Cerpen, Kompas, Lina PW

Ramin Tak Kunjung Pulang

Ramin Tak Kunjung Pulang - Cerpen Lina PW

Ramin Tak Kunjung Pulang ilustrasi Astuti Kusumo/Kompas

5
(1)

Cerpen Lina PW (Kompas, 08 Desember 2019)

RAMIN berhenti, menoleh ke belakang, tergesa menarik napas.

“Kalau saja aku tidak nekat ke sini,” rutuknya dalam hati. Ia bergegas menerobos belukar. Dari jauh terdengar deru langkah-langkah memburu.

“Sial…sial…sial…!” Ramin mendesis, kemejanya sobek, lengannya berdarah tergores semak berduri, tapi ia tak peduli.

Petang mulai turun, waktu paling buruk untuk dikejar atau mengejar. Kecelakaan kerap terjadi, mata manusia tidak melihat bentuk dengan benar. Tapi, ini malah bagus bagi Ramin. Ia bergegas terus… terus… menghilir sungai, yang penting jauh… jauh… jauh… dari para pemburu.

Ia memikirkan Dadan yang lari bersama, tapi terpisah di tengah jalan. Juga Aco, orang sial yang bikin mereka ketahuan petugas. Kalau Aco tak berulah ke preman pasar, petugas tak mungkin mencurigai mereka sebagai pekerja ilegal, dan tak mungkin juga kini Ramin berlari sekuatnya menuju Sungai Tawau, satu-satunya jalan kembali ke Tanah Air.

Kini ia di pinggir sungai, separuh terlindung dari para pengejar berkat rumput-rumput liar tinggi, berharap menemukan tempat sembunyi. Sungai perbatasan itu bukan sungai yang garang, bahkan pemurah. Ramin dan rekan kerap memancing di sungai ini mendapat banyak ikan untuk makan malam. Tapi hari ini sungai itu tampak tak bersahabat. Hujan sejak seminggu membuat air bah menghempas apapun yang dilalui.

“Kalau aku lolos, ya Allah, sumpah aku tak akan balik ke tempat laknat ini, berapa pun uang yang kuterima. Biar anakku tak usah menikah saja kalau uang tak ada!” bisik Ramin lagi dalam hati. Terseok-seok ia berjalan menuju akar-akar pohon rumbia di pinggir sungai, lumpur sudah sampai di mata kaki.

Kakinya gemetar, ranselnya mulai berat. Tapi Ramin tetap mendekapnya kuat-kuat, karena ke dalam ransel itulah ia menjejalkan semua ringgit jerih payah dua musim bekerja keras di negara orang. Tak akan ia lepaskan ransel itu, tak akan.

Ramin di sela-sela akar pohon, tak ada cara lain untuk sembunyi selain menenggelamkan – paling tidak separuh tubuh, berpegang kuat pada akar agar tak terseret arus deras.

“Ke sungai… sungai…!” teriak salah seorang pengejar.

Berpegangan pada akar rumbia dalam senyap, tanpa gerak tambahan yang dapat membuat para pemburu mengetahui tempatnya sembunyi, Ramin menggigil diayun-ayun gelombang deras tepi sungai. Dalam dorongan kuat air, ia teringat siang tiga musim lalu ketika beristirahat di pondok, kecewa merawat cuma belasan pohon cengkeh. Hasilnya sangat sedikit karena terserang hama, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga pun kurang, apalagi buat bayar hutang-hutang menumpuk. Anak gadisnya pun sudah merengek minta menikah.

Biaya menikahkan anak tidak murah. Kalau semua pohon cengkehnya sehat, Ramin paling tidak butuh tiga kali panen untuk biaya menikahkan anaknya. Ia harus mencari pekerjaan baru.

Ramin mulai dengan mendatangi rumah Naspin yang mempekerjakan puluhan nelayan, berharap bisa mendapat kerja.

Baca juga  Kupu-Kupu Bersayap Elang

“Sekarang lagi musim angin barat, Min, banyak perahu kami tidak jalan, tidak ada kerjaan lagi,” jawab Naspin sambil menyuguhkan gorengan. Tangan Ramin lunglai mendengar jawaban Naspin, urung mengambil pisang goreng.

“Kalau pinjam uang, bisakah, Pin?” Ramin masih berharap.

“Nihil, Min… Kalau ada pasti kukasilah, susah sekarang ini, ikan tak banyak, hasil jualan jadi tak seberapa,”

Kecewa, Ramin melanjutkan upaya kedua, pergi ke Haji Ramlan, untuk pinjam uang saja. Tapi malah ditertawakan. ”Hai Min… Min…. bayar bunga pinjaman yang kemarin saja kau tak lunas-lunas, mau pinjam lagi? Ha-ha-ha!”

