Cerpen Triyanto Triwikromo (Kompas, 04 Agustus 2019)
BANYAK orang, terutama warga Sekayu, yakin Nyai Dini telah mati berkali-kali. Kali pertama istri kiai Nuh ini mati pada Oktober 1965 saat dia baru berumur enam tahun.
Kali kedua dia mati pada 1983 ketika penembakan misterius merajalela dan kali ketiga pada 1998 bertepatan dengan orang-orang di Jakarta menemukan banyak mayat perempuan cantik di gedung-gedung yang terbakar. Terakhir Nyai Dini mati menjelang negeri ini menyelenggarakan Pemilihan Umum 2019 dan warga tidak percaya perempuan yang suka bercakap-cakap dengan aneka bunga itu tidak bernapas lagi untuk selamanya.
Tentu saja aku tidak percaya pada kabar bohong semacam itu. Jika kematian dua kali [1] Rafilus saja kuanggap nonsens, apalagi kisah kematian Nyai Dini pasti kuyakini sebagai dongeng belaka. Namun, karena tetap penasaran, aku, pencerita buruk kisah-kisah muskil, mencoba berkunjung ke Sekayu, ke lereng Gunung Hamungsuwung, tempat hal-hal di luar akal sehat bisa terjadi dan dianggap biasa-biasa saja oleh warga sekitar.
“Mula-mula Dini mati akibat dipatuk ular saat bersama-sama teman sebaya bermain-main di atas jembatan. Dia jatuh ke sungai. Tubuhnya hanyut bersama aneka sampah dan beberapa mayat orang-orang yang dibunuh oleh pasukan siluman Soeharto.”
“Kok dia bisa hidup lagi?”
“Allah menghidupkan dan dia berubah menjadi perempuan yang seakan-akan tidak akan pernah mati.”
“Kenyataannya dia bisa mati bukan?”
“Dia hanya seakan-akan mati. Saat seorang penembak misterius menembak kepalanya ketika dia menziarahi makam ibunya, delapan jam dia tidak bernapas. Delapan jam hampir semua warga menganggap nyawanya tidak mungkin diselamatkan.”
“Nyatanya?”
“Nyatanya dia bangun dan bilang, ‘Allah telah menghidupkan aku’.”
“Bagaimana cara Allah membangkit dia dari kematian?”
“Jangan kau potong dulu kisahku. Pada usia 18 tahun dia menikah dengan Nuh. Bersama suami, untuk waktu yang cukup lama, dia mengasuh pondok pesantren. Setelah peristiwa 1983 yang menghebohkan, pada 1998 pesantren Kiai Nuh terbakar. Beberapa santri dan Kiai Nuh ikut terbakar dan tewas. Nyai Dini juga terbakar dan tewas. Seluruh jenazah dikuburkan di makam tak jauh dari pesantren. Akan tetapi, 21 hari kemudian, seseorang serupa Nyai Dini muncul. Dia bilang kepada warga Sekayu, ‘Allah menghidupkan aku lagi. Allah memintaku membangun pesantren lagi bersama kalian’,” kata lelaki itu.
Saat itu aku tetap tidak percaya pada cerita tetua kampung yang kemudian kuketahui bernama Sadrah tersebut. Yang mungkin benar-benar terjadi, Nyai Dini memang tidak pernah mati. Yang mungkin benar-benar terjadi, Nyai Dini memang diberi karunia oleh Allah untuk hidup lebih lama ketimbang teman-teman sebaya.
“Apakah semua orang yang datang ke Sekayu percaya pada ceritamu?” aku mengungkapkan keraguanku.
“Apakah kau tidak percaya pada ceritaku?” tanya Sadrah, “Percaya atau tak percaya itu urusanmu. Bertemu dengan siapa pun di Sekayu, kau akan mendapatkan cerita yang sama tentang Nyai Dini. Meskipun kau mungkin tidak percaya pada apa pun yang terjadi, warga akan menyambutmu sebagai juru kisah yang akan mewartakan segala peristiwa yang dialami oleh Nyai Dini.”
Aku terdiam. Aku lebih suka mendengarkan apa pun yang diceritakan oleh Sadrah.
“Selalu kau akan mendapatkan cerita Nyai Dini seakan-akan mati pada saat di negeri ini terjadi kematian massal. Karena itu, selalu sesudah Nyai Dini hidup lagi, dia selalu bilang kepada warga, ‘Aku akan minta Allah menghidupkan siapa pun yang telah mati. Tak harus jadi manusia lagi. Jadi macan, anjing, kupu-kupu, trenggiling, hiu, jeruk, apel, sirsak, rambutan, durian, atau apa pun tak jadi soal.”
