“Aku akan menceritakan sebuah rahasia. Tapi kau harus berjanji untuk tidak memberitahu ini pada orang lain. Setuju?” tanya Taka dengan wajah sangat serius.
Taka menunjukkan dua kaleng susu ukuran kecil. Dia melempar salah satu kaleng itu ke kamarku. Dia memegang kaleng yang satunya lagi di seberang sana. Kaleng kami terhubung dengan seutas benang yang sangat panjang. Rumah panggung kami bersebelahan dengan jendela kamar yang berhadapan. Aku melihat Taka merapatkan mulutnya ke dalam kaleng. Aku meletakkan kalengku di telinga, berusaha mendengar kiriman suaranya. Kami pun memulai percakapan rahasia melalui telepon kaleng.
“Tadi siang, ada yang datang ke sekolah. Heboh sekali!” kata Taka bicara sambil berbisik, tapi aku bisa mendengar dia mengatur napasnya yang terlalu bersemangat.
Sejak kecil, aku kenal Taka. Kalau dia menceritakan sesuatu dengan napas terengah-engah, artinya itu kisah sangat luar biasa.
“Siapa?”
“Ada empat orang. Mereka datang dengan mobil warna biru.”
“Mobilnya muat? Sekolahmu kan dalam lorong sempit.”
“Iya! Hebat, kan? Ban mobilnya tepat di pinggir selokan!” dia tertawa.
Aku suka kalau Taka tertawa. Cempreng tapi menulari bahagia.
“Kau tahu, mobil itu penuh buku bagus!” Taka masih penuh tenaga bercerita.
“Oh, penjual buku,” kataku dalam hati.
Perasaanku menjadi tidak semangat lagi. Yang kupahami dari penjual buku yang datang ke sekolah adalah buku bagus, mahal, dibungkus plastik, dan harus bayar dulu baru boleh dibaca.
“Dan kau tahu, Uleng, yang bikin seru adalah bukunya tidak dijual! Kita boleh pegang, pilih sendiri, dan baca sepuasnya!”
Aku melepaskan kaleng dari telingaku, menatap ke arah Taka di seberang jendela. Dia mengangguk mantap untuk menunjukkan dirinya serius.
“Satu lagi, dan aku yakin kau pasti tidak percaya. Ada pendongengnya! Jadi kita tidak hanya baca buku bagus dan gratis. Ada pendongeng!”
Aku tidak percaya. Mana mungkin? Aku tidak pernah melihat hal seperti itu sejak jadi kecil hingga jadi guru sukarela di sekolah miskin yang berlokasi di wilayah pesisir.
“Pendongeng itu mengajak anak-anak menyanyi, menari, main tebak-tebakan, lalu menceritakan dongeng soal anak nelayan yang bersahabat dengan lumba-lumba! Anak-anak dibuat heboh tadi. Mereka mengejar mobil itu sampai ke ujung jalan. Aaah, kau tahu Uleng, aku senang sekali melihatnya.”
Meski hanya dari obrolan telepon kaleng, aku bisa membayangkan betapa seru kejadian yang Taka ceritakan.
“Dengar, Uleng. Aku punya rencana. Supaya kau percaya dan melihat sendiri kalau aku tidak berdusta, kau akan kujemput kalau mereka datang lagi.”
“Janji?”
“Janji.”
***
Sudah setahun lebih sejak Taka menceritakan soal mobil perpustakaan dan pendongeng yang datang ke sekolah itu. Setiap pagi, aku membuka jendela kamar dan menarik-narik benang panjang yang menghubungkan kamar kami. Aku bisa mendengar suara kelentang kaleng di sisi kamarnya. Telepon kalengnya masih ada di sana. Sayang, jendela kamar Taka tidak pernah lagi terbuka.
“Kak Uleng!
Aku mencari-cari asal suara.
“Kak Uleng, di bawah!”
