Cerpen Raudal Tanjung Banua (Kompas, 09 Juni 2019)
BAMBU-BAMBU menyatu dalam ikatan tali rotan, berderet menunggu para penggalah melompat dari tepian. Sambil bercakap, mereka melompatlah, lalu dengan galah kayu di tangan, mereka bertolak ke tengah sungai, ke arus liar.
“Hati-hati kau, Serel!”
Seorang lelaki bertopi koboi berteriak di atas batu. Serel menyeringai. Ia yang terakhir melompat sebelum bambu-bambu itu mulai melaju meninggalkan Kampung Langgai di hulu.
Bila rakit menumbuk batu menghunjam jeram, empat orang di atasnya cekatan membuat rakit tak terbelintang atau sungsang. Karena jumlah rakit melebihi jumlah mereka, maka mereka sigap berpindah dari rakit satu ke rakit lain, mengendalikannya tetap laju.
Butuh waktu dua hari dua malam menyusuri Batang Surantih untuk sampai ke muara. Mereka akan bermalam di kampung sepanjang sungai, atau di pondok huma yang tak jauh dari tepian. Mereka menanak nasi, memasak lauk dengan kuali dan periuk yang mereka bawa sendiri. Tentu setelah mengikat bambu-bambu itu di pepohonan. Kadang mereka masih sempat memasang bubu sebelum tidur untuk lauk makan sahur.
Begitulah setiap tahun, sepekan menjelang Idul Fitri, Ujang Serel setia menggalah bambu-bambu itu dari hulu. Secara tetap ia dibantu adiknya, Borol. Dua orang lain biasanya berganti-ganti, tapi yang sering ikut Sihen dan Kulud, sepupu mereka juga.
Empat atau lima hari sebelum Lebaran, mereka sudah harus berlabuh di bawah kaki jembatan besi Pasar Surantih—bagian Jalan Lintas Barat Sumatera. Para pembeli sudah menunggu, dan semua rakit dilepas satu per satu. Bambu-bambu jenis buluh itu diperlukan penduduk kota kecil Surantih untuk wadah menanak lamang, penganan khas saat Lebaran.
***
Serel punya banyak rumpun bambu di Langgai, dan jika itu masih kurang ia bisa menerima titipan bambu dari petani lain. Memang, di antara penggalah tidak semuanya pedagang bambu atau pemilik kebun bambu. Adakalanya mereka hanya orang upahan membawa batangan-batangan hijau panjang itu ke tujuan.
Di antara semua itu, ada saja orang-orang yang suka merusak pasaran bambu. Mereka membeli putus bambu yang belum ditebang dengan cara taksiran. Kadang menggunakan uang panjar, semacam utang, persis kerja tengkulak.
Namun cara-cara itu sering terhalang oleh kelompok Serel yang lebih dipercayai para pemilik bambu. Tentu saja, karena harga sebatang bambu tak pernah ia buat jatuh. Serel membayar semuanya dengan pantas. Tapi malah itu kerap memancing perselisihan.
Salah seorang biang perselisihan itu adalah laki-laki bertopi koboi yang menyapa Serel waktu melompat dari tepian. Serel ingat gerak-gerik Darlis, laki-laki itu. Ia sadar, Darlis hanya pura-pura menyapa. Sebab sudah lama Darlis tak suka padanya. Perkara jual-beli bambu. Tapi benarkah begitu?
Darlis dan Serel dulu sahabat selapik-seketiduran. Mereka mengaji di Surau Ambacang sembari belajar silat pada Buya Menek, menyerap jurus Harimau Kumbang. Mereka juga sekelas sejak SD hingga SMP, tapi berpisah saat SMA. Darlis ke kota kabupaten, Serel masuk SMA Ampalu di kampung seberang. Hanya ada lima siswa dari Langgai. Abidin, Tamir, Serel. Dua lagi Inel dan Neli, kakak-beradik anak Pak Basir, kepala SD yang ditugaskan ke daerah terpencil dan dia betah bertalian. Hebatnya, anaknya tak lantas sekolah ke kota. Meski beda usia, kedua anaknya itu duduk sekelas.
“Waktu itu adik diajak ayah mendaftarkan Inel, eh, ia nangis ingin sekolah juga,” cerita Inel tentang itu.
“Kan tangan Neli bisa menyentuh telinga dari kepala. Lagi pula disuruh nyanyi Neli lebih jago,” balas Neli. Keduanya menyebut nama sendiri pengganti “saya”; cara itu seolah membedakan anak kampung dengan anak kota, tapi tidak membedakan hubungan mereka.
“Suara kakakmu juga enak,” kata Serel.
“Kok tahu?”
“Kudengar saat ia bersenandung di sungai…”
“Wah, kau ngintip, Serel!” Inel mencubit Serel dan laki-laki itu tak hendak mengelak. Siapa mau berkelit dari bidadari sungai? Para bujang kampung berlomba mendekati keduanya. Tapi tetap saja yang bisa dekat adalah mereka yang bersama ke sekolah.