Ramin pergi dengan tengkuk tertekuk. Masih mencoba peruntungan, ia mampir ke Mansyah, importir sembako dari Negeri Jiran. Ramin berharap dapat kerja di salah satu kapal pengiriman barang. Sayang Mansyah tak bisa membantu karena awaknya sudah penuh. Oleh Mansyah, ia disarankan ke Dadan, teman masa kecilnya yang juga karib Mansyah. “Dadan kan sekarang jadi calo pekerja ke Malaysia,” jelas Mansyah.

“Kerjaan di Malaysia banyak, kau bisa jadi tukang listrik perumahan. Duit enak, kerja santai, apalagi kau sudah punya pengalaman toh,” Dadan membuka ajakannya. Ramin tersenyum samar, ia memang pernah bekerja jadi tukang listrik kampung meski tidak lama.

“Tapi aku harus keluar uang berapa untuk urus surat-surat, Dan? Kerja di luar negeri kan repot urus surat?”

“Ah gampang itu, kita bisa pakai kapal-kapal kecil, banyak jalan menuju Tawau, Min, tanpa biaya awal,” jawab Dadan meyakinkan Ramin.

“Yang benar, Dan?”

“Aku sudah bolak-balik kirim orang kerja ke sana, semua aman pulang ke kampung, langsung beli tanah, beli mobil, menikahkan anak…” jawab Dadan. “Kalau kau butuh uang cepat, berangkat sudah, Min.”

“Tanpa surat-surat? Memangnya aman? Kalau kena tangkap?” Ramin memastikan lagi, meski ia tahu tak punya pilihan lain. Kalau anaknya kawin lari karena sudah ngebet, tapi ia belum punya biaya menikahkan… aih, aib luar biasa itu.

“Kau lihat si Jahin kemarin pulang tak kekurangan apapun? Malah beli motor baru buat istrinya. Atau si Suhar kemarin pulang langsung buka pertamini? Kalau kubilang aman, ya aman!”

***

Ramin nyaris menjerit, tangannya tertumbuk dahan hanyut saat buru-buru sembunyi di dalam pelukan akar, untung ia segera melihat dahan itu. Hampir ia mengira mulut buaya yang siap menelan lengannya.

Teringat lagi ia pada Aco, sejak semusim lalu ia ikut Dadan karena hasil cengkehnya tak bagus, sementara tengkulaknya minta selalu dibayar. Aco tertangkap petugas saat adu mulut di pedagang nasi lemak lantaran ia mengumpat pada preman yang menutupi jalan.

Hari itu memang perpaduan nasib sial jatuh di hadapan Aco, umpatannya didengar preman, adu mulut terjadi, dan petugas sedang lewat. Apes. Aco lalu dibawa petugas, digiring bagai ternak ke tengah lapangan, dipukuli dengan bengis saat mencoba kabur, ditanyai macam-macam, didenda hingga ia tak sanggup bayar, diambil hasil kerjanya satu musim, dideportasi, pulang ke rumah dengan tangan hampa, ditunggu tengkulak pula. Bah! Hilang sudah satu kebun cengkeh dirundung sial.

Baca juga  Kue Bude

Gara-gara Aco juga petugas kini memburu Ramin dan Dadan. Ternyata Dadan memang sudah dicari-cari petugas karena beberapa kali memasukkan tenaga kerja tanpa izin. Ramin memang tak berpikir panjang saat berangkat kerja dengan Dadan, yang penting ia bisa membawa pulang uang untuk menikahkan anaknya, buat pengobatan sakit gula ayahnya, dan sisanya bisa ia belikan mesin cuci yang saban hari diminta istrinya.

Ramin tak mau nasib naas Aco terjadi pada dirinya. Wajah sumringah anak gadisnya sudah terbayang girang menyambutnya dengan ransel penuh uang.

***

Bunyi langkah mendekat, pelan, Ramin membeku, sekuat-kuatnya menahan napas. Baginya lebih baik tak bernapas daripada tertangkap petugas-petugas berwajah garang itu. Bisik-bisik makin kencang. Ramin memutar otak. Kalau mereka melihat rumput-rumput rebah itu, atau kalau ada satu dua orang cukup jitu tebakannya, mungkin mereka bisa yakin kalau pelarian yang mereka kejar bersembunyi di antara akar pohon.

“Mungkin dia berenang lewat sungai?” bisik seorang pemburu.

“Bodoh betul, lihat air sungai deras begitu? Hujan lagi…,” jawab yang lain.

“Shhhh…. lihat ada jejak ke sungai, mungkin di balik akar itu,” geram suara lain, kali ini lebih tegas dan yakin.

Ramin mendengar kecipak sepatu bot yang mendekat ke tepi sungai, melewati jalan becek. Ia mencengkram akar lebih erat hingga tangannya kebas. Tapi ia harus bersembunyi, ia harus lari, ia mau pulang dengan hasil kerjanya utuh. Subuh nanti, kalau ia berhasil lepas dari buruan petugas, ia bisa pulang menumpang kapal, hanya beberapa kilometer dari tempatnya sembunyi. Mereka biasa menurunkan penumpang, calon pekerja dari kampung Ramin, dan menaikkan barang jualan dari Tawau ke desa perbatasan Aji Kuning di Nunukan. Bila sudah sampai Nunukan, jalan pulang akan lebih tenang.

