Triyanto Triwikromo

Tentang Pengarang yang Merasa Telah Membunuh Roland Barthes dan Beberapa Alasan Mengapa Dia Menulis Novel Pendek

0
(0)

Cerpen Triyanto Triwikromo (Jawa Pos, 15 September 2013)

Tentang Pengarang yang Merasa Telah Membunuh Roland Barthes dan Beberapa Alasan Mengapa Dia Menulis Novel Pendek ilustrasi Budiono

1. Sejarah Aib

SETIAP orang memiliki sejarah aib1 sendiri-sendiri. Mohamad Isa Daud, pengarang sepuh tak mati-mati yang selalu gagal menulis novel aib orang-orang suci, juga merasa memiliki sejarah aib, terutama yang berkait dengan riwayat penggunaan nama pengarang dalam setiap novel-novelnya. Dia merasa nama yang diberikan oleh orang tua terlalu berlebihan dan hanya mengingatkan siapa pun pada pengarang buku-buku tentang jin dan dajal. 

Dulu dia sangat ingin menghilangkan nama Mohamad karena merasa tak pantas menyandang nama nabi yang paling dicintai oleh Allah itu. ’’Apalagi aku tidak digdaya sejak dilahirkan. Apalagi aku tidak pernah menerima wahyu?” Pernah juga dia berhasrat menanggalkan nama Isa karena yakin benar tak bisa mengasihi sesama. ’’Apalagi aku tak bisa mengasihi musuhku dan kerap meledek siapa pun yang tak sepaham denganku.”

Sejak awal dia malah ingin tak berurusan dengan nama Daud karena tak pernah bisa mengalahkan orang-orang yang lebih hebat, tak pernah berani berurusan dengan orang-orang sekuat Goliat ’’Kalau boleh mengubah nama, aku ingin menggunakan nama Musa saja. Nama yang keren. Siapa tahu tulisanku bisa membelah laut. Penaku nanti akan menjelma ular dan menakut-nakuti para bandit….”

Karena itulah kini dia sangat tidak ingin mencantumkan nama Mohamad Isa Daud di segala karya yang hendak ditulis. Kalaupun aku terkenal, toh tak akan melebihi nama pengarang Dialog dengan Jin Muslim. Jadi sebaiknya tak boleh aku bersandar pada nama. Karya bagus lebih penting ketimbang nama besar.

’’Aku memang pernah keliling empat benua dan mengenal karakter tokoh-tokoh yang kutulis. Akan tetapi aku tak pernah puas pada cerita-cerita yang mengambang itu,” kata Mohamad Isa Daud kepada Mirna, editor dari penerbit yang selama ini menerbitkan kisah-kisahnya.

’’Tetapi tulisan-tulisanmu tentang manusia-manusia Paris, Berlin, Los Angeles, Sydney, Kuala Lumpur, Madinah, dan Makkah menggetarkan para pembaca.’’

’’Siapa bilang? Aku sendiri merasa jauh dari tokoh-tokohku.’’

’’Jadi, apa yang kau inginkan saat ini?’’

’’Aku ingin menulis kisah-kisah orang biasa di kawasan yang biasa-biasa saja. Dan aku telah menemukan tempat itu.”

’’Di mana?”

’’Di sebuah tanjung penuh bakau dan bangau di dekat Kota Wali.’’

’’Kau akan menulis tentang bangau-bangau?’’

’’Mungkin saja. Mengapa tidak?”

’’Kau akan menulis kisah di balik pohon-pohon bakau?’’

’’Mungkin saja. Adakah yang salah?”

’’Tentu saja tidak salah. Kalau Borges boleh memarodikan atau membuat sejarah aib kisah- kisah karya orang lain, mengapa kau tidak boleh menulis sejarah menyimpang dari halhal yang diciptakan oleh Yang Selalu Lain?’’

’’Yang Selalu Lain?”

’’Ya, bukankah Gusti Allah merupakan sosok Yang Selalu Lain?”