Konon inilah perkara sebenarnya yang bikin Darlis berulah. Ia cemburu kepada Serel. Perkara bambu hanya pelengkap. Tapi musim ketika ia melambai di atas batu, ia tidak terlibat jual-beli bambu. Ia sudah bekerja di proyek irigasi Kapalo Banda, di hilir Batang Surantih.
Dan di sanalah, ternyata, Darlis berulah!
***
Serel tiba di Kapalo Banda. Di sana, di bagian sungai yang dangkal layah, air diempang dengan pasir dan bebatuan. Alirannya dibelokkan ke sebuah galian yang tak bisa dilewati rakit bambu. Tahun itu air memang agak surut karena kemarau. Celakanya, karena mau Lebaran, pekerjaan dihentikan. Sungai yang terlanjur diempang dibiarkan begitu saja.
Apa akal? Tak ada jalan lain, Serel perintahkan membobol empangan, meski tak mudah. Apalagi sebagian batu sengaja diplester semen, harus dipecahkan. Usaha itu berhasil membuka sebuah “terusan” untuk lewat rakit bambu satu-satu.
Namun perbuatan itu sampai ke telinga mandor proyek yang segera mencegat mereka. Siapa lagi yang menyampaikan jika bukan Darlis. Serel tahu, begitu rakit bambu mereka laju dari hulu, sesaat setelah melambai, Darlis bergegas pergi. Ia menunggui rombongan Serel lewat Kapalo Banda. Mandor Herman percaya saja laporan Darlis yang memang ikut bekerja bersamanya. Menurut Darlis, luberan air menggerus dam irigasi yang belum lama dicor.
“Dam tak hanya bocor juga terancam roboh,” sebut Darlis. Ini berlebihan, tapi bisa terjadi karena Darlis bersama orang suruhannya merusak sendiri dam yang mereka bangun.
Para penggalah bambu jadi tertuduh. Dua anak buah Mandor Herman menghajar Kulud. Serel menjelaskan persoalan namun ia ikut dibogem. Serel membalas. Darlis lalu ikut turun gelanggang. Perkelahian tiga lawan satu. Seru! Darlis buka jurus Harimau Kumbang. Serel ladeni dengan jurus yang sama. Borol dan Sihen gagal melerai orang seperguruan itu.
Seseorang mencabut parang di pinggang Serel. Parang itu biasa ia gunakan memotong bambu. Serel merebut dan hendak menyarungkannya kembali. Orang itu balas merebut. Kepalang tanggung, Serel gerakkan parangnya setengah lingkaran. Cesss! Dua tubuh rubuh bertindihan, persis bambu kena sabetan. Air membuncah merah. Orang-orang heboh seperti bah. Serel lari menyeberang. Bukan hanya seberang sungai, tapi hingga seberang pulau!
***
DI seberang, Serel tetap setia menggalah bambu. Hanya beralih dari Batang Surantih di Sumatera, ke Sungai Amandit Kalimantan. Semula ia bekerja apa saja. Di tambang batubara Tapin mencari emas di Unggang, mendulang intan di Cempaka, jadi buruh sawit Pleihari. Akhirnya ia kenal Idang Tadung, orang Dayak Meratus, yang mengajaknya ke Loksado.
Di daerah indah itu ada tradisi balanting paring—arung jeram dengan rakit bambu—yang diminati wisatawan. Start dekat jembatan gantung Malaris dan berakhir di Air Panas Tanuhi, melewati kampung-kampung penghasil kemiri dan panorama rupawan Gunung Kantawan. Serel bekerja sebagai joki lanting.
Pengalaman menggalah bambu di kampung jadi modal. Di Amandit, Serel hanya perlu menggalah sebuah rakit bambu, jenis betung, dirancang seperti perahu lanting. Bagian tengah ditinggikan sebagai tempat duduk, depannya lancip sehingga lentur menghindari bebatuan. Karena lekas menguasai medan, Serel cepat dapat kaos “Perkumpulan Joki Lanting Loksado”. Pak Soebly, ketua perkumpulan, memujinya.
Namun Serel tak bisa melupakan bambu-bambunya yang dulu. Bambu buluh pewadah lamang. Jika melihat perempuan-perempuan Loksado memasak kemiri, ia terkenang emak-emak di kampungnya sedang menjerang lamang. Bahannya beras ketan, pulut putih pulut hitam. Bahan dimasukkan bersama santan ke dalam bambu yang dilapisi daun pisang. Lalu batangan sepanjang setengah hasta itu dijerang di perapian.
Ah, bagaimana mungkin ia lupa? Lamang hanya dibuat pada Lebaran, atau sesekali saat helat pernikahan. Atau pada peringatan kematian tapi disebut lamang kareh, lamang keras. (Mengingat ini, Serel bergidik, terbayang Darlis terkapar di sungai dangkal!)
Serel bersyukur, tiap kali bambunya berlabuh di muara Batang Surantih, pembeli datang berebut. Ia punya pelanggan tetap sekali setahun itu. Bambu-bambunya dikenal baik oleh warga, sedikit miang, ditebang tua, membuat lamang matang sempurna.