Ramin ingat niatnya membawa oleh-oleh lawa buat istrinya, terbuat dari rumput laut dicampur udang galah dan kelapa disangrai kering. Saban kapal angkutan membongkar barang, istrinya selalu titip makanan gurih Nunukan itu pada awak kapal.

Namun kini Ramin tengah sibuk melepas lilitan banyak akar di jemarinya yang kebas. Ia melangkah dalam gelap, satu langkah, dua langkah, tiga… kini ia sudah tenggelam hingga leher. Ia melangkah hampir ke tengah sungai, bagian yang lebih dalam. Meski derunya tak terdengar, tapi arus mendorong seluruh tubuh Ramin. Ia berdoa dan berdoa, semoga tak ada yang melihat bahkan bayangannya.

Suara langkah semakin jelas, Ramin menarik napas panjang, lalu menenggelamkan kepalanya. Arus melarikan rambut hitamnya. Tak awas dengan derasnya aliran air, ia tergelincir, terhempas ke kiri tanpa suara, kepalanya menghantam bonggol akar besar yang keras, kakinya terlilit akar di dasar sungai.

Arus makin deras, langit makin gelap, langkah sepatu-sepatu bot pemburu sudah tak terdengar. Mereka memang sempat menelisik ke akar-akar tempat Ramin bersembunyi, tapi tak menemukan apapun. Seharusnya Ramin lega, tapi ia tak kuasa merasakan apa-apa, ia sudah tak bergerak bahkan sebelum lilitan akar pada kakinya mengendur. Pasang semakin tinggi dan tubuhnya terbawa aliran sungai, terbanting-banting mengarungi kelam malam.

Baca juga  Sangkar Dosa

***

Dan di sana, dalam gubuk di antara pohon-pohon cengkeh yang meranggas, doa tak kunjung habis dipanjatkan. “Ya Allah, aku percaya suamiku akan pulang dengan selamat, menepati janjinya untuk menikahkan anak kami,” istri Ramin berdoa setiap subuh, memohon, kerap menangis. Semakin ia rindu suaminya, kian perih dadanya.

Anisa, anak gadis Ramin, sudah matang betul, tak menikah, sabar menunggu ayahnya pulang membawa restu dan uang. Namun tunangan Anisa tidak sesabar dirinya. “Aku tetap mencintaimu, Anisa, tapi keluargaku tak sanggup menunggu,” ujar kekasihnya memberi alasan untuk menikahi perempuan dari desa sebelah yang kini sudah memberinya dua anak.

Mata Anisa selalu sembab jika ia teringat saat harus melepas pergi kekasihnya. Namun ia tetap tabah, penuh harap, dan sangat yakin ayahnya pulang.

Subuh itu Anisa ikut ibunya berdoa agar ayahnya selamat pulang. Dari cerita awak kapal yang biasa mengangkut pekerja gelap, mereka tahu, Ramin dikejar petugas sebelum beritanya tak sampai lagi. Banyak cerita pekerja seberang yang sembunyi hingga lama agar tak ditangkap petugas, ia berharap ayahnya salah satu dari orang-orang itu. Meski pernah pula ibu dan putrinya itu berpikir, Ramin mungkin sudah menikah lagi dan membangun keluarga baru di rantau. Tapi Anisa yakin ayahnya tak sampai hati berbuat begitu. Ia tepis jauh-jauh pikiran itu, walau hatinya pilu. Ia yakin, ayahnya pasti pulang. Pasti. ***

.

.

Lina PW, lahir dan besar di Pulau Dewata, Bali. Mulai menulis sejak sekolah menengah dengan menuangkan ide dan pengamatannya melalui tulisan jurnalistik. Pernah menjadi wartawan lepas di beberapa media lokal dan kontributor kisah perjalanan di sejumlah media nasional. Tulisan-tulisannya antara lain dibukukan dalam antologi Merajut Mimpi di Sudut Negeri dan Kerlip Cahaya di Perbatasan. Tahun 2016, ia mengikuti lokakarya penulisan cerpen yang diselenggarakan harian Kompas.

Astuti Kusumo, lahir di Yogyakarta, 29 September 1970. Mengenyam pendidikan di Fakultas Ekonomi UPN Yogyakarta. Pameran tunggalnya Gemati (2019) digelar di Balai Soedjatmoko Solo, Dalam Padhang (2018) di Jogja Gallery, dan Seratan Luru Raos di Bentara Budaya Yogyakarta (2017). Selain itu, aktif dalam beragam pameran bersama sejak 2010.

.
Ramin Tak Kunjung Pulang. Ramin Tak Kunjung Pulang. Ramin Tak Kunjung Pulang. Ramin Tak Kunjung Pulang. Ramin Tak Kunjung Pulang. Ramin Tak Kunjung Pulang.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!