Cerpen Sasti Gotama (Minggu Pagi No 18 Th 73 Minggu I Agustus 2020)
“HUJAN meninggal dengan tenang lima hari lalu,” ucap Nyonya Gea. Norman mengangguk, walau dalam hatinya menyangkal ucapan pemilik apartemen itu. Tak ada yang bunuh diri dengan hati tenang. Pastinya ada badai dalam dada Hujan. Siapa yang tahu? Ia pergi hanya disaksikan setangkai alamanda kering, kantung teh dalam cangkir, dan sebuah catatan perpisahan yang singkat di atas meja.
Sebagai pembersih jejak kematian, bagi Norman, membuka pintu kamar seperti membuka kotak pandora. Kau tak pernah tahu, bencana apa yang ada di baliknya. Kali ini, Norman cukup beruntung. Tak ada belatung yang merayap-rayap atau tumpukan sampah yang membukit. Hanya kamar yang bersih dan rapi. Namun, tetap saja, bau yang menyambarnya seperti aroma tikus mati yang direndam saus tiram.
“Suami dan anak-anaknya yang menemukan kemarin pagi, sepulang dari rumah orangtua si suami. Mereka memang ada keperluan selama satu minggu di luar kota. Kau pasti akan jatuh iba melihat suaminya. Ia mengerut seperti jeruk busuk, seolah usianya bertambah dua puluh tahun tiba-tiba. Katanya, ia sama sekali tak menyangka. Hujan tak pernah muram. Saya pun tak menyangka. Suaminya memutuskan tak lagi memperpajang kontrak apartemen. Kasihan anaknya, katanya takut bermimpi buruk. Usai pemakaman kemarin, mereka langsung berkemas dan pindah. Tetapi aroma kematian seperti tak mau hengkang dari ruang ini,” cetus Nyonya Gea. Suaranya terdengar kesal. Norman paham. Kematian memang tak sejalan dengan bisnis persewaan properti.
“Jangan khawatir, polisi sudah menyisir tempat ini. Murni bunuh diri. Sisa perabot masukkan saja dalam kardus. Suaminya meminta saya untuk menyumbangkan semua yang tersisa. Saya ingin kamar ini bersih seperti tak ada yang pernah mati di dalam sini. Terutama bau ini, harus hilang,” tambah Nyonya Gea sambil melambaikan tangan di depan hidungnya. Norman mengangguk. Aroma kematian memang pandai menyembunyikan diri di balik kain-kain gorden atau pelapis dinding-dinding kamar. Ia pernah harus mengelupasi semua kertas dinding untuk menyingkirkan bau kematian yang menetap.
Usai Nyonya Gea menutup pintu, sunyi menubruk Norman. Dengan kecakapan seorang profesional, Norman mengenakan masker, sarung tangan, dan penutup kepala. Ia selalu membiarkan rambutnya terpotong pendek agar aroma pembusukan tak mengendap di sana. Awal-awal bekerja dulu, ia menyadari, aroma kematian dapat menyusup ke tiap helai-helai rambut dan bersekutu dengan ketombe yang menempel di kulit kepala.
Pertama-tama tempat tidur. Kata Nyonya Gea, itu tempat tubuh Hujan terbaring. Ia melihat bercak-bercak merah kecokelatan di seprai putih tempat tidur. Itu cairan kematian. Saat kematian memelukmu, cairan itu akan keluar dari hidung, mulut, dan anus, dengan bau yang sangat aduhai. Kematian memang tak seindah bayangan. Semua kebusukan dan kotoran akan keluar darimu seperti kutu-kutu yang meninggalkan bangkai tikus.
Norman tak pernah mengenal Hujan. Namun, dari sisa perkakas yang tertinggal dan kepingan cerita dari Nyonya Gea, Norman mulai bisa menyusun sosok Hujan. Kata Nyonya Gea, Hujan adalah ibu yang penuh kasih. Tak pernah meninggikan suara dan suka memasak. Setiap Sabtu petang, ia sering kali membagikan keik cokelat ke kamar Nyonya Gea dan tetangga lainnya. “Satu hal yang selalu saya ingat,” cetus Nyonya Gea saat itu, “hujan selalu tersenyum. Tak pernah tidak.”
Norman tak bisa membayangkan, perempuan yang selalu tersenyum tetapi memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri. Pasti menyedihkan, pikirnya. Usai mengemasi seprai dan pelapis tempat tidur ke dalam plastik besar, Norman beranjak ke meja makan.
Di atas meja, dilihatnya lagi setangkai alamanda layu dalam vas, juga cangkir teh dengan endapan kecokelatan di dalamnya. Lalu, tiba-tiba dilihatnya bunga itu perlahan bangkit dari kelayuannya. Mahkota-mahkotanya kembali segar, daun-daun keringnya menghijau, dan batangnya kembali tegak. Cangkir itu kembali terisi teh hangat yang mengepulkan uap. Lalu sejurus kemudian, sebuah tangan lentik meraih cangkir itu dan menyesap teh dengan mata terpejam.
Perempuan itu menoleh kepada Norman. Bibirnya tersenyum. “Teh?”
Ini kali pertama Norman melihat hantu. Perikiraannya, itu hantu Hujan, karena ia selalu tersenyum, bahkan saat minum tehnya. Norman tak tahu harus bersikap bagaimana kepada hantu. Mungkin harusnya ia berteriak dan lari dari tempat itu. Tetapi, hantu Hujan tampak begitu ramah dan tak menyeramkan. Maka Norman anggukkan kepala dan duduk di kursi makan, walaupun sebetulnya jantungnya terasa lepas dan menggelinding entah ke mana.