Tapi kini tinggal cakap berpiuh. “Untuk membuat lamang, bambu Serel yang terbaik.”
“Ya, sayang anak itu main parang di Kapalo Banda…”
“Sampai sekarang menghilang, tak pulang-pulang…”
“Anak yang malang…”
“Ia anak baik, cekatan memotong bambu, suka tersenyum selayaknya orang hulu.”
Begitulah ia mengenang dan dikenang.
***
Batang-batang bambu berderet menunggu para penumpang yang hendak balanting paring. Mereka sekelompok pekerja dari perbatasan Kaltim yang sedang libur Lebaran. Pak Soebly memberi arahan, termasuk soal pantangan demi menghormati roh-roh leluhur tanah Meratus. Setelah itu, orang-orang naik ke lanting masing-masing yang memuat dua atau tiga penumpang. Dan Serel adalah joki terakhir yang mendorong lantingnya ke tengah kecamuk arus Amandit—karena pikirannya tiba-tiba diamuk arus maha dahsyat….
Betapa tidak! Ia kenal penumpangnya: Darlis dan Inel! O, ia masih hidup, atau hanya bayangan? Segalanya berpusar di benak Serel. Terbayang saat ia menggalah bambu dan laki-laki itu melambai di atas batu. Lalu terjadilah tragedi Kapalo Banda. Air membuncah merah. Dan lamang kareh, lamang kareh, simbol kematian itu!
Serel gemetar. Lanting terus melaju. Meliuk, menukik, di tengah gemuruh. Akankah ia biarkan lantingnya menghunjam jeram atau jatuh ke Lubuk Lua yang terkenal dalam? Itu tak jauh di depan, tiga kelok lagi! Bukankah dengan begitu ia sempurna menghilangkan jejak? Meskipun dalam seragam joki dan lindungan topi purun, Serel yakin sang penumpang tak akan mengenalnya, tapi entah mengapa ia merasa telah terlacak!
Tapi tidak! Baru beberapa hari lalu ia hanyut dalam malam takbir dan paginya sholat ’Id di masjid. Tidak, tidak! Perjumpaan ajaib ini terlalu agung. Serel berperang dalam batin, jeram demi jeram berlalu, dan Lubuk Lua pun terlewati—ia biarkan lewat—sampai akhirnya mereka selamat menepi di Tanuhi. Setelah menguatkan diri, Serel menyapa, “Darlis…”
Laki-laki itu mengangkat alis, “Kau, Serel…?”
Mereka berpandangan dengan wajah sama gemetar. Lama. Lalu seperti digerakkan kekuatan gaib, keduanya maju berangkulan. Pelan, saling bisik, “M-maafkan…”
“Aku baik-baik saja, Serel. Aku berhasil menghindar berkat jurus guru kita. Ada luka tapi tak parah. Seorang lagi sempat agak lama di rumah sakit…”
“Aku tak bermaksud….”
“Sudah nasib kita. Tapi ibarat bambu-bambu menghilir, dengan miang dan sembilunya, begitu pula hendaknya perbuatan kita di masa lalu… Aku ingat lagi kaji lama buya kita di surau dulu, setelah sempat kulupa.”
“Aku senang mendengarnya… Tapi bagaimana kalian ada di sini?”
“Aku ikut Mandor Herman ke Tanah Grogot mengerjakan proyeknya… Oya, kami dipersatukan Tuhan,” Darlis melirik Inel yang terpaku takjub. Inel kemudian ikut bersalaman.
“Kau beruntung, Darlis… Lihat aku, lama tak pulang…”
“Pulanglah, tak akan ada yang menuntutmu. Aku jamin.”
“Jika aku kembali, akan kuhilirkan lagi bambu-bambu kita dari hulu….”
“Itu keinginan mulia, Serel, tapi kini tak banyak lagi orang malamang…”
“Aku menghilirkannya seperti balanting paring dan menamainya berakit buluah…”
Darlis tersenyum. “Kami dukung! Mungkin sedikit modal bisa kubicarakan dengan Mandor Herman.”
Serel tercenung. Saat itu, ingin rasanya ia bertanya tentang Neli kepada Inel, tapi bibirnya diam. Sementara arus Amandit terus bergemuruh, melewati jeram demi jeram.
“Ibu, Ibu, Aidil mau mandi air panas…” suara bocah yang telah menunggu di Tanuhi menyadarkan mereka. ***
.
.
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, 19 Januari 1975. Buku mutakhirnya Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai. Ia mengelola Komunitas Rumahlebah dan Akar Indonesia di Yogyakarta.
Ngakan Putu Agus Arta Wijaya, lahir di Pejeng, Gianyar, 13 Agustus 1990. Menempuh pendidikjm di ISI Denpasar. Memperoleh penghargaan Karya Terbaik FSRD ISI Denpasar 2014.
.
Bambu-Bambu Menghilir. Bambu-Bambu Menghilir. Bambu-Bambu Menghilir. Bambu-Bambu Menghilir. Bambu-Bambu Menghilir. Bambu-Bambu Menghilir.
Leave a Reply