’’Tunggu dulu! Jika novelku nanti jadi, bolehkah aku menanggalkan namaku dari kisah serampangan itu?’’

’’Mengapa?’’

’’Karena aku ingin meninggalkan sejarah aibku, meninggalkan nama burukku.’’

2. Gunung Jiwa

TAK ada gunung di hutan penuh bakau ini. Akan tetapi di sini setiap orang seperti bertemu dengan Gunung Jiwa2, yakni berjumpa dengan sesuatu yang segalanya dalam keadaan begitu alami. Kali pertama datang di kawasan yang kelak dalam novel diberi nama Tanjungkluwung ini, Mohamad Isa Daud takjub melihat bangau-bangau melayang-layang dari surga yang jauh, ikan-ikan terbang muncul dari laut gelap, dan manusia-manusia murni yang seakan-akan hidup pada 1980-an berzikir dan berselawat terus-menerus.

Tak ada keajaiban di kampung ini. Akan tetapi bangau-bangau dan pohon-pohon bakau seharian berzikir. Semua manusia berselawat seakan-akan mereka diciptakan sebagai malaikat. Jadi, tinggallah di Tanjungkluwung jika kau ingin menemukan hakikatmu sebagai manusia.

Itulah kalimat-kalimat pembuka dalam novel Mohamad Isa Daud. Kalimat sangat biasa dari novelis biasa. Kalimat yang terdengar lirih,tetapi murni.

Akan tetapi di Tanjungkluwung kau tidak hanya berurusan dengan segala sesuatu yang tampak sebagai surga. Pada saat-saat tak terduga, terutama ketika kau berziarah ke Makam Syekh Muso, kau akan merasa berhadapan dengan Bukit Kematian yang menyembul dari Danau Neraka. Di danau itu mayat-mayat merah jambu mengapung. Jika jiwamu rapuh, kau akan melihat tubuhmu terjepit di antara mayat-mayat itu sehingga kauakan menjerit-jerit tak keruan di tengah-tengah para peziarah yang sedang berzikir.

Karena itulah pada halaman 235 dari 1.111 halaman yang direncanakan dalam novel tentang pembantaian para bangau, pembakaran masjid, pembantaian manusia, dan pendirian resor di bekas hutan bakau, Mohamad Isa Daud merintih: Tak ada Wali Allah di kampung ini. Sang Wali telah dimatikan. Jika Sang Junjungan ada, bangau-bangau tak akan dibakar oleh para pembunuh keji. Jika Sang Pencerah ada, tak mungkin pohon-pohon bakau ditebang hingga hilang keteduhan hingga hilang apa pun yang membuatmu hidup dalam pelukan kehijauan hutan yang menenteramkan.

Apakah akhirnya Mohamad Isa Daud sampai di Gunung Jiwa?

’’Antara sampai dan tak sampai karena aku berada di antara pemuja dan penghancur alam.’’

’’Dan itu sangat mempengaruhi novelmu?”

Mohamad Isa Daud tak ingin menjawab pertanyaan itu. Saat itu dia belum selesai menulis novel yang tokoh-tokohnya kian sulit merampungkan pertempuran-pertempuran yang telah digariskan menang-kalahnya secara semena-mena. Saat itu pada halaman 435 Mohamad Isa Daud menggugat: Neraka telah diciptakan di mana-mana. Manusia hanya percaya pada ½ tuhan karena ½ tuhan yang lain dilesapkan dalam diri manusia. Kian banyak manusia yang menuhankan dirinya sendiri sehingga mereka menganggap apa pun yang dikatakan sebagai kebenaran tunggal. Mereka mendukung pembangunan resor dan bilang, Allahlah yang menghendaki pembangunan rumah dan hotel mewah itu. Ini keterlaluan karena nama Tuhan dibawa-bawa untuk hal-hal yang tidak sakral.

