Berita Pagi, Cerpen, Rifan Nazhif

Di Balik Rumpun Semak Berduri

3.5
(2)

Di balik rumpun semak berduri itu, konon, dia lahir. Suaranya mengganggu senyap dini hari. Induk dan anak ayam, menjelma riuh. Memaksa sang jantan berkokok, mengira waktu shubuh tiba. Langkah kaki pun terdengar bergegas. Semua berhenti di dekat rumpun semak berduri itu. Sesama mata saling tatap. Sesama mulut bisu. Nyi Bedah buru-buru menggendong pemilik suara itu. Membalut tubuhnya dengan mukena yang belum dia lepas selepas shalat tahajud.

“Anak siapa, Nyi?” tanya seorang lelaki yang matanya masih rapat menahan kantuk.

“Anak siapa katamu? Memang ada yang tahu dia anak siapa? Seorang bayi yang lahir di balik semak, di dalam got, di pinggir kali, pastilah untuk mengaburkan siapa orang tuanya.” Mbah Murad melotot ke arah lelaki itu. Lalu, si Mbah buru-buru berlari ke arah jamban umum. Dia lupa hajat awal, karena terganggu suara bayi itu.

Nyi Bedah memelihara bayi itu sampai dewasa. Dia  tak mengirimnya ke sekolah, kecuali mengajarnya cara mengais rejeki. Bagaimana mengadon gado-gado yang enak, hingga disukai pembeli. Bagaimana meramu kopi, hingga membuat penikmat betah berlama-lama di kedai. Kendati tanpa kepintaran mengadon dan meramu itu, sebenarnya pengunjung tetap ramai merubung kedai Nyi Bedah. Seperti tabiat kumbang, pastilah merubung kembang yang manis.

Perkenalan dengan Mat Borak, kemudian memberi jarak antara perempuan dewasa itu dengan Nyi Bedah. Dia menjadi lebih sering mengotori badannya dengan parfum, melumur wajah dengan gincu dan bedak tebal. Tak lagi tubuhnya berbau bumbu gado-gado. Tak pula bajunya terpercik tumpahan kopi. Dia yang awalnya kembang mawar di jalanan, menjelma kembang mawar di jambangan.

Baca juga  Mak dan Tanahnya

***

Di sebuah taman disiram cahaya lampu temaram, dua insan itu saling memagut tangan. “Kau serius mau menikah denganku, Mirah?” tanya Sukamto, semakin memagutkan tangannya.

“Harusnya aku yang bertanya kepadamu, Mas.” Mirah melepaskan tangan yang berpagut. Dia mendongak menatap langit. Bulan di sana itu seolah lebih indah menawan ketika dia bersama Sukamto. Padahal bulan itu adalah bulan yang sama yang dia lihat bersama Nyi Bedah ketika mereka melepas lelah di bale-bale depan kedai. Asmara memang membuat dunia semakin indah dan berwarna.

“Berarti kau mau?” Sukamto menyorongkan wajah. Mirah berpaling. Dia melesat pergi seolah kupu-kupu yang melepaskan diri dari kepompong. O, begitu indah mata Sukamto melihat perempuan itu. Dia yakin seratus persen bahwa pilihannya tak salah. Maka, selama seminggu di merayu ibunya demi melamar perempuan penjaga kedai itu.

***

“Kau harus berpikir panjang, Sukamto. Derajat kita berbeda. Masa’ mau menikah dengan perempuan penjaga kedai! Lagi pula, untuk apa kau sekolah tinggi-tinggi, bergaul dengan kaum priyayi, pada akhirnya jatuh ke comberan? Kurang apa Latifa, Minah, Sukanti? Mereka cantik dan dari keturunan terpandang.” Sang ibu tetap kukuh dengan pendiriannya.

“Tapi mereka mau kepadaku karena mereka tau siapa aku!”