***
AKU datang tiga hari setelah Nyai Dini dikubur. Kali ini aku ingin menjadi saksi kebangkitan Nyai Dini dari kematian. Beberapa hari sebelum mati, kata Sadrah, Nyai Dini bilang, “Di surga kelak kalian akan berjalan dengan kepala.”
“Mengapa?”
“Nyai Dini bilang, ‘Karena dulu di dunia kita senantiasa menggunakan kaki untuk melangkah ke tempat-tempat salah. Kepalamu tidak memintamu menjadi manusia rakus, tetapi kakimu mengajakmu melangkah menjadi koruptor. Kepalamu memintamu menjadi makhluk yang senantiasa berzikir, kakimu mengharapkanmu melangkah menjadi satwa pemangsa manusia lain’.”
“Apakah kau percaya pada seluruh perkataan Nyai Dini?”
“Aku percaya. Bahkan jika Nyai Dini bilang, ‘Di surga kau akan berjalan tanpa kepala. Aku akan percaya.”
“Kau juga percaya kali ini Nyai Dini dibunuh di pematang sawah hanya karena terlalu sering mendoakan politikus-politikus yang berkunjung ke rumahnya?”
“Aku percaya.”
“Kau juga percaya kali ini Nyai Dini akan bangkit dari kubur dan bersama dengan itu mayat-mayat yang dimakamkan secara massal dari segala penjuru akan hidup kembali?”
“Aku percaya.”
“Bangkit sebagai apa pun?”
“Ya. Bangkit sebagai macan, anjing, kupu-kupu, trenggiling, hiu, jeruk, apel, sirsak, rambutan, durian, dan lain-lain.”
Akan tetapi hari itu Nyai Dini belum bangkit-bangkit juga.
***
INI hari ke-21 aku menunggu kebangkitan Nyai Dini. Aku yakin pada hari ke-21 saat ratusan gagak terbang merendah ke makam Nyai Dini akan hidup kembali. Aku membayangkan dia bangkit dari kubur yang masih ranum dan berteriak, “Allah, Allah, bangkitkan bersamaku orang-orang yang dibunuh karena dianggap tak pernah memujamu lagi. Bangkitkan bersamaku orang-orang yang dibunuh karena dianggap merampok milik sesama. Bangkitkan bersamaku perempuan-perempuan kencana yang diperkosa, dianiaya, dan dibakar hanya karena mereka dicipta serupa citra dewa [2].”
Hanya, sayang, ditemani oleh penggali kubur yang terus-menerus menggali makam di sebelah kuburan Nyai Dini dan tiga makhluk berwajah mirip aku bernama Mahayit Satunggal dan Bangka Kalih serta Bathanga Sedaya, aku belum melihat tanda-tanda Nyai Dini bakal bangkit dari makam.
“Apakah kau yakin Nyai Dini dibunuh oleh politikus busuk?”
“Apakah kau punya pendapat lain?” tanya Mahayit.
“Kalau sekadar politikus busuk, aku yakin dia tak akan bisa membunuh manusia seperkasa Nyai Dini.”
“Kaupikir Izrail yang membunuh?”
“Apakah ada yang lebih digdaya dari Izrail?”
“Maksudmu Allah sendiri yang membunuh Nyai Dini?”
Aku tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi aku tahu apa yang akan kuceritakan kepada khalayak jika mereka bertanya kepadaku dengan pertanyaan yang sama. Aku justru bertanya kepada Bangka Kalih perihal kebangkitan orang-orang mati. Bangka Kalih bilang, “Kalau Kresna saja bisa membangkitkan Arjuna yang dibunuh oleh Bambang Ekalaya, masa Allah tak bisa menghidupkan makhluk seindah Nyai Dini? Kalau Allah berkenan menghidupkan Yesus, maka akan berkenan pula Zat Mahaperkasa itu meniupkan rob kehidupan kepada Nyai Dini.”
“Tapi Nyai Dini kan manusia biasa?”
“Siapa bilang dia manusia biasa?”
“Yang jelas, dia bukan nabi.”
“Kau yakin dia bukan nabi?”
“Dia tidak pernah menyampaikan wahyu.”
“Kau yakin dia tidak pernah menyampaikan wahyu?”
“Dia bahkan tak bisa membaca.”
“Kau yakin dia tidak bisa membaca?”
“Jibril tidak pernah mendatangi Nyai Dini bukan?”
“Kau yakin Jibril tak pernah bercakap-cakap dengannya?”