Baca juga  Saudara-Saudara Sejalan Poros

Mohamad Isa Daud yang menganggap komposisi dunia hanyalah konstruksi yang dibangun dari angka-angka atau statistik akhirnya menyimpulkan perjuangan terberat manusia adalah menjaring keagungan ½ tuhan yang melayang-layang di semesta agar kelak pada Hari Perhitungan, di surga manusia bertemu dengan Tuhan yang utuh, bukan ½ tuhan, bukan ½ manusia.

3. Badai Daun

MOHAMAD ISA DAUD mulai menulis cerita saat badai daun bakau menghajar kampung. Bukan badai daun3 biasa karena hampir saja mengubur rumah-rumah dan cungkup di ujung tanjung. Kiai Siti, tetua kampung, bahkan berani menyimpulkan peristiwa ini merupakan bencana terbesar yang pernah dialami oleh warga kampung.

’’Untung hanya badai daun. Meskipun mengubur apa pun, tak satu pun rumah hancur, tak seorang pun manusia mati,” kata Kiai Siti.

Mohamad Isa Daud terdiam. Dia masih takjub melihat pemandangan serbahijau yang belum pernah disaksikan sebelumnya.

’’Mimpi pun tidak akan seperti ini,” desis Mohamad Isa Daud yang baru saja menatap orang-rang hijau yang menyembul dari pintu-pintu rumah yang dibalut oleh akar-akar bakau.

’’Fotolah pemandangan ini sebelum kami membersihkan dan membakar daun-daun ini,” kata Kiai Siti.

Mohamad Isa Daud menuruti permintaan Kiai Siti. Dia mengambil tustel di dalam rumah yang dia sewa selama menulis, kemudian memotret masjid, cungkup, dan tanjung yang terkubur dedaunan.

’’Keajaiban ini tidak akan pernah datang dua kali,” desis Mohamad Isa Daud yang berusaha menghindar dari serbuan dedaunan yang berhasrat menguburnya hidup-hidup.

Lalu, otak Mohamad Isa Daud seperti bercahaya. Dia tidak ingin mabuk keajaiban. Meninggalkan pemandangan serbahijau itu, dia bergegas masuk ke rumah dan kemudian menulis kalimat-kalimat yang seakanakan tumbuh dari badai untuk halaman 333:

Tanjungkluwung hari ini diciptakan Tuhan dalam bentuk yang baru dan segar. Semua serbahijau. Cahaya hijau. Hujan hijau. Matahari hijau. Semua serbahijau. Ikan-ikan hijau. Siput-siput hijau. Kepiting-kepiting hijau. Semua serbahijau. Malaikat-malaikat hijau. Iblis-iblis hijau. Kiai-kiai hijau. Semua serbahijau. Firman-firman hijau. Doa-doa hijau. Kata-kata hijau. Semua serbahijau. Serbahijau. Serbahijau….

4. Lukisan Neraka

MOHAMAD ISA DAUD tak tahu, meskipun dia menulis novel secara serampangan, selalu ada dorongan untuk mengungkapkan rahasia Kampung Tanjungkluwung kepada pembaca. Kampung ini tidak akan terus-menerus tumbuh sebagai surga. Sayang Kiai Siti selalu menganggap Tanjungkluwung tak bakal jadi neraka, sehingga dia tidak mau pindah sekalipun kampung tenggelam akibat abrasi. Akan tetapi Tanjungkluwung tak akan hilang karena abrasi. Tanjungkluwung akan dibakar oleh orang-orang yang menginginkan kawasan ini menjadi resor.

Karena itu, Mohamad Isa Daud pada akhir novel –jika kisah itu akhirnya bisa selesai ditulis– ingin menghadirkan Lukisan Neraka4 sebagai penutup cerita.

’’Kau tahu Lukisan Neraka itu seperti apa?” tanya Mohamad Isa Daud kepada Mirna, editor kesayangan.

