Cerpen Gde Aryantha Soethama (Kompas, 29 September 2019)
SANGAT sering Ningrum punya keinginan hidup sendiri selamanya, tak usah menikah. Tapi, begitu niat itu muncul, selalu terbayang Saskara dengan hasrat berumah tangga yang mendesak desak.
“Kita akan jadi pasangan bahagia, Rum, membuat iri banyak orang,” jelas Saskara berulang-ulang, mungkin lebih dari seratus kali.
“Mereka yang memilih hidup sendiri juga bahagia, Sas,” sahut Ningrum, sedatar mungkin, agar Saskara tidak tersinggung.
Justru penolakan itu membuat hasrat Saskara kian berkobar. “Bisa saja, tapi ada yang kurang.”
Tekad laki-laki yang tak kunjung lelah membujuk itu selalu membangkitkan gairah Ningrum untuk menimbang-nimbang kembali memasuki bilik perkawinan. Tapi, jika teringat keluarga besarnya akan meremehkan dia setelah menikah, seketika redup pula hasrat itu.
Sudah lama keluarga besar Brahmana Uleman tahu Ningrum menjalin asmara dengan laki-laki biasa. Percintaan itu merebak menjadi gosip dalam dinasti yang melahirkan pendeta-pendeta penuh wibawa, kecuali kakek dan ayah Ningrum. Keluarga Uleman menilai dua laki-laki ini tak lagi pantas disebut pria brahmana karena menikahi perempuan biasa. Mereka kehilangan hak menjadi pendeta.
Jika saudara-saudara lain memanggil ayah mereka dengan sebutan Aji, dan ibu dengan panggilan Biang, Ningrum kehilangan hak itu. Dia memanggil ayah dengan Bapa, ibu dengan Meme, sebutan buat orangtua dari kasta paling rendah. Jika saudara-saudara lain memanggil kakek mereka dengan Kakiang, nenek dengan Niang, Ningrum memanggil kakek dan neneknya dengan Pekak dan Nini.
Para Uleman sangat yakin, jika Ningrum dinikahi laki-laki biasa, itu sebuah pencemaran hebat yang bisa melahirkan kutukan turun-temurun bagi keluarga besar, menguras kehormatan, melunturkan harga diri, dan merendahkan martabat.
“Omong kosong semua itu. Bapa dan Meme merestui kalian menikah.”
“Tapi mereka tidak, Bapa.”
“Menikahlah, berumah tangga menjadikan kalian mandiri. Dan kamu, Saskara, tahu apa yang harus dilakukan keluargamu jika hendak menyunting anak saya?”
“Kami akan datang meminang penuh syukur dan bahagia.”
“Tak usah, tak seorang pun keluarga Uleman akan menerima kehadiran kalian. Mereka merasa terhina jika keluargamu datang.”
“Apa yang sebaiknya kami lakukan?”
“Lari…… kawin lari saja. Sebagai orangtua yang merestui, kami akan berpura-pura tidak tahu.”
Ganjil bagi Saskara, mengapa orang yang diberi kehormatan, dijunjung dan dihargai sebagai keluarga penuh wibawa, menolaknya. Hatinya berbisik, “Kalau ayahku seorang gubernur atau menteri, kaum Uleman pasti menerima pinangan kami dengan bangga.”
Ningrum bingung, acap berniat membatalkan pernikahan, tapi Saskara teguh membujuk dan merayu. Rayuan yang tidak hanya meminta atau menuntut, tapi juga membangkitkan keberanian dan menyadarkan, masa depan itu ditentukan oleh pemiliknya, bukan oleh orang lain.
“Kalau saya bagaimana, Bapa? Haruskah mohon doa restu mereka? Saya tak sudi mendatangi mereka untuk diremehkan.”
