Cerpen Linda Christanty (Kompas, 16 Juni 2019)
DI pagi hari Nur pergi ke penjara untuk menjenguk adiknya yang ditahan sejak minggu lalu. Para tahanan yang pernah mendekam di sana dan selamat menjuluki penjara itu Penjara Batu.
Meskipun bangunan tersebut terbuat dari beton, mereka memilih kata ‘batu’ untuk menjelaskan tidak ada celah maupun peluang untuk melarikan diri bagi orang-orang di dalamnya. Kehidupan sekeras batu dalam penjara juga membuat banyak tahanan gagal bertahan hingga masa pembebasan mereka tiba.
Penjara itu bertengger di atas bukit yang gersang, mirip seekor elang buas yang kesepian, dikelilingi pagar besi dengan ujung-ujung runcing seperti tombak yang dialiri listrik pada malam hari, dan memunggungi laut yang dihuni banyak hiu.
Setelah mengambil nomor urut di pos jaga, Nur berdiri di muka pintu masuk bersama beberapa pengunjung lain, menunggu giliran dipanggil. Tidak jauh dari pintu itu, seorang perempuan duduk di lantai sambil memeluk tas kain batik yang terlihat menggembung oleh desakan benda-benda di dalamnya.
Ia melihat jari-jari tua yang kurus, mirip ranting-ranting kayu yang rapuh. Seluruh rambut perempuan itu putih oleh uban. Wajahnya menghitam dan keriput. Seekor lalat gemuk terbang berputar-putar di atas kepalanya dan sesekali hinggap di permukaan tas itu karena mencium aroma tertentu. Nur memutuskan duduk di sampingnya.
Hati Nur selalu tersentuh oleh hal-hal yang berhubungan dengan orang-orang tua sejak kakek dan neneknya meninggal dunia, sehingga ia menyapa perempuan itu dengan diliputi keharuan yang dibangkitkan oleh kenangan dan rasa hormat terhadap orang-orang yang sudah mati, menanyakan siapa yang hendak ditemuinya.
Dengan suara pelan, perempuan tersebut mulai mengisahkan nasib yang dialami putranya yang bekerja sebagai pengemudi angkutan umum dalam kota. Kadangkala ia menyebut nama putranya itu, Rasyad, dan sesekali mengatakan ‘anak saya’.
Suatu siang Rasyad membawa penumpang terakhir, seorang gadis yang jatuh cinta. Gadis itu bersedia diantar pulang setelah Rasyad memintanya memilih salah satu dari dua pilihan yang tidak setara: pulang ke rumah orangtua atau pergi ke rumah sakit jiwa.
Setiap hari gadis ini menunggu mobil yang dikemudikan Rasyad lewat di jalan yang sama. Ketika semua penumpang sudah turun, gadis itu mulai merayu minta dinikahi dan menyatakan diri siap menjadi ibu. Rasyad tidak bereaksi, terus mcngemudi sambil memperhatikan sisi kiri jalan untuk menemukan calon-calon penumpang. Ucapan-ucapan gadis itu terasa seperti hafalan, yang mengingatkannya kepada pernyataan insan yang dilanda asmara dalam film-film India.
Kejadian tersebut berlangsung selama bcrbulan-bulan. Rasyad mulai kesal, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap remaja yang tengah mabuk kepayang. Jangan-jangan gadis itu mengalami sejenis kesurupan dan jika benar demikian, harus diobati orang-orang berkemampuan khusus.
Dulu ia pernah mendengar kisah tentang lelaki yang mampu membebaskan jiwa manusia yang dikuasai ruh jahat dengan memindahkan ruh itu ke tubuh 13 ekor bebek. Akibatnya bebek-bebek kesurupan, lari tunggang langgang, terjun ke jurang dan menemui ajal mereka secara berombongan. Lelaki hebat itu tinggal di kampung sebelah dan sayang sekali, sudah lama meninggal dunia. Tapi ia tidak harus berurusan dengan alam gaib dan bebek. Gadis itu akhirnya menyerah.
Pertemuan pertama Rasyad dengan gadis itu berlangsung tidak sengaja, di warung makan dekat terminal. Gadis itu hendak membeli makanan untuk dibawa pulang, sedangkan ia ingin makan siang sebelum melanjutkan bekerja.
Semula ia tidak peduli ketika mengetahui seseorang yang berdiri di muka deretan baskom berisi lauk-pauk itu terpaku menatapnya, mengira gadis itu tengah melamun. Sekali lagi ia memandang ke arah gadis itu, dengan menyamarkan arah pandangannya ke terminal yang ramai untuk menemukan kcbenaran, dan gadis itu tetap saja menatapnya seolah-olah ia adalah salah satu dari sedikit keajaiban dunia. Ia memutuskan untuk memberinya seulas scnyum sebagai isyarat menghargai tatapan tersebut. Masalah besar ternyata berawal dari senyum itu.