’’Pokoknya berbagai macam manusia sedang mendapat siksaan dari penjaga neraka berkepala sapi dan kuda di dalam kobaran api bercampur asap, dan bagaikan daun-daun yang berguguran tertiup angin kencang, mereka berlarian panik ke berbagai arah… Selain itu ada yang sedang dipukuli dengan tongkat besi, ada yang dibaringkan di atas talenan batu akan dicincang, ada yang sedang dipatuki oleh burung yang mengerikan, ada yang sedang ditelan naga berbisa…,” kata Mirna mengutip secara detail dan tepat ungkapan yang pernah ditulis Ryunosuke Akutagawa.

’’Lebih realistis dari itu,” kata Mohamad Isa Daud, ’’Akutagawa masih berfantasi.’’

’’Lebih realistis?’’

’’Ya, kira-kira begini: Tanjungkluwung menjadi neraka. Hutan bakau dibakar. Bangaubangau dibakar. Rumah-rumah dibakar. Perahu-perahu dibakar. Ular-ular dibakar. Kepiting-kepiting dibakar. Makam keramat dibakar. Masjid dibakar.

Orang-orang juga dibakar. Mereka berlarian dalam api yang berkobar. Lalu semua meleleh. Hangus. Lampus.

Hanya asap membumbung. Hanya bau dari Istana Para Hantu menyebar menusuk-nusuk hidung memualkan lambung. Lalu semua tinggal puing. Rampung. Suwung.

Tak ada yang tersisa.

½ bangau?

½ bakau?

½ Tuhan?

½ manusia?

½ surga?

½ neraka?

Tak ada.

 

5. Seratus Tahun Kesunyian

APAKAH dengan demikian Mohamad Isa Daud telah bisa menyelesaikan novel tentang sejarah aib orang-orang suci? Belum. Kisah justru sedang dimulai. Mohamad Isa Daud sedang memasuki tahap kesunyian akut, tahap yang mungkin bisa digambarkan sebagai masa seratus tahun kesunyian,5 untuk menentukan tema, plot, tokoh, latar cerita, peleraian yang rasional, dan penyelesaian yang mengguncang jiwa.

’’Apakah sebagaimana Marquez, kau akan membuka cerita dengan kalimat: Dunia terlihat begitu muda sehingga banyak benda belum bernama, dan untuk menyatakan benda- benda itu kita harus menunjuknya6 Apakah tokoh-tokohmu juga mengidap insomnia dan hilang ingatan? Apakah di jalan utama desa mereka juga akan memasang tanda di papan: TUHAN ITU ADA?7” tanya Mirna, editor yang hafal kalimat-kalimat penting para novelis pemeroleh Nobel Sastra itu.

Baca juga  Striptease di Jendela

’’Tentu saja tidak. Aku memang menemukan latar yang menyerupai Macondo. Di tempat itu aku akan menemukan kepiting-kepiting dan ikan-ikan membusuk pada malam hari dan akan segar kembali usai subuh. Di tempat itu aku juga bertemu dengan bangau-bangau, bakau-bakau, kisah-kisah ajaib para pendiri kampung, orang-orang yang merasa disusupi roh malaikat sepanjang hari, dan keinginan-keinginan warga untuk mengekalkan apa pun dalam bingkai tahun 1980-an. Orang-orang tak mau pindah ke tanah relokasi meskipun kampung hampir tenggelam, karena menganggap Imah Mahdi yang kelak menerbangkan mereka ke surga bakal muncul dari lautan,” desis Mohamad Isa Daud.

’’Apakah akan muncul malaikat-malaikat yang tersesat?”

’’Yang tersesat adalah bajingan-bajingan tengik yang akan membakar desa.”

’’Apakah tidak ada juru selamat kampung?’’

’’Semua ingin jadi juru selamat tetapi semua mabuk kekuasaan. Semua merasa jadi syekh. Semua merasa jadi wali.”