“Lho, bagaimana pula dengan perempuan itu? Siapa namanya? Ya, ya, si Mirah itu. Apa dia mau kepadamu bukan lantaran harta dan derajat tinggi? Kau tak pernah bercermin?”

Sepi. Hening. Sukamto memang jauh dari sebutan tampan. Dia mewarisi tubuh bapaknya, besar, gempal dan berperut buncit. Dia juga mewarisi wajah bapaknya, agak rata, hidung besar, mata sipit, bibir tebal dan gigi sedikit tonggos. Tak ada sedikit pun tampilan menawan dari ibunya menitis kepada Sukamto.

Baca juga  Pulut Durian Batal Dikirimkan

“Mirah mencintaiku karena aku baik.”

“Kau harus belajar kepada ibumu.” Lelaki yang sejak tadi asyik membaca koran, menimpali. Pipi si ibu bersemu merah. Hanya matanya seperti dilintasi kilat. Entah apa yang terbit dalam hatinya, hanya Tuhan yang tahu.

Belajar kepada ibunya, bagi Sukamto sudah hapal sampai titik dan koma. Ibunya memang tak mencintai lelaki yang kini kembali asyik membaca koran itu. Akan hal mereka sampai menikah, mutlak karena si bapak keturunan ningrat dan kaya raya, sedangkan keluarga si ibu melarat dan hutang di mana-mana. Padahal saat itu si ibu sudah memiliki pacar yang juga dari kalangan melarat. Ya, sekali lagi demi kesejahteraan dan menaikan derajat, pernikahan itu dilangsungkan dan menghasilan anak bernama Sukamto.

“Aku tetap ingin melamar Mirah!”

Hati Sukamto terlalu keras. Ibunya menyerah, dan menyetujui menenami anak lelakinya itu melamar Mirah. Mereka berangkat mengandarai mobil paling mewah bersama Husni, sopir keluarga. Kebetulan si bapak kembali bertugas sebagai nakhoda di sebuah kapal pesiar, yang akan kembali ke rumah tiga atau empat bulan ke depan.

Nyi Bedah yang sangat terkejut menyambut kedatangan mereka, buru-buru seperti mengusir pembeli, menutup kedai. Tertunduk-tunduk dia mempersilakan ketiga tamu untuk duduk di ruang sempit dan pengap. Kipas angin tua tak mampu mengurai panas, kecuali mengganggu dengan suara bising dan kelelahan.

Pertemuan itu awalnya hening. Ketika Mirah muncul dengan baju merah menyala dan wajah cerah menggoda, suasana mulai lebih ramai.

“Ibu ini orang tua si Mirah?” Ibu Sukamto bertanya seperti menyelidik kepada perempuan yang warna rambutnya melulu berwarna perak itu.

“Panggil saja saya Nyi Birah, Bu.” Dia terdiam sejenak. Seperti ada yang membuatnya risau. Apalagi tercetus dari mulut  Sukamto, bahwa kedatangan mereka ingin melamar Mirah. “Sebenarnya saya bukan ibunya si Mirah. Saya hanya….” Akhirnya terurai cerita tentang bayi di balik rumpun semak berduri.

Baca juga  Ismael Anak Baik

Berubah pula warna wajah Nyi Birah dan Mirah. Ketakutan melanda hati mereka.

“Kita pulang!” sentak ibu Sukamto.

“Ya, lebih baik pulang!” sambung Husin.

Di kepala ibu Sukamto berkelebat bayang-bayang masa lalu. Malam itu, dibantu seorang dukun, seorang bayi merah membrojol dari rahimnya. Lelaki  yang menunggu dengan cemas, segera menggendong bayi itu dan membawanya jauh. Dia memutari sebuah kampung, dan meletakkan bayi itu begitu saja di balik rumpun semak berduri.

“Tunggu dulu, Bu, Pak Husin. Ini belum selesai!” Sukamto masih berusaha menahan ibunya dan Husin. Tapi mereka tetap pergi. (*)

Loading

Average rating 3.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!