“Karena itu, jangan sembarangan senyum kepada sembarang orang, Nak,” kata perempuan tua kepada Nur, seraya menatap sedih.
Ketika mobil yang dikemudikan Rasyad dalam perjalanan menuju rumah orangtua gadis itu tertahan di jalur yang padat, tiba-tiba gadis itu berteriak ia diperkosa. Orang-orang di jalanan segera menghalangi mobil bergerak. Orang-orang itu kemudian membawa Rasyad ke kantor polisi terdekat. Tidak ada bukti pemerkosaan, tapi polisi tetap menahannya.
Salah seorang polisi dengan pangkat yang lebih tinggi dari dua polisi lain terlihat sangat membenci Rasyad, berkali-kali memukul kepalanya dengan gagang pistol dan menindih jari-jari kakinya dengan kaki meja seraya berkali-kali menegaskan bahwa perbuatan menyangkal tuduhan itu ujung-ujungnya dapat dijerat pasal kejahatan melawan aparat negara yang berwajiban melindungi kaum perempuan segala usia.
Alasan kebencian ini terungkap saat interogasi hampir berakhir. Istri polisi itu berselingkuh dan kabur dengan pemilik beberapa toko martabak yang wajahnya mirip Rasyad.
Jaksa-jaksa menuntutnya tanpa bukti-bukti yang sesuai, karena sebagian pendahulu mereka juga bertindak serupa dalam berbagai perkara. Hakim-hakim sepakat menjatuhkan vonis sembilan tahun kurungan tanpa berpikir panjang karena pikiran mereka sedang tertuju kepada kasus lain yang melibatkan pedagang kaya raya yang bisa diperas, yang sidangnya akan berlangsung setelah sidang Rasyad.
Perempuan itu sangat khawatir. Terakhir kali ia berkunjung, putranya terlihat sangat kurus dan pendiam. Nur hendak menanyakan sudah berapa lama putranya menjalani masa tahanan, tapi nomor antrenya telah diumumkan penjaga pintu. Ia cepat-cepat menghibur ibu yang bersedih dengan kalimat yang tidak ada gunanya, “Semoga putra ibu cepat dibebaskan”, dan bersyukur tidak harus mengisahkan perkara adiknya, yang akan menambah beban orang yang putra terkasihnya dijebloskan dalam sel melalui tuduhan palsu.
Nur melangkah di lorong menuju ruang kunjungan sesudah petugas di bagian pemeriksaan pengunjung memintanya melepas sepatu dan mengenakan sepasang sandal jepit yang disediakan penjara, menyimpan telepon selulernya di sebuah lemari besi, memastikan tas tangan yang dibawanya bebas dari alat perekam dan bolpen, dan menstempel punggung tangannya sebagai tanda lulus ujian memasuki kawasan khusus.
Beberapa narapidana duduk di bangku-bangku kayu bersama orang-orang yang menjenguk mereka di ruangan itu. Sepasang suami istri. Ibu, ayah, dan anak laki-laki mereka. Seorang ayah dan anak perempuannya. Seorang ibu dan anak laki-lakinya. Seorang perempuan, bayi, dan lelaki tua. Mereka berbicara pelan, bahkan ada yang tidak berbicara satu sama lain, hanya berpandangan atau menangis bersama.
Nur melayangkan pandangannya melalui jendela yang terbuka ke arah gedung berlantai dua yang terlctak di seberang gedung tempat ia menunggu. Waktu kunjungan maksimal 15 menit. Dari kejauhan dilihatnya beberapa tahanan bergerak turun dari lantai atas, melangkah di lapangan upacara lalu melewati gerbang gedung tahanan yang mengarah ke halaman belakang gedung ini. Kedua gedung dibatasi pagar kawat tinggi.
Pemuda yang menghampirinya mengenakan celana pendek, tanpa alas kaki. Tidak sehelai rambut pun yang tegak dan tersisa di kepala Borahim. Kumis tipisnya mirip kumis kaisar-kaisar atau pejabat-pejabat tinggi dalam film-film silat Mandarin. Penampilan adiknya berubah drastis. Nur benar-benar kaget. Sebelum ia sempat bertanya, adiknya buru-buru berbisik agar ia segera bersiap-siap untuk berkenalan dengan kepala bagian keamanan. Nur tidak ingin mengeluarkan uang satu sen pun. Melihat tatapan enggan kakaknya, dengan agak kesal Borahim berkata, “Hanya berkenalan, dan gratis.”
Nur bangkit dari bangku, mengikuti langkah adiknya. Ia melihat dua perubahan lain pada diri adiknya pagi ini. Borahim tidak mencium tangannya sebagaimana biasa dan tubuhnya agak membungkuk saat berjalan, tidak lagi tegak dan penuh percaya diri. Mereka memasuki sebuah mangan di sebelah ruang tunggu setelah Borahim menandatangani buku tamu yang dijaga petugas berseragam.