“Tentu saja aku tidak tahu. Tapi aku yakin benar Nyai Dini tidak pernah mendengarkan wahyu yang datang seperti gema sebuah lonceng. Itu berarti dia juga tidak pernah bercakap-cakap dengan Jibril.”
“Apakah kau tak percaya juga jika ternyata Nyai Dini justru bisa bercakap-cakap dengan Allah secara langsung?”
“Aku tidak percaya!”
“Kau harus percaya!” Bangka Kalih menyeringai, “Kalau tidak percaya aku dan Mahayit Satunggal akan menyiksamu. Aku bisa meminta penggali makam menguburmu hidup-hidup.”
“Kau juga harus percaya betapa Nyai Dini bisa menerima dan mengabarkan wahyu,” teriak Bathanga Sedaya marah.
“Dia hanya perempuan.”
“Apakah kaukira perempuan tak bisa menerima wahyu?”
“Meskipun pernah jadi istri Kiai Nuh, dia bukan orang suci.”
“Percayalah, Nyai Dini itu lebih suci dari Kiai Nuh. Dia hanya bisa disejajarkan dengan Nabi Musa yang mainpu bercakap-cakap dengan Allah. Dia lebih dari Nabi Sulaiman karena dia bisa bercakap-cakap dengan segala tumbuhan.”
“Aku tetap tidak percaya!” kataku setengah berteriak makhluk entah siapa yang sok berlagak sebagai malaikat pencabut nyawa itu.
“Kau harus percaya!” seru Bangka Kalih tak kalah keras sambil mendorong tubuhku ke bibir lubang kubur.
“Aku tak percaya!” aku berteriak lebih keras.
Ternyata teriakanku itu membuat penggali makam yang sudah melompat ke atas naik pitam. Dengan sangat cepat dia yang gurat-gurat wajahnya paling mirip denganku mengayunkan cangkul ke tengkukku. Aku pun terhuyung-huyung hampir jatuh ke lubang kubur. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Mahayit untuk menendang pantatku. Tindakan Maliayit yang tidak pernah kuduga itu membuatku tersungkur ke lubang kubur.
Itu bukan akhir segalanya. Mereka berempat dengan cepat menimbunku dengan tanah. Mereka menguburku hidup-hidup di sebelah makam Nyai Dini. Sial! Bagaimana aku bisa menjadi saksi kebangkitan Nyai Dini jika napasku kian sesak oleh timbunan tanah? Bagaimana aku bisa mendengar Nyai Dini yang mungkin saja akan berteriak, “Bangkitlah bersamaku, wahai, orang-orang yang teraniaya. Kalian tak harus jadi manusia lagi. Jadilah macan, anjing, kupu-kupu, trenggiling, hiu, jeruk, apel, sirsak, rambutan, durian atau apa pun. Aku menunggu kalian. Aku menunggu kalian di gerbang makam!?”
Apakah Nyai Dini juga menungguku membebaskan diri dari kezaliman Mahayit Satunggal, Bangka Kalih, Bathanga Sedaya, dan penggali kubur? Aku tidak tahu. Aku hanya merasakan timbunan tanah kian memberat dan kegelapan menghunjam dengan cepat. Aku samar-samar mendengar, “Kita akan terus hidup dan melupakan kematian yang tak perlu dan sia-sia. Kita akan tetap hidup….” ***
.
Catatan:
[1] Rafilus adalah novel karya Budi Darma. Pengarang membuka novel dengan kalimat: Rafilus telah mati dua kali.
[2] “Dicipta serupa citra dewa” adalah ingatan samar-samar saya pada puisi Ariel Heryanto, “Wereng”. Puisi itu menggambarkan posisi etnis Tionghoa yang dianggap sebagai wereng oleh para penguasa.
.
.
Triyanto Triwikromo memperoleh Penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2009 untuk Ular di Mangkuk Nabi, Tokoh Seni Pilihan Tempo 2015 untuk Kematian Kecil Kartosoewirjo, dan Penghargaan Kesetiaan Berkarya Kompas 2017. Selain sebagai jurnalis, Triyanto mengajar Penulisan Kreatif dan Jurnalisme Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.
Kuss Indarto sebagai kurator telah menguratori berbagai pameran seni rupa, antara lain Biennale Jogja (2007), Biennale Sumatera (2012), Biennale Jatim (2015), dan Ruang Indonesia di Beijing International Art Biennale (2017). Pernah mengikuti lokakarya dan pameran seni rupa, antara lain di Uttaradit, Thailand (2014), Nagykanizsa, Hongaria (2015).
.
Mati Setelah Mati. Mati Setelah Mati. Mati Setelah Mati. Mati Setelah Mati. Mati Setelah Mati. Mati Setelah Mati.
Leave a Reply