Ana Maria Shua, Cerpen Terjemahan, Koran Tempo

Sulap

Sulap - Cerpen Ana Maria Shua

Sulap ilustrasi Yuyun Nurrachman/Koran Tempo

5
(3)

Cerpen Ana Maria Shua (Koran Tempo, 21 Maret 2010)

LAMPULAMPU diredupkan dan pengeras suara dipasang senyaring-nyaringnya.

“Ayo, semua melompat-lompat dengan satu kaki!” terdengar seruan menggelegar para penghibur yang berpakaian seperti tikus. Dan anak-anak itu, bak robot-robot kesetanan, melompat-lompat penuh semangat dengan satu kaki.

“Ingatkah betapa gilanya kita waktu berumur tujuh tahun?” ayah gadis yang berulang tahun itu bertanya kepada salah satu ibu dari anak yang diundang hadir ke pesta tersebut seraya tersenyum senang, sengaja berteriak keras ke telinga perempuan itu agar bisa mendengarnya.

“Memangnya kenapa? Waktu itu kan tidak ada TV,” sahut si perempuan, tanpa mengharap jawabannya akan kedengaran.

Mereka tak menyadari bahwa Silvia, gadis yang berulang tahun, telah mengundurkan diri dari suasana yang membingungkan itu dan sedang bercakap-cakap dengan salah satu penghibur yang berpakaian kelinci. Lampu-lampu kembali diterangkan.

“Silvia ingin menunjukkan pada kita semua sebuah permainan sulap,” ujar Tuan Kelinci. “Dia akan membuat salah seorang dari kita menghilang!”

“Siapa yang ingin kau buat menghilang?” tanya Nona Tikus.

“Adik perempuanku,” sahut Silvia lewat mikrofon.

Carolina, seorang gadis kecil berusia lima tahun, tampak lucu menggemaskan bak sekeping kancing di baju merah mudanya, dengan penuh percaya diri maju ke depan. Jelas sekali bahwa mereka berdua telah berlatih permainan itu sebelum pesta karena gadis kecil itu membiarkan kakak perempuannya meletakkannya di bawah meja dan menarik taplak mejanya hingga ujungnya menyentuh lantai.

“Abrakadabra! Alakazam! Selesai sudah!”

Ketika mereka menyingkap taplak meja, Carolina sudah raib. Anak-anak bahkan tidak terkesan sama sekali dengan pertunjukan sulap itu: mereka sudah jemu dan hanya ingin segera menyantap kue ulang tahun. Namun, orang-orang dewasa sungguh terpesona menontonnya. Orang tua Silvia saling bertukar pandang penuh kebanggaan.

Baca juga  Andai-andai Kajut

“Sekarang, buat dia muncul kembali,” pinta Nona Tikus.

“Aku tidak tahu caranya,” sahut Silvia. “Aku mempelajari trik sulap itu dari TV dan Ayah menyuruhku mengganti saluran sebelum mereka menceritakan bagaimana caranya memunculkan kembali orang yang kuhilangkan.”

Mereka semua tertawa dan Nona Tikus menjulurkan tangannya ke kolong meja untuk menggapai Carolina. Tetapi Carolina tidak ada di sana. Mereka mencarinya ke dapur, kamar mandi lantai atas, di bawah tumpukan bantal, di belakang ruang belajar…. Mereka mencari dengan teliti, menelusuri seluruh ruang atas, inci demi inci, tanpa menemukan gadis kecil itu.

“Di mana Carolina, Silvia?”tanya ibundanya, agak khawatir.

“Dia menghilang!” jawab Silvia. “Sekarang aku ingin meniup lilin. Aku mau potongan kue ulang tahun di ujung yang banyak lapisan gula bekunya!”

Ayah kedua gadis itu berdiri di tangga selama permainan sulap ditampilkan dan tak seorang pun bisa menuruni tangga tanpa dia ketahui. Namun, mereka tetap meneruskan pencarian ke lantai bawah.

Carolina tidak ditemukan di mana pun.

Pukul sepuluh malam, lama setelah tamu terakhir meninggalkan rumah dan setiap sudut rumah dijelajahi berulang-ulang, mereka mulai menelepon kantor polisi dan rumah sakit.

.

“BETAPA bodohnya aku malam itu,” ujar Silvia dewasa bertahun-tahun kemudian kepada sekelompok teman yang datang untuk menemaninya pada hari kematian suaminya. “Betapa menyenangkannya kalau aku punya seorang adik perempuan di saat sesulit ini!”

Lalu, sekali lagi, Silvia menangis tersedu-sedu. ***

 .

.

Ana Maria Shua adalah penulis Argentina. Ia menulis novel, cerita pendek, puisi, naskah drama, esai dan naskah film. Cerita di atas diterjemahkan oleh Atta Verin dan Anton Kurnia berdasarkan versi Inggris Steven J Stewart.

.

.

Loading

Leave a Reply

error: Content is protected !!