’’Lalu, apakah kau akan mengakhiri kisahmu dengan meniru kalimat Marquez: Tanjungkluwung sudah menjadi kota angin puyuh yang berisi debu dan puing-puing berputar berserakan oleh kegusaran angin topan…. bahwa semua yang tertulis di dalamnya tak akan terulangi sejak waktu yang lama dan untuk selama-lamanya karena ras-ras manusia mengutuk selama seratus tahun kesunyian…?”8

’’Tentu saja tidak. Macondo hanya kota imajiner dengan manusia-manusia imajiner. Orang-orang Tanjungkluwung adalah manusia- manusia nyata. Penderitaan mereka nyata.Kehancuran mereka nyata. Aku akan menghadirkanneraka pada akhir kisah mereka. Bukan kisah bahagia, tetapi itulah kenyataannya.Tak akan seorang pun di antara mereka menuliskisah kampung itu karena kampung dan orang-orang terbakar dalam satu waktu.”

’’Kalau begitu kisahmu tak akan berguna.’’

’’Lalu apa saranmu?”

’’Jangan matikan semua tokoh agar masih ada yang mendongengkan kisah tragis itu kepada manusia masa depan. Karena itu kusarankan kepadamu berilah judul novelmu: Masa Lalu Surga Sungsang.”

’’Mengapa bukan Surga ½ Tuhan atau SurgaSungsang Semua Tuhan?”

’’Penerbit akan menolak. Mereka takut buku itu akan dibakar oleh orang-orang yang mengaku Front Pembela Agama.”

Mohamad Isa Daud berpikir keras. ’’Kelak akan kuputuskan setelah novel ini jadi. Bisa saja tidak kuberi judul sama sekali.”

’’Tanpa judul? Tanpa nama?’’

’’Tanpa judul. Tanpa nama.’’

6. 1984, 1Q84

SALAH satu problem Mohamad Isa Daud adalah menentukan kapan atau latar waktu yang harus dia cantumkan di novel itu. Mula-mula semua peristiwa akan dia tulis terjadi pada 19849 karena meskipun waktu telah melaju hingga 2010, Tanjungkluwung seakan-akan hidup pada tahun 1980-1984. Akan tetapi karena ada berbagai persoalan aneh yang hanya terjadi di kampung itu –termasuk perasaan warga yang senantiasa menganggap kampung memiliki 1.000 rembulan– dia ingin mencantumkan waktu yang pernah digunakan Haruki Murakami, 1Q8410, yakni 1984 aksen, tahun ketika ada dua rembulan menggantung di langit. Akan tetapi dia tidak mau terpaku pada tahun-tahun nyata maupun tahun-tahun imajiner. Dia cantumkan tahun relatif 1980- an sebab dia percaya dipatok pada tahun berapa pun, waktu nyata setiap orang berbeda, apalagi waktu imajinernya. Waktu hanyalah sebuah persepsi.

’’Problem terbesarku adalah menghilangkan waktu karena waktu membunuh. Di dalam kedigdayaan sang waktu manusia hanyalah mayat-mayat merah jambu. Jika waktu tak ada, manusia akan mengada, baka.”

’’Jangan mengigau, jangan sok liris. Nanti novelmu tidak terbaca. Lagipula tanpa waktu, tak akan ada ruang tempat manusia itu mengada,” kata Mirna, perempuan yang dianggap Mohamad Isa Daud sebagai editor terkejam di dunia.

Tak peduli pada keberatan Mirna, Mohamad Isa Daud mengulang kata-kata itu bagai menghafal mantera.

’’Problem terbesarku adalah menghilangkan waktu karena waktu membunuh. Di dalam kedigdayaan sang waktu manusia hanyalah mayat-mayat merah jambu. Jika waktu tak ada, manusia akan mengada, baka.”

7. Orang Asing

TOKOH utama novel ini adalah Orang Asing11 atau lebih tepatnya Orang Aneh. Digambarkan oleh Mohamad Isa Daud, sang tokoh sebagai sosok yang selalu diceritakan oleh orang lain. Kehadiran tokoh yang oleh orang lain disebut sebagai Panglima Langit ini selalu muncul dari ucapan orang lain, perasaan orang lain. Pengkhotbah dari kota yang mengaku keturunan Nabi ini juga digambarkan sebagai sosok yang memberhalakan Tuhan sehingga menganggap orang lain adalah neraka.12 Dia tak segan membunuh siapa pun yang dianggap membahayakan masa depan surga.