“Tak usah mendatangi siapa pun, Rum. Kecuali satu, datanglah ke Pura Taman, tempat bersemayam para leluhurmu, untuk mohon doa restu. Tapi Bapa dan Meme tak bisa mengantarmu. Maafkan kami. Sebaiknya kamu datang sendiri, biar tidak heboh. Berdoalah agar diberi ketenteraman dan keberhasilan, yang memberi kalian martabat untuk mengubur kesombongan mereka.”
Pura Taman awalnya adalah sebuah griya, rumah kaum brahmana, tempat wangsa Uleman di Desa Tangkup. Kaum brahmana yang menghuni rumah itu perlahan-lahan menyusut karena semua akhirnya pergi ke kota mencari penghidupan modern, menjadi guru, dosen, pedagang, pegawai negeri, atau calo tanah. Mereka penuh semangat menjadi manusia urban, sampai-sampai Bapa memberi nama putrinya Urbaningrum. Kini hanya beberapa pelayan yang menempati halaman belakang bekas griya itu, sekalian mengurus sawah-ladang yang ditinggalkan.
Butuh lebih dari dua jam ke Pura Taman dari kota Ningrum bermukim. Ia memutuskan bermalam di Tangkup, tidur di rumah petani penggarap sawah.
“Aku antar ya, Rum?”
“Tak usah, Sas. Aku pergi sendiri agar petani-petani itu tidak bertanya-tanya, dan gosip tidak merebak dalam keluarga Uleman. Lusa aku berangkat, datanglah sehari setelah itu ke Tangkup. Aku menunggumu, pagi. Kita langsung ke rumahmu, selepas siang keluargamu akan menikahkan kita.”
Saskara tersenyum, dadanya berdegup, bergetar jiwanya. “Menikah juga kita akhirnya ya, Rum.” Ia pandang Ningrum dari kepala hingga betis, seakan ia tak percaya menikahi perempuan yang tiada henti dirundung ragu.
“Kujemput kamu di mana? Aku belum pernah ke Tangkup.”
“Kamu harus datang dengan motor. Mobil tidak bisa sampai ke Pura Taman, selain juga agar tidak menarik perhatian.”
“Di sebelah mana aku menjemputmu?”
“Menjelang Pura Taman ada deretan pohon gatep. Kutunggu kamu di bawah pohon gatep. Kamu tahu gatep?”
Mata Saskara bekerjap-kerjap tak paham, alisnya berkerut, kemudian menggeleng. “Baru kali ini kudengar nama itu.”
“Pohon gatep itu pohon gayam, batangnya kokoh dan beralur kuat, bisa sampai dua puluh meter tingginya. Bijinya keras, harus direbus lama biar enak dan gurih dimakan. Aku suka menyantapnya, sering diberi nenek. Sekali-sekali kamu perlu mencicipi.”
Saskara manggut-manggut. Ia menyukai Ningrum karena kecerdasan, ketelitian, dan ketekunannya sebagai dosen muda biologi, selalu mengejar informasi dan pengetahuan lebih dari yang ia perlukan. “Bagi orang Jawa, gayam mempunyai fllosofi gayuh yang berarti cita-cita, dan ayem bermakna damai, tenang, dan bahagia.”
Ningrum mesti berganti empat kendaraan umum untuk sampai ke Desa Tangkup yang subur, dikepung bukit-bukit Keliki, Jambul, dan Tuhu-tuhu. Di barat desa mengalir Tukad Telagawaja dengan air jernih dan berbatu-batu besar. Hanya sesaat ia bisa memicingkan mata di rumah petani penggarap beratap alang-alang itu. Dingin menggigit sepanjang malam, kunang-kunang berkedip-kedip riuh di lembah yang lembab.
Ketika embun bersiap meninggalkan bernas-bernas bunga padi, Ningrum melangkah ke Pura Taman. Sudah berulang kali ia ke tempat suci ini, setiap ada sepupu atau sanak saudara menikah. Pura Taman sangat ramai oleh pengantar pengantin wanita yang mohon pamit di pura leluhur karena ia akan mengabdi di keluarga suami. Penjor ditancapkan berjajar, payung-payung besar, tedung warna-warni berhiaskan prada, dipasang berderet di sebelah-menyebelah tangga dan sudut-sudut bangunan. Keluarga Brahmana Uleman merayakan syukur sangat meriah karena putri mereka disunting brahmana pula.
