Cerpen Wisnu Suryaning Adji (Kompas, 15 Desember 2019)
SAUDARA, biar kukatakan kalau aku melihatnya tiba-tiba berdiri di sana—di pojok ruang, dan kukira aku sudah mengunci pintu belakang rapat-rapat. Jadi, ia tidak datang lewat pintu belakang. Ah. Aku lupa kalau ia tidak butuh kunci.
Ia bisa masuk kapan saja dengan cara begitu saja bahkan bisa jadi lewat jalan mana saja (kalaupun pintu itu tidak ada di sana), lalu bertanya, “Kau sudah siap pergi?”
Waktu itu, aku sudah bilang, “Beri aku enam bulan lagi.”
Ia tersenyum, kemudian mengulang, “Enam bulan,” lalu pergi melalui jalan yang tak kuketahui, padahal ini rumahku sendiri—rumah semen dengan tangga kayu. Tidak ada siapa-siapa. Ayah-ibuku sudah lama mati, dan seperti sebelumnya, pintu tetap terkunci.
Aku menatap pintu itu. Di baliknya adalah jalan sempit di belakang rumah. Aku membayangkan jalan hidupku, dan mulai mengetik dengan sebuah mesin ketik tua yang bunyinya seperti anak kuda berderap-derap di atas aspal panas sebuah kota hantu. Tiap geretak tuts merangkai huruf jadi kata jadi kalimat jadi paragraf jadi bab jadi kumpulan bab jadi cerita sebelum di bagian akhirnya bisa kutulis: Tamat.
Aku tahu, waktuku akan segera habis, dan sebelum semua itu terjadi, aku telah menjelaskan pada kekasihku. “Kita tidak mungkin bersama lagi.”
“Mengapa?”
Matanya bertuliskan tanda tanya.
“Karena … aku mencintaimu.”
“Bohong.”
“Tidak.”
“Sudah kuduga. Kau jatuh cinta pada perempuan lain.”
“Tidak.”
“Lalu apa?”
“Aku mencintaimu.”
“Dusta.”
“Tidak.”
“Lalu apa?”
“Kebenaran.”
Kudorong tubuh kekasihku itu ke arah pintu depan dan ia melawan. Kutarik pergelangan tangannya. Ia terus melawan. Kuseret ia keluar. Kubanting dan kukunci pintu dari dalam sambil berpikir sekaligus menyimpulkan bahwa selain lewat novel-novelku aku tidak terlalu ahli menjelaskan tentang cinta. Kekasihku itu terus menggedor-gedor dan kunyalakan musik keras-keras lewat piringan hitam. Jim Morrison meraung-raung, menyanyi “Break on Through” sepenuh kemarahan. Aku kembali menetakkan tuas-tuas mesin tik pada kertas. Tik tak tik tak. Huruf, kata, kalimat, paragraf, dan seterusnya simultan berloncat-loncatan. Aku punya waktu enani bulan (yang terus berkurang) untuk menyelesaikan novel ini. Suara gedoran. Aku terus mengetik. Tik tak tik tak. Lagi, suara gedoran. Tik tak tik tak. Diam! Dan, kusadari bahwa asalnya dari langit-langit karena kudengar suara orang berteriak. Kumatikan piringan hitam. Jim Morrison terpejam—mati ditikam malam. Sepi. Mungkin, kekasihku itu sudah pergi.
Aku berdiri, melangkah menuju pintu depan. Kutempelkan telingaku pada daun pintu dan kudengarkan bunyi di baliknya. Saudara, sepi ternyata bisa menimbulkan bunyi. Jalan sunyi sedang mencoba bersuara. Kekasihku sudah benar-benar pergi.
Sudah tiga tahun aku menjalin sebuah hubungan percintaan dengan kekasihku itu.
Aku ingat kali pertama bertemu dengannya di bangku taman di tengah kota—tak terlalu jauh dari rumah. Penulis gemar mengingat-ingat (begitu kata orang), padahal aku menulis untuk melupakan. Kupikir, berjalan-jalan di taman dapat memutus kebuntuan. Aku sedang kehabisan ide (karena rasanya semua hal mulai terlupakan), sebagaimana memang rasanya selalu begitu. Kenyataannya tidak selalu begitu. Otakku tetap buntu sehingga kuputuskan untuk duduk di bangku besi tempa dan mulai membaca sebuah buku tipis yang kubawa dari rumah. Carlos Maria Dominguez yang menulisnya. Buku tentang seorang kolektor buku gila yang malah menegaskan kesia-siaan dari kegiatan yang sedang kulakukan (tapi terus saja kulakukan entah karena apa). Mungkin, aku keranjingan mencatat. Sehingga, kini, aku mulai kehabisan perihal-perihal yang bisa dicatat. Apakah makna dari catatan-catatan yang kelak terlupakan? Pula, hidupku tak semegah itu, terlalu semenjana jika dibandingkan pahlawan-pahlawan yang terus mencoba menyelamatkan hidup orang-orang miskin di tengah kota.
Angin sejuk berembus di taman.
“Kau senang membaca?”