Kepala bagian keamanan penjara itu berkepala botak. Ada bercak-bercak coklat bekas cipratan teh pada kemejanya, tanda ceroboh. Peminum teh seharusnya lebih ramah, karena teh tumbuh di daerah dingin. Wajah lelaki itu datar saja waktu Nur menyalaminya. Ia berdiri tegap dalam sikap sempurna, seperti prajurit yang tengah apel bendera. Sesungguhnya Nur tidak tahu apa yang harus dibicarakan dengan lelaki paruh baya ini. Pertanyaan pertamanya pun terdengar dibuat-buat, “Apa kesulitan terbesar bapak selama bekerja di lembaga permasyarakatan ini?”
Lelaki itu mengangguk-angguk pelan, lalu menjawab dengan mantap dan tegas, “Kurap. Penyakit kulit.”
Sebelum Nur mengajukan pertanyaan lain, kepala keamanan mulai mengisahkan langkah-langkahnya menanggulangi kurap. Para tahanan mudah sekali tertular penyakit ini. “Saya sudah meminta petugas membersihkan semua sel dan bak di kamar mandi secara rutin, tapi tetap saja kebanyakan tahanan di sini menderita kurap. Itu saja masalah terbesar saya di sini. Masalah lain tidak ada. Kurap ini penyakit yang membandel. Saya benar-benar stres,” katanya, seakan kurap adalah sejenis pemberontakan bersenjata.
Pertemuan berlangsung singkat. Kelihatannya Borahim hanya ingin kepala keamanan mengetahui bahwa ia memiliki seorang kakak yang berprofesi sebagai pcngacara dan akan menjadi pembelanya yang setia.
Mereka kembali ke ruang tunggu, kakak dan adik melangkah beriringan, seperti dua ekor bebek yang lesu.
Borahim dituduh menyerang orang-orang yang menambang pasir dengan senjata tajam dan mengerahkan massa bersenjata tajam. Semua keterangan saksi berbeda tentang senjata itu. Ada yang melihat Borahim membawa pisau dapur. Ada yang melihat Borahim membawa keris berkepala naga. Ada yang melihat Borahim menggerakkan telunjuk yang menjelma menjadi sebilah badik pusaka leluhurnya yang berasal dari daratan lain dan mengelana laut hingga ke Madagascar. Jaksa mengajukan satu-satunya barang bukti berupa potret pedang katana dari Jepang. Sidangnya akan berlangsung minggu depan.
Pasir di pulau itu dan beberapa pulau lain dijual melalui jaringan perdagangan rahasia yang menjangkau negara-negara tetangga. Jaringan ini tidak tersentuh hukum mana pun.
Dengan berbisik-bisik, Borahim bercerita bahwa subuh tadi, seorang pemuda yang ditahan karena memperkosa anak perempuan di bawah umur telah terjun dari lantai atas. Tubuhnya menghantam pagar besi runcing di bagian belakang gedung tahanan. Ia melompat dari pintu kecil yang memisahkan deretan sel dan lorong terbuka yang lalai dikunci petugas. Ia tidak tahan disiksa sesama tahanan dan beberapa sipir yang kejam, sedangkan menjadi sasaran hiu di laut bagaimanapun membutuhkan waktu lebih lama dan menyakitkan untuk mencapai kematian. Selain itu, menurut Borahim, tidak ada sebuah makam untuk diziarahi orang-orang yang mengirim doa jika ia menjadi makanan hiu.
Pihak penjara belum dapat menghubungi keluarga almarhum. Tidak ada nomor telepon yang tertera pada lembaran data tahanan. Alamat rumahnya hanya berupa nama sebuah kampung. Jenazah pemuda tersebut masih terbujur di rumah sakit.
Nur merasa sekujur tubuhnya menjadi dingin dan lemas. ***
.
.
Linda Christanty, lahir di Bangka, 18 Maret 1970. Lulus dari Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Indonesia. Pemenang dua penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2004 dan 2010. Cerpennya, Daun-daun Kering, menjadi Cerpen Terbaik Kompas tahun 1989. Meraih penghargaan SEA Write Award 2013. Karya-karyanya antara lain Kuda Terbang Mario Pinto (kumpulan cerpen), Militerisme dan Kekerasan di Timor Leste (kumpulan esai).
Melodia, lahir 8 Februari 1967. Mcnempuh Pendidikan Seni Rupa dan Desain. Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta, 1985-1992. Sebelumnya ia menimba ilmu seni rupa di Sasana Olah Kcsenian Kak Alex (SOKKA) Jakarta. Memperoleh penghargaan dari ISI Yogyakarta tahun 1985, 1986, dan 1990. Penghargaan Philip Morris 1994 dan 1996, lalu Indofood Art Awards 2003.
.
Tak Ada Makanan untuk Hiu-hiu di Laut. Tak Ada Makanan untuk Hiu-hiu di Laut. Tak Ada Makanan untuk Hiu-hiu di Laut. Tak Ada Makanan untuk Hiu-hiu di Laut.
Leave a Reply