“Satu sendok gula cukup?” tanya hantu Hujan pada Norman yang mengangguk kaku. Hantu Hujan berdiri, mengambil sebuah cangkir porselen di lemari, lalu menuangkan teh dari teko. Ia mendorong cangkir itu ke hadapan Norman.
“Kenapa Anda ….” Norman tergagap dan segera menutup mulutnya. Ia merasa menyesal. Manusia saja tidak suka dicampuri urusannya, apalagi hantu.
“Mati, maksudmu?”
Sebetulnya, Norman tak hendak menanyakan itu. Tetapi ia anggukan kepala juga.
“Ingin saja.”
“Tapi bukankah Anda bahagia?”
“Memang. Saya selalu bahagia. Mendampingi anak yang aktif berlarian dan berteriak ke sana kemari, menyulap sekeranjang pakaian kotor menjadi bersih kembali, dan mengaduk adonan keik cokelat hingga berbuih, itu menyenangkan. Sedikit melelahkan, tetapi membahagiakan.” Hantu Hujan tersenyum.
Hantu Hujan lalu kembali duduk. Ia menyangga dagunya dengan dua tangan yang bertaut. “Saat menikah dulu, suami saya memberikan satu loyang. Katanya, perempuan yang baik adalah perempuan yang suka memasak. Saya tak suka memasak. Tetapi sejak itu, saya putuskan untuk suka memasak. Saya ingin jadi perempuan yang baik. Dari satu loyang, lalu satu panci, lalu cetekan-cetakan dan pengaduk adonan. Lalu suami saya berkata, perempuan yang baik adalah perempuan yang tinggal di rumah. Maka, saya putuskan, suka berada di rumah. Walau kadang, saya terkenang derap kaki di atas trotoar yang padat, gulungan cetak biru, dan detik arloji yang berdetak, dan rasa cemas jika terlambat tiba di kantor.” Hantu Hujan tetap tersenyum. Tak pernah luntur. Lalu Norman menyadari: hantu Hujan mengenakan topeng senyum. Senyumnya selalu presisi.
“Anda selalu tersenyum.”
“Karena dengan tersenyum, semua akan baik-baik saja. Saya akan baik-baik saja.”
Lalu, Norman menyadari ada sesuatu yang salah. Bibir Hujan selalu tersenyum, tetapi matanya tidak. Matanya seredup matahari sesaat sebelum malam tiba. Lalu ia melihat sesuatu yang awalnya samar.
“Wajah Anda … retak.” Retakan itu menjalar, dari sudut mata, ke arah hidung, ke celah bibir, dan terus merambat.
Dengan tergesa, hantu Hujan meraba wajahnya dengan kedua tangan. Namun terlambat. Wajahnya pecah menjadi serpihan yang beterbangan seperti anai-anai di musim hujan. Di baliknya, terlihat wajah Hujan yang sesungguhnya: kelopak mata yang bengkak, pipi yang becek, dan bibir yang melengkung turun.
Dengan tergesa, hantu Hujan bangkit. Bergegas, ia berlari ke arah ruang depan. Tanpa perlu membuka pintu, tubuhnya menembus kayu. Ia lenyap.
Norman melihat lampu-lampu meredup, tangkai alamanda kembali layu, dan mahkota bunga gugur satu demi satu. Bau busuk kembali mendekap Norman.
Berbulan-bulan setelah itu, Norman sudah melupakan hantu Hujan. Kecakapannya membereskan jejak-jejak kematian membuatnya semakin dikenal orang. Tak pernah terpikirkan oleh Norman, jika bisnis ini cukup menjanjikan. Hampir tak pernah harinya terlewat, tanpa ia sibuk membereskan jejak kematian. Kadang ia bingung, haruskah senang ataukah berduka untuk kondisi ini.
Namun, di suatu Selasa yang mendung, tanpa sengaja Norman melihat hantu Hujan di antara kerumunan manusia di pusat kota. Hantu Hujan tampak terburu-buru, menenteng tas berisi tabung-tabung hitam tempat berkas cetak biru, sebelum akhirnya ia tertelan pejalan kaki yang lalu lalang. Begitu juga suatu Senin yang terik, Norman melihat hantu Hujan di antara rumpun alamanda di taman kota. Di hadapannya, ada sebuah alat seperti kamera berkaki tiga. Berkali-kali Hantu Hujan mengintip dari balik alat itu, seolah meneropong sesuatu.
Di hari-hari berikutnya, Norman melihat hantu Hujan di mana-mana. Di balik kaca perpustakaan, di puncak museum, atau di atap gedung-gedung bertingkat. Pagi ini, Norman berpapasan dengannya di teras toko roti. Hantu Hujan menoleh. Mata mereka beradu. Di jarak sedekat itu, Norman menyadari, Hantu Hujan tak seperti dulu lagi. Senyumnya tetap sama, tapi kini, matanya berpijar, seterang matahari pukul sembilan. Perlahan, Norman tersenyum lebar. Ia tahu, hantu Hujan bahagia, dan itu menular seketika. ***
.
.
Sasti Gotama, dokter yang suka menulis.
.
.
Leave a Reply