Mohamad Isa Daud sama sekali tidak menganggap Orang Asing sebagai tokoh yang meyakini hidup itu sebagai sebuah kesia-siaan. Orang Asing bukan Sisifus yang harus mendorong batu ke bukit terus-menerus karena begitu sampai puncak batu menggelinding lagi ke lembah. Orang Asing adalah orang yang melulu berjuang menuju puncak dan klimaks pembunuhan. Persamaannya: mereka selalu melakukan perbuatan berulang-ulang.

Orang Asing selalu membunuh orang-orang yang dianggap pendosa. Kekejaman Orang Asing hilang ketika orang lain tidak lagi membicarakan, yakni ketika semua manusia Tanjungkluwung terbakar. Suasana ini senada dengan saat dalam puisi ’’Khotbah’’ Rendra berteriak:

…Lalu tubuhnya dicincang.

Semua orang makan dagingnya, Cha-chacha.

Dengan persatuan yang kuat mereka berpesta.

Mereka minum darahnya.

Mereka hisap sungsum tulangnya.

Sempurna habis ia dimakan.

Tak ada lagi yang sisa.

Fantastis.

 

8. Kitab Lupa dan Gelak Tawa

Baca juga  Ikan Terbang Kufah

MEMBACA serpihan-serpihan kisah yang telah ditulis, Mohamad Isa Daud merasa telah melawan segala petuah yang ada di novel Kitab Lupa dan Gelak Tawa.13 Karena itu secara iseng dia menyebut judul novel yang belum sepenuhnya rampung ditulis itu Kitab Pengingat dan Sedu Sedan. Pertama, novel itu bukan ajakan melawan lupa, tetapi justru menghindari ingatan. Kedua, novel ini bukan perwujudan dari ’’manusia berpikir, Tuhantertawa’’ tetapi justru merupakan ekspresi dari ’’manusia membunuh, Tuhan menangis”. ’’Andaikata aku yang jadi penulisnya, aku akan menghapus semua kata yang berkait dengan pembunuhan. Akan kuhapus kata ’membunuh’, ’bunuh diri’, ’berbunuh-bunuhan’, ’bersibunuh’, dan ’pembunuh’. Aku juga akan menghilangkan kata-kata yang berkait dengan tangisan. Akan kuhapus kata ’bertangisan’, ’penangis’, ’menangis’ dan ’bertangis-tangisan’,” kata Mirna meledek.

’’Apakah kau juga akan menghapus semua kata yang berkait dengan Tuhan?’’ balas Mohamad Isa Daud menyodok Mirna dengan pertanyaan yang mengagetkan.

Mirna tidak menjawab. Saat itu dia merasa tidak sedang berhadapan dengan novelis. Dia merasa sedang bercakap-cakap dengan iblis.

9. Segalanya Berantakan

JUJUR saja sebagai editor Mirna kali ini pusing tujuh keliling. Dalam pandangan Mirna plot dan teknik perceritaan Mohamad Isa Daud kacau. Segalanya berantakan14. Segalanya karut-marut.

’’Aku khawatir para pembaca akan bingung karena kau tidak bercerita secara linear.’’

’’Apakah semua peristiwa kehidupan itu linear?’’ Mohamad Isa Daud ganti menyerang.

’’Tidak juga.’’

’’Kalau begitu mengapa novel harus linear? Mengapa tidak boleh seorang novelis bercerita seserpih-seserpih? Mengapa tidak boleh novelis mengajak pembaca untuk mengisi ruang- ruang kosong penceritaan dan mereka membangun cerita-cerita baru dari teks yang telah dibuat sang novelis? Dan kalaupun sebagai editor kau akan memangkas habis novelku aku tidak peduli. Bukankah Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich15, Kappa16, Keluarga Pascual Duarte17 dan Lelaki Tuan dan Laut18 juga merupakan novel pendek?”