Aku menunduk mencari asal suara itu. Ada Taju dan Tika. Mereka adik-adik Taka. Mereka berdiri di antara tiang-tiang penyangga rumah. Baju mereka lusuh dan sendalnya berpasir. Tapi mereka lebih beruntung daripada aku. Setidaknya mereka masih punya kaki. Aku sudah lama tidak punya kaki. Kecelakaan di pasar pa’baeng-baeng mengambil kakiku, juga bapakku. Kejadian naas itu menjadikan aku gadis yatim tak berkaki.
“Mana Kak Taka?” tanyaku pada mereka.
“Dia… mmm… anu.”
Kulihat Taju melirik Tika. Tika meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya.
“Kak Taka bilang dia punya janji sama Kak Uleng,” kata Tika.
“Iya. Sudah satu tahun. Kalau dosanya bisa dihitung, pasti sudah sebesar gunung,” kataku bercanda.
“Kak ikut temannya jadi penggali kuburan di Macanda. Katanya dia sibuk dan harus kerja meski sudah malam. Banyak yang harus dikuburkan.”
Aku tahu soal itu dari menguping pembicaan amma’ku dan indo’na Taka. Aku tidak tahu banyak soal pandemi karena tidak punya televisi di rumah. Aku tidak bisa mengintip dunia luar kecuali dari beberapa buku pemberian Taka. Tapi aku tahu bahwa pandemi membuat Taju dan Tika tidak boleh ke sekolah. Taka juga harus mencari pekerjaan lain untuk adik-adiknya karena dia tidak lagi bekerja sebagai penjaga kebersihan di sekolah. Setahun lebih kami menjalani hari-hari yang sepi. Aku kehilangan teman bercerita. Bagiku, Taka adalah jendela dunia. Dia bilang cita-citanya ingin kuliah dan jadi pustakawan, sama seperti nama pemberian orang tuanya: Pustakawan. Dia senang berada di perpustakaan, bekerja dengan buku-buku dan menjadikannya tempat belajar yang seru.
“Kak Uleng, lihat! Mobilnya datang!” seru anak-anak itu sambil berlari ke arah masjid depan rumahku. Aku mengayuh bangku kayu beroda yang dirakit Taka untukku. Benda itu membuatku mampu keliling rumah tanpa merepotkan siapa-siapa.
Dari atas paladang kulihat sebuah mobil biru berhenti. Seorang lelaki melompat keluar dan membuka semua pintu yang ada di mobil itu. Mobil itu terlihat memiliki dua sayap membetang kiri dan kanan, isinya penuh dengan buku. Anak-anak berlarian menyerbu mobil itu. Nyaris tidak bisa dikendalikan.
Tiba-tiba seseorang keluar dari sisi lain mobil. Dengan pengeras suara, orang itu mulai mengeluarkan suara-suara lucu. Anak-anak seperti tersihir dan mengikuti perintahnya. Mereka berbaris, menjaga jarak, dan menyodorkan tangannya untuk disemprot cairan. Ajaib sekali dia bisa mengendalikan anak kecil yang bandel.
Pandanganku terhalang mobil jadi tidak bisa menyaksikan anak-anak itu duduk di selasar masjid menjengar cerita. Aku berusaha menajamkan telinga. Sayup-sayup kudengar pendongeng itu berkata, “Halo, adik-adik, siapa yang mau dengar ceritaaaaa?”
“Sayaaaaaa!”
“Kalau begitu, duduk yang rapi. Kak Taka akan bercerita kisah seorang nelayan kecil yang bersahabat dengan lumba-lumba.”
Aku tersenyum di atas bangku beroda. ***
Madia S Nura adalah pendongeng, penulis, dan editor naskah. Bergiat di Komunitas Penulis Lego-Lego.
Ket:
*Amma’ku: ibuku (bahasa Makassar)
*Indo’ku: ibunya (bahasa Bugis)
*Paladang: teras rumah panggung (bahasa Makassar)
Rini DST
Aku senang baca cerita ini.