Tidak kusadari, seorang perempuan tiba-tiba duduk di sebelahku. Aku menengok. Rambut ikalnya menjulur, menutupi bagian atas dadanya. Matanya berkilau tertimpa cahaya sore yang menembus sela daun-daun.
“Tidak,” jawabku.
“Kulihat kau terus membaca.”
“Aku tidak tahu mengapa aku terus membaca.”
Ia menunduk, rautnya berubah sedih, “Aku juga tidak tahu apa sedang kulakukan.”
Kututup buku itu, lalu kupandang mata yang telah kehilangan kilau karena matahari terus melesak ditelan bayangan pohon-pohon. “Aku punya tiga botol anggur di rumah. Kalau … kau tidak berkeberatan dengan anggur murahan.”
Ia tersenyum, berdiri, dan kuanggap tindakannya sebagai tanda kesediaan. Lalu, kami berjalan pelan-pelan keluar dari taman kota, menyusuri pinggiran toko-toko yang mulai kehilangan pelanggan. Malam itu, kami tertawa dan meminum anggur sampai mabuk. Rumahku hampir tak pernah dikunjungi siapa pun. Dan, kami bercinta di pertemuan pertama, sebelum aku sempat mengingat namanya.
Hari ini, aku sudah mengusirnya sambil terus berusaha tak menyesalinya. Sebuah novel sedang menunggu untuk segera diselesaikan. Waktu tak bisa menunggu. Tik tak tik tak. Kira-kira 20.000 kata lagi. Tik tak tik tak. Kira-kira 19.900 kata lagi. Dan, seterusnya dan seterusnya dan seterusnya, perlahan-lahan. Lalu, aku berhenti dan kembali memikirkan kekasihku yang mungkin sekarang sedang menangis meraung-raung di bangku taman kota.
Kemudian, dia datang. Tiba-tiba—seperti yang telah kusebutkan di awal cerita. Sudah beberapa hari ini seorang laki-laki berdiri di depan rumahku, menatap rumah ini, atau memandangku yang terus memandangnya lewat kaca yang menutupi sebuah jendela tua.
Kukatakan padanya, “Ini belum enam bulan.”
“Aku hanya ingin tahu apa yang sedang kau lakukan.”
Kupandang sosoknya, “Apakah kau adalah orang yang sama dengan laki-laki yang tinggal di dalam langit-langit?”
Ia tak menjawab, dan aku kembali meneruskan ceritaku. Cerita ini tentang masa lalu, tentang seorang penulis sebatang kara yang terus-menerus tak mampu meneruskan ceritanya. Satu kalimat. Satu kalimat lagi. Satu kalimat. Dan, pikiranku pampat. Aku berdiri lagi, berjalan ke pintu dan mcnempelkan telingaku di sana—mencoba mendengar bunyi di baliknya. Saudara, kekasihku itu sudah benar-benar pergi.
***
Ada seseorang tidak dikenal tinggal di dalam langit-langit rumahku. Aku tidak mengetahui bagaimana ia bisa masuk, dan kapan ia mulai bersembunyi di sana. Aku tak pernah melihat sosoknya, tapi aku merasa akrab dengannya. Ia tidak suka jika aku mulai membuat keributan dengan menyalakan musik keras-keras. Atau, ia tak menyukai Jim Morrison saja. Entahlah.
Waktu aku kecil ia berkata dalam kepalaku, “Pikiranmu terlalu ruwet untuk seorang anak kecil.”
“Kupikir, semua orang memiliki pikiran sepertiku.”
“Tidak. Semua orang tidak berpikir sepertimu. Mereka menganggapmu gila.”
Waktu itu, aku tidak tahu apa artinya menjadi gila. Sampai aku masuk sekolah dasar dan teman-teman mulai mengatakan bahwa aku gila karena gemar menyendiri. Aku suka membayangkan dan tidak menyukai menyebutnya sebagai perenungan. Aku tidak merenung, aku membayangkan.
Waktu kecil, aku tak pernah membayangkan bahwa perjalanan semacam ini bisa terjadi—menempuh gang-gang kota yang selalu terasa asing, melangkah setapak-setapak menuju pucuk gedung-gedung, atau menyusuri dinding tebing di pinggir langit. Tak kusangka bahwa perjalanan adalah perihal-perihal kesunyian. Tiap langkah kaki adalah sedikit jejak yang mendekat pada ketakutan. Setiap hari adalah satu langkah untuk menjadi akrab dengan laki-laki yang tinggal di langit-langit. Semakin sering aku menulis, semakin sering ia muncul. Setelah itu, aku tak pernah keluar rumah. Hanya kekasihku yang kupersilakan masuk untuk membawa makanan yang ia belikan untukku karena aku selalu kekurangan uang.
“Ini belum lagi enam bulan. Beri aku waktu untuk menyelesaikan urusan-urusan.”
“Apa yang kau pikirkan?”
“Kekasihku.”
“Kau tak perlu memikirkannya.”
“Aku tak bisa berhenti memikirkannya.”
“Kalau kamu mau, temui saja. Kau akan tahu kalau itu tidak ada gunanya.”
