Analisa, Cerpen, MZ. Billala

Riwayat Secangkir Zamzam

5
(1)

TAK ada yang terlambat untuk mencintai. Terutama mencintai Tuhan yang telah sangat baik memberi ruang di semesta bagi kita hidup dan mengakhirinya kelak. Dia telah mengasihi dan mengampuni segala kebiasaan buruk. Bahkan dengan mudah melupakan dosa paling besar yang pernah diperbuat oleh seseorang. Katamu begitu, sebelum keberangkatan dan kami menitikkan air mata.

Kau lantas naik ke kapal. Menoleh sekali kepada kami, lalu berbaur bersama yang lain. Dan akhirnya kapal pun berlabuh, menjauh. Menyisakan harapan paling teduh pada suatu senja yang merona jingga di sungai Indragiri dalam dada kami.

Aku tahu, kau adalah yang terbaik dan Tuhan akan menjagamu dengan sebaik-baiknya, bisikku pada diri sendiri dan kepada angin yang mengantarkan kepergianmu ke Batam untuk melanjutkan perjalanan kedua ke negeri yang jauh. Negeri di mana kubus megah nan suci berada. Makkah. Untuk menunaikan rukun Islam kelima.

***

Saat seorang dermawan kaya di kampung memberitahumu kau akan diberangkatkan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, kau tak sudah-sudah terisak di sepertiga malam yang sunyi. Meski paginya kau tak lagi tampak seperti orang usai menangis, tapi aku tahu segala yang kau sembunyikan.

Aku tahu kau masih tidak percaya apakah nasib baik ini nyata atau masih berupa mimpi. Kulihat itu pada senyum sederhana dan tatapanmu yang teduh. Maka aku menguatkanmu, bahwa Tuhan tidak pernah main-main soal takdir. Waktumu sudah tiba.

“Aku tidak berani meragukan itu,” katamu sembari menutup La Tahzan karya Dr. ‘Aidh Al-Qarni. “Aku hanya tidak percaya Allah memanggilku lebih dulu daripada yang lain. Kau tahu kan, banyak ulama masjid yang belum pernah berangkat ke sana. Bahkan mereka sangat ingin mendapat kesempatan itu. Aku cuma merasa tidak enak hati. Apalagi mengingat masa laluku yang kelam dan semua orang tahu itu. Bahkan terlalu buruk untukmu.”

Aku menghela napas dan menatapmu lekat-lekat. Kulihat matamu mengilat oleh genangan yang dipaksa kuat untuk tidak tumpah. Aku tahu perasaan asing yang menderamu kali ini. Dan itu wajar. Namun aku tak mau kau merasa berat dan tertekan oleh hal-hal yang sepatutnya tak perlu kau risaukan. Terlebih saat kau mulai membicarakan masa lalumu yang kelam dan berantakan.

“Semua orang memiliki masa lalu. Dan setiap masa lalu rata-rata menyakitkan. Tapi apa gunanya terus merundung diri sendiri dengan mengingat masa lalu? Kau tahu, Allah memanggilmu bukan tanpa alasan. Dia menginginkanmu datang agar nanti kau bisa berbuat banyak hal yang jauh lebih baik lagi dari hari ini. Jangan pikirkan hal-hal berat.”

Baca juga  Laila (2)

Kau lantas menunduk. Menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Menyembunyikan air mata yang mengalir di pipimu. Aku paham akan kebahagiaanmu yang masih terbentur oleh rasa tidak enak hati dan malu pada diri sendiri. Barangkali pikiranmu sekarang melayang jauh ke masa-masa di mana kau begitu jauh dari Tuhan dan terus-menerus menyakiti hatiku saat itu.

Memang, kala itu aku sungguh nyaris tak bisa memaafkanmu. Semua perlakuan burukmu sudah melampui batas. Mungkin andai aku tahu perangai aslimu sebelum menikah aku tak sudi dilamar olehmu dan harus menjalani hari-hari yang perih berbalut dusta. Tapi aku memilih kuat dan sabar. Karena ada kasih sayang dan harapan yang tak bisa langsung kuucapkan padamu.

Jujur, kau memang sangat jauh dari sebutan lelaki sempurna pada waktu itu, bahkan cenderung brengsek. Jiwamu jauh lebih cacat dari para penyandang disabilitas meski tubuhmu sempurna, tanpa kekurangan. Kau kerap berbohong, hura-hura, pulang larut malam, berbau alkohol, dan gemar memaki bila hal-hal yang kusiapkan tak sesuai seleramu.

Bahkan tak jarang pula kau memukul aku dan sepasang anak kembar kita yang masih kecil. Lalu kau pergi jauh dan pulang ketika kau mau saja. Tapi sekali lagi bahkan selalu, aku memberimu kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Meski pada sekali waktu, puncak dari semua masalah muncul. Mendera bahtera kebersamaan yang sudah kita bangun lima tahun.

Ketika itu kau bersitegang dengan salah seorang pengurus masjid yang datang ke rumah meminta sedekah pembangunan. Kau menolak mentah-mentah kedatangan mereka. Kau bahkan mencemooh dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak sepatutnya. Bahkan saat aku memilih untuk menyudahi itu dengan memberikan sejumlah uang kepada pengurus mesjid, kau justru menamparku di hadapan beberapa orang yang datang. Karena keributan itu dan menyebutku tak tahu diri.

Hari itu adalah hari paling membuatku hancur dan kesabaranku habis. Aku tak bisa lagi melanjutkan hidup bersamamu dan memilih kembali ke rumah orang tuaku meski kita belum resmi bercerai. Karena sejujurnya di dalam hatiku masih tersimpan harapan kau akan berbalik arah.