Para wanita yang menyertai berbusana indah, dengan kain endek halus dan brokat mahal. Yang lelaki mengenakan destar songket, berkilau diterpa sinar matahari. Gamelan ditabuh, suara seruling meliuk-liuk di antara denting genta digoyang jemari pendeta, sembari melantunkan doa-doa.
Desa Tangkup dipadati mobil diparkir berderet di ujung jalan. Tak seorang pun, anak-anak, remaja, lelaki dewasa dan wanita, para orang tua, yang memperhatikan deretan pohon gatep itu, kecuali Ningrum sendiri. Para brahmana itu sibuk menikmati kebahagiaan, bercanda dan bersenda gurau dengan kerabat. Percakapan riuh dan gelak tawa menggema, menelusup di antara rimbun daun, dahan, dan ranting.
Seperti juga kini, dengan ransel di punggung, bagai seorang pencinta alam sejati hendak mendaki gunung, Ningrum memandang sendiri pohon-pohon gatep kekar itu. Ia melangkah seorang diri, merasakan alangkah sunyi menjadi yang dikucilkan. Namun, ia teguhkan perasaan dan jiwa ketika melewati deretan pohon-pohon gatep, agar tidak lagi ragu pada keputusan yang ia ambil, yang bersumber dari kata hati, yang mutlak dan benar.
Ia bersimpuh di halaman pura, menghaturkan sembah ditingkahi cicit burung gelatik yang sibuk bercanda bersama anak-anaknya di sarang pohon-pohon buni, dengan buah-buah merah legam dan ungu tua lebat berjuntai-juntai. Kadang terdengar sayup lenguh sapi dari pondok-pondok sekitar.
Ningrum mohon restu agar para leluhur memberi dia ketabahan dan kekuatan. Dia suntuk berdoa semoga Hyang Widhi mengabulkan tekadnya menjadi guru besar biologi. “Agar mereka yang sombong-sombong itu berhenti meremehkan hamba,” pintanya dengan hasrat kuat dan perasaan haru, tanpa dendam dan dengki.
Pengharapan itu terus-menerus ia ulang-ulang dengan tubuh merinding dan mata terpejam, ketika duduk di bawah pohon gatep menunggu Saskara. Tak pernah ia sesunyi dan sekosong ini. Perasaan gamang membuat ia tak sadar seorang petani bercapil dengan baju kumal dan bercelana lusuh lama memperhatikan, berdiri tenang di hadapannya.
“Sedang menunggu siapa. Nak?”
Ningrum seperti mengenal suara petani itu, tapi tak yakin.
Petani itu melepas capilnya, rambutnya yang sepinggang tergerai. Ningrum tertegun menatap. Si petani melepas bajunya yang kumal, tampak jaketnya yang bersih menyergap pandangan Ningrum. Ia kenal betul jaket hijau toska itu, yang selalu dikenakan ibunya kalau naik motor pergi-pulang mengajar di SMA.
“Memeeee….,” seru Ningrum memeluk bundanya. Tubuhnya bergetar oleh sedu sedan. “Dengan siapa, Me? Mengapa harus begini?”
“Sendiri, Rum. Harus menyamar seperti ini agar tak seorang pun tahu, biar tidak heboh.”
“Bapa juga tidak tahu?”
“Sengaja tidak diberi tahu, agar ayahmu tidak semakin sedih dan bingung. Meme harus melepasmu, agar ibumu ikhlas dan tenang menyaksikan kamu berangkat menjadi manusia mandiri.”
Petani-petani tengah sibuk menggarap sawah, tak seorang pun melintas.
