kalau disiksa suaminya.” Nyeletuk Yayu.
“Nanti malam.” Sahut istri saya singkat.
Sebelum malam tiba, Marisantun sudah berdiri di ambang pintu kami.
“Yu, Yayu, Mbak datang.” ***
.
.
Putu Oka Sukanta, lahir di Singaraja, Bali, tahun 1939, sekarang tinggal di Jakarta. Ia menulis puisi, cerpen, dan novel. Beberapa buku kumpulan puisi, kumpulan cerpen dan novel sudah terbit, dan sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa asing. Novel terbarunya berjudul Celah.
Lucia Hartini, lahir di Temanggung, Jawa Tengah, tahun 1959. Menempuh pendidikan di SSRI/ASRI Yogyakarta tahun 1976. Memperoleh penghargaan khusus Jakarta Art Award 2006, penghargaan Prathika Adhi Karya untuk Sketsa dan Lukisan Terbaik tahun 1977.
.
.
Leave a Reply