’’Kau ingin jadi pembaru?’’

’’Sama sekali tak ingin. Tak ada yang baru. Sebagaimana kata Julia Kristeva, kita hidup dalam dunia kutipan bukan? Pengarang pembaru itu tidak ada. Yang ada adalah mereka yang mampu memanfaatkan apa pun yang sudah ada di semesta.”

’’Jika nanti ada yang menganggap novelmu berantakan, apa yang akan kau lakukan?’’

’’Tak hanya percaya betapa pengarang telah mati di hadapan pembaca, aku juga menganggap karya-karyaku sudah mati ketika mulai dimaknai oleh pembaca. Tak perlu aku membela sesuatu yang sudah mati. Begitu karyaku mulai hidup di benak orang lain, saat itu pula aku menguburnya dalam-dalam.”

’’Kau tiba-tiba menjadi penganut akut Roland Barthes.’’

’’Aku justru telah membunuhnya! Ha ha ha…”

***

 

Semarang, 16 Agustus 2013

 

Catatan:

1 Sejarah Aib adalah judul buku versi bahasa Indonesia karya Jorge Luis Borges yang diterbitkan oleh Pustaka Sastra (2005). Penyair dan esais Arif B. Prasetyo menerjemahkan dari A Universal History of Infamy.

2 Gunung Jiwa merupakan novel pemeroleh Nobel Sastra 2000 karya Gao Xingjian. Novel yang diterbitkan Jalasutra ini dialihbahasakan oleh Noel dan Liliane Dutraid dari Lingshan.

3 Badai Daun adalah judul terjemahan Kumpulan Cerita Leaf Storm/La Hojarasca karya Gabriel Garcia Marquez.

4 Lukisan Neraka merupakan terjemahan Jonjon Johana untuk Akutagawa Ryunosuke Tanpenshu.

5 Seratus Tahun Kesunyian adalah novel pemeroleh Nobel Sastra 1982 karya Gabriel Garcia Marquez. Novel yang terbit pertama pada 1967 dengan judul Cien Anos de Soledad yang diterbitkan oleh Benteng Press (Yogyakarta) ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Helmi Mahadi dkk.

6 Seratus Tahun Kesunyian, halaman 9.

7 Seratus Tahun Kesunyian, halaman 66.

8 Seratus Tahun Kesunyian, halaman 509.

9 1984 merupakan judul novel George Orwel. Novel ini juga kerap ditulis sebagai Nineteen Eighty- Four.

10 1Q84 merupakan novel Haruki Murakami yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ribeka Ota. Novel ini diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (2013).

11 Orang Asing adalah roman karya Albert Camusyang ditulis pada 1942. Publik mengenal kisah ini lewat L’Etranger (Prancis) atau The Stranger (Inggris). Di Indonesia novel yang dianggap mengusung absurditas manusia ini diterbitkan pada 1985 oleh Penerbit Djambatan. Juga muncul dalam judul Orang Aneh yang diterbitkan oleh Penerbit Matahari (2005).

12 Neraka adalah orang lain adalah ungkapan Sartre.

13 Kitab Lupa dan Gelak Tawa merupakan novel karya Milan Kundera yang diterbitkan oleh Bentang Budaya. Pada saat menulis novel berjudul asli The Book of Lughter and Forgetting ini, Cekoslowakia mencabut kewarganegaraan Kundera.

14 Segalanya Berantakan adalah novel yang ditulis oleh Chinua Achebe. Buku ini diterbitkan oleh Sinar Harapan pada 1986.

15 Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich karya Alexander Solzhenitsin.

16 Kappa karangan Ryunosuke Akutagawa.

17 Keluarga Pascual Duarte17 ditulis oleh Camilo Jose Cela.

18 Lelaki Tua dan Laut karya Ernest Hemingway.

 

 

Triyanto Triwikromo, pemeroleh Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa untuk Kumpulan Cerpen Ular di Mangkuk Nabi. Buku terbarunya Celeng Satu Celeng Semua (2013).

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!