“Tak ada cukup waktu buat kita, Rum,” ujar Meme sembari meraba tas di pinggang, mengeluarkan benda berukir berkilau oleh cahaya pagi.
“Ini warisan, Rum, pemberian nenekmu yang disematkan di sanggul Meme ketika menikah. Jika kita merawatnya dengan baik turun-temurun, ia akan menjadi wasiat bertuah. Kenakan nanti siang saat kamu dan Saskara menerima restu dari pendeta disertai sesaji dan mantra. Sepatutnya Meme yang mengenakan di sanggulmu, tapi….”
Tak akan ada orang Uleman hadir pada upacara pernikahan itu. Ningrum benar-benar sendiri menghadapi hari bersejarah, saat terpenting dan sangat mulia dalam hidupnya. Senista apakah dia sehingga harus dibuang dan menanggung beban jiwa yang senyap dan hampa?
Tangan Ningrum gemetar menerima tusuk konde emas berhias permata jingga itu, kemudian memeluk Meme dengan tubuh terguncang-guncang menahan isak. Lama anak-ibu itu tak sanggup berkata-kata, cuma saling menepuk dan mengelus menabahkan hati. Beberapa ekor capung hinggap di pucuk-pucuk pohon bunga gumitir, seperti mengamati dengan saksama dekapan duka itu. Kupu-kupu menari indah mengelilingi, seakan memberi penghiburan agar mereka terbebas dari kepiluan.
Sayup-sayup deru motor mendekat merambah hening pagi. Meme memiringkan kepala, mempertajam pendengaran buat memastikan. “Itu pasti motor Saskara. Sebentar lagi ia akan tiba di deretan pohon gatep ini, seperti yang kita rancang.”
Deru motor semakin dekat, terasa sebentar lagi sampai, mengagetkan burung-burung prenjak yang sedang asyik dan sibuk mematuk-matuk bunga-bunga putih pohon turi.
“Meme harus segera pergi. Calon suamimu tak boleh tahu pertemuan rahasia ini, agar tidak sampai bocor ke keluarga Uleman.”
“Biarkan mereka tahu, Me. Kita harus melawan. Mesti berani, jangan tunduk.”
“Tak mudah melawan tradisi, bahkan tradisi yang keliru sekalipun, Rum. Kasihan Bapa, pasti diejek-ejek sepanjang hidup, dikucilkan dan digunjingkan jika kita menentang.”
Meme bergegas mengenakan capil kembali, merapikan pakaian kumal untuk menutupi jaketnya, agar penyamaran tetap terjaga. Beberapa ekor belalang meloncat terbang dari bunga-bunga rumput ketika ia menerobos pematang, sebelum mencapai sepeda motor yang ia parkir dekat gubuk sapi.
Ningrum duduk di boncengan dengan dada sesak, tak kuasa menahan sedih. Saskara diam tak berani mengusik. Tak putus-putus Ningrum memandang pohon-pohon gatep yang menjadi saksi pertemuan rahasia itu. Buahnya yang keras terayun-ayun lembut diembus semilir basah angin pagi. ***
.
.
Gde Aryantha Soethama, banyak menulis buku tentang Bali, daerah tempat ia lahir dan hidup sampai sekarang. Bukunya berupa antologi cerpen, laporan perjalanan, dan sejumlah kumpulan esai. Buku kumpulan cerpennya, Mandi Api, memenangi Khatulistiwa Literary Award 2006.
Dewi Fortuna Maharani lahir di Jakarta pada 13 Agustus 1995. Telah menyelesaikan pendidikan di Studio Seni Lukis Program Studi Seni Rupa Institut Teknologi Bandung. Sekarang ia masih berkarya dengan medium seni lukis dan fotografi.
.
Jemput Aku di Bawah Pohon Gatep. Jemput Aku di Bawah Pohon Gatep. Jemput Aku di Bawah Pohon Gatep. Jemput Aku di Bawah Pohon Gatep. Jemput Aku di Bawah Pohon Gatep.
Leave a Reply