Jadi, sebelum aku mengusir kekasihku itu, aku telah mengatakan padanya, “Kau tidak perlu membawakanku makanan lagi.”
“Mengapa?”
“Aku sekarang tidak butuh makan.”
“Atau, kau tidak butuh aku.”
“Aku selalu butuh kamu. Sampai … hari ini.”
“Mengapa?”
“Itu untuk kebaikanmu.”
“Itu karena kamu akan pergi.”
Aku diam sebentar, dan setitik penyesalan menyusup dalam hatiku, “Aku harus pergi.”
***
Saudara, setiap orang memilih sakit hatinya sendiri. Begitu ujar laki-laki yang tinggal di langit-langit. Ia memang tidak perlu membuka pintu. Ia langsung masuk ke dalam kepalaku.
“Apa yang kau tulis?” tanyanya.
Aku diam sebentar. “Hidup. Aku menulis hidup.”
“Tulislah tentang kematian.”
“Bukankah menulis kehidupan adalah menulis kematian?”
Ia diam, seperti tahu tentang sakit yang kutorehkan pada hatiku sendiri ketika memaksa kekasihku pergi karena sesungguhnya aku yang tak pernah ingin meninggalkannya. Sehingga, kuputuskan untuk berjalan menuju taman di tengah kota. Matahari senja sedang menembus dedaunan. Kulihat kekasihku itu duduk sendiri di atas sebuah bangku yang terbuat dari besi tempa. Ia menunduk dan kulihat beberapa tetes air mata jatuh ke lututnya.
Aku duduk di sebelahnya, dan bertanya, “Apakah kau suka membaca?”
Ia menengok, “Iya.”
“Kulihat kau tidak membaca.”
“Aku tidak tahu mengapa aku tidak membaca.”
Aku mulai kehabisan kata-kata.
“Aku tidak punya anggur murahan lagi. Tidak ada lagi yang bisa kuberikan,” aku berujar.
Rautnya bersinar, air mata membantu matanya untuk memantulkan cahaya senja. Lalu, ia bangkit, memegang tanganku. Kami berjalan pelan-pelan, menyusuri pinggiran toko-toko yang mulai kehilangan pelanggan.
“Mungkin, ini adalah kali terakhir,” ujarku.
Lalu, di sebuah rumah semen bertangga kayu, kami bercinta seperti sedang dalam pengaruh anggur murahan. Kami berbaring membayangkan waktu yang takkan pernah bisa menembus ruang.
Kekasihku berbisik, “Seperti kau tidak sadar bahwa kau selalu gagal menentukan akhir.”
“Kali ini, aku tahu akhirnya. Aku sedang menulis tentang kita,” bisikku sendiri. “Namamu tertulis di sana.”
***
Saudara, naskahku baru saja selesai—sehari sebelum masa enam bulan itu benar-benar habis. Telah kuberikan rumah ini pada kekasihku dengan pesan agar ia terbiasa dengan seorang laki-laki yang tinggal di langit-langit. Aku tidak pernah tahu apakah laki-laki yang tinggal di langit-langit sama dengan laki-laki yang kini berdiri di hadapanku.
“Terima kasih sudah memperpanjang waktuku,” ucapku.
Ia menggeleng, “Aku tak pernah memperpanjang waktu.”
“Benarkah?”
Ia mengangguk, “Kau sudah siap pergi?”
Aku tidak tahu apakah jawabanku akan ada artinya karena aku tetap pergi juga pada akhirnya. Ia mulai berjalan dan kuikuti langkahnya. Ia berbalik dan menunjuk, “Tutup pintu di belakangmu. Setelah ini, pintu benar-benar terkunci. Takkan bisa dibuka lagi.”
Sebelum melangkah bersisi-sisian dengannya, kuletakkan manuskrip novel itu di kotak pos dekat pagar. Agenku akan mengambilnya nanti. Mungkin, setelah membacanya, ia akan melakukan revisi di sana-sini. Sudah kukatakan padanya bahwa ia bisa melakukan apa pun dengan naskah itu kecuali menghapus satu kalimat terakhirnya: Dalam hidup. kebenaran satu-satunya yang layak diyakini adalah datangnya kematian. Tamat.
Lalu, kami menyeberang, melangkah keluar pagar. ***
.
.
Wisnu Suryaning Adji, aktif menulis sejak mengikuti Kelas Cerpen Kompas 2016. Selain menjuarai beberapa kompetisi menulis cerpen, karyanya terbit di media, antara lain di harian Kompas (termasuk terpilih sebagai nomine Cerpen Pilihan Kompas 2017). Tahun 2019, menerbitkan novel Rahasia Salinem.
I Made Somadita, lahir di Tabanan, Bali, pada 1982. Mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Pameran tunggal karyanya antara lain “Whatever” VIN+ Art Space, Bali (2017) dan Icon, Wisnu Artspace, Bali (2015).
.
Hari-hari Terakhir. Hari-hari Terakhir. Hari-hari Terakhir. Hari-hari Terakhir. Hari-hari Terakhir. Hari-hari Terakhir. Hari-hari Terakhir. Hari-hari Terakhir.
Leave a Reply