Baca juga  Riwayat Secangkir Zamzam

Minggu-minggu saat kita terpisah, aku tak pernah tahu apa yang kau lakukan. Mungkin kau makin gila. Mungkin kau makin sering hura-hura, menenggak alkohol dan bermain perempuan di tempat hiburan. Atau barangkali kau makin sering berkelahi dengan tetangga yang mencoba menasihatimu dan juga para pengurus masjid.

Aku berusaha tak mau tahu walau hatiku kerap gusar bila membayangkan itu. Aku hanya bisa berdoa karena fisikku tak lagi mampu menjangkaumu yang keras kepala. Sampai pada satu hari yang tak pernah kuduga, kau tiba-tiba sudah berada di ambang pintu masuk. Berhadapan dengan ayahku yang melarang keras dirimu menemuiku yang sembunyi di balik dinding.

“Aku hanya ingin menemuinya, Yah.” Kau berkata dengan suara serak namun terdengar ada kesedihan pada ayahku. “Kumohon!”

“Tidak ada lagi yang perlu dibahas. Rumah kami tak lagi sudi menerima orang macam dirimu!” bentak ayahku. “Pergilah!”

Tiba-tiba aku mendengar suara seorang lelaki menangis. Mulanya aku tak percaya kalau itu adalah tangisan. Namun saat kuintip wajahmu telah basah oleh air mata, terlebih saat kulihat kini rambutmu yang gondrong itu telah sirna, menyisakan kepalamu yang bulat tertutup kopiah putih, aku baru yakin kau benar-benar menangis. Tapi karena apa?

“Aku memang tidak lagi pantas di sini atau bersamanya, Yah. Tapi setidaknya aku mendapat maaf dan ampunan darinya dan anak-anak. Sejak ia pergi dari rumah aku semakin tak mirip manusia. Aku sadar bahwa aku berbuat hal-hal yang melanggar. Sampai aku mendadak sakit keras dan tidak ada satu pun tetangga yang peduli. Kecuali para pengurus masjid yang pernah kutolak kedatangannya. Mereka merawat dan memberiku obat. Bahkan….”

Belum sempat kau menyelesaikan kata-katamu, aku sudah menunjukkan diri seraya menunduk. Aku ingin kau tahu bahwa aku masih memiliki satu kesempatan terakhir untukmu. Meski kebanyakan orang pasti menganggapku perempuan lemah yang mudah teperdaya.

“Bahkan satu cangkir air suci dari tempat yang jauh telah menyadarkanku. Memberiku kesembuhan. Bahwa dengan meminta maaf dan kembali pada arah yang benar akan membuat hidup jadi lebih baik.”

Begitu katamu kala itu. Membuat darahku tersirap dan merinding. Aku bingung harus mengatakan apa. Aku bahagia Tuhan mengabulkan doa yang kuhaturkan setiap usai salat, kendati aku tak tahu pasti perjalanan spiritual seperti apa yang membuka mata hatimu. Yang jelas aku menerima semua permintaan maafmu atas nama Tuhan yang menciptakan segalanya. Dan ingin kembali melanjutkan hidup bersamamu.

Baca juga  Wingit

Pernah pada sekali waktu usai kita melewati masa-masa kelam, aku bertanya padamu. Apa sebenarnya hal yang paling membuatmu ingin berubah dan memperbaiki semuanya. Kau bilang, karena dosa yang telah kauperbuat sudah menjelma lidah api raksasa yang sebentar lagi menjilat tubuhmu hidup-hidup. Dan saat kau mengucapkan basmalah sebelum meneguk secangkir air zamzam yang diberikan oleh seorang ustaz yang baru pulang dari tanah suci, api itu padam oleh embun segar yang tiba-tiba berjatuhan dari langit dan tubuhmu terasa dingin.

Saat itulah kau selalu ingin memperbanyak ampunan dan permintaan maaf dari Tuhan dan orang-orang yang pernah kau sakiti. Walau pada tahun-tahun berikutnya masih ada saja sebagian kecil orang yang meragukan kesungguhanmu bertobat. Menganggapmu cari perhatian saat kau rajin ke masjid salat berjemaah, mengumandangkan azan, atau menyantuni anak yatim piatu, dan mulai menjadi imam mesjid pada jam-jam salat fardu.

Tapi aku selalu memercayai apa pun hal baik yang kaulakukan. Bahkan ketika dermawan kaya di kampung memilihmu untuk diberangkatkan ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, aku semakin yakin bahwa itu adalah buah ketaatan dan kesungguhanmu hijrah ke jalan iman yang lurus.

“Apa kau masih gusar?” tanyaku selepas salat magrib dan kau baru pulang dari masjid bersama sepasang anak kembar kita yang sudah duduk di madrasah aliyah.

“Tidak.” Kau menggeleng seraya tersenyum. “Sungguh, sekarang aku paham bahwa ini memang sebuah panggilan. Orang-orang masjid turut senang dan mereka terharu. Mereka bahkan berpura-pura lupa bahwa aku dahulu adalah bajingan yang pernah meremehkan mereka.”

Aku ingin sekali memberitahumu, bahwa orang jahat tak berarti jalan hidupnya akan selalu jahat. Orang sepertimu hanya tersesat yang pada akhirnya menemukan jalan pulang. ***

MZ Billal. Penulis, tergabung dengan Community Pena Terbang (Competer), Komunitas Pembatas Buku Jakarta, dan Kelas Puisi Alit. Cerpen dan puisinya dimuat di berbagai media dan antologi.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!