Cerpen Iksaka Banu (Media Indonesia, 30 Maret 2014)
…di dalam sana di atas tikar, aku segera tertidur dan tidak tahu apa mimpiku.
AKU tergagap bangun. Max Havelaar! Ya, itu potongan sajak dari buku yang kubaca sebelum berangkat ke Cilegon. Melintas begitu saja di kepala. Kuperiksa perban pembalut pinggang. Tak ada infeksi. Kurasa aku kelelahan sehingga tertidur sampai pagi memeluk leher kuda. Untung tidak terpelanting di jalan. Kutarik kekang. Hewan yang semula berjalan sangat lambat itu kini berhenti. Kujatuhkan diri ke atas rerumputan tepi jalan. Gerakan itu ternyata membuat pinggangku seperti disobek tangan raksasa. Luka kembali terbuka.
Aku mencoba berdiri, tapi kepala terasa berputar.
Mungkin karena belum makan sejak kemarin malam, tapi aku tetap harus ke Serang mengabarkan semua ini.
Perlahan kutata ingatanku: Alun-alun Cilegon, 9 Juli 1888.
Mesiu, darah, neraka! Ya. Semua berawal dari kunjungan perdana sore kemarin ke pos baruku: Kepolisian Sektor III, merangkap penjara di jalan Tanjung Kurung. Setelah bicara dengan Dirk Zware Laarzen, pejabat sementara yang kini resmi menjadi wakilku, aku berkeliling ke ruang tahanan.
“Ustaz Rakhim?” kulongok sel terdepan, sebuah ruang sempit dengan lubang angin bundar berterali di dinding belakang. Sinar mentari menerobos dari situ, membuat kepala pria berkopiah putih yang berada di balik pintu jeruji itu seolah berpendar seperti cahaya orang suci pada lukisan gereja abad pertengahan. Ada suara gaduh yang berasal dari rantai di kedua tangan dan kakinya saat ia mendekat. Sepasang matanya tajam mengiris. Kucoba mengulangi pertanyaan. Bibir kehitaman di antara kumis serta jenggot lebat orang itu tak bergerak. Agaknya ia terbiasa bicara dengan mata, tapi pandangan bengisnya tertuju kepada orang di belakangku.
“Nama tak punya arti di sini, Inspektur,” Dirk menggerutu dari balik punggungku. “Ia bisa bernama Rakhim, Wasid, atau Ismail. Yang jelas, ia dan gerombolannya nyaris merobek perut Hendriek, minggu sore di pasar. Sayang, hanya ia yang tertangkap.”
“Lalu yang di belakang itu?” aku melangkah ke ruang jaga. Dari tempat itu terlihat beberapa kamar tahanan berukuran lebih kecil.
“Pencopet biasa. Minggu depan kulepas.”
“Jadi sudah tiga hari orang tarekat itu di sini? Apakah rantai diperlukan di dalam sel? Mengapa pula pipinya memar?” tanyaku.
“Ia menyerang saat pintu kubuka. Terpaksa popor bedil bicara. Baru kemarin rantai kupasang. Betul, Usep?” Dirk menoleh kepada seorang opas berkulit cokelat yang sedang meletakkan secangkir kopi untukku.
“Sumuhun, Tuan,” Usep memandang Dirk dan aku sekilas sebelum kembali ke dapur.
Aku menghela napas. “Orang tarekat harus didekati secara halus. Sekarang ia telanjur di sini. Hanya ada dua pilihan: ia pindah ke penjara kabupaten secepatnya, atau penjagaan tempat ini diperkuat,” kutarik sebatang cerutu dari saku jas seraya mengempaskan badan ke atas sofa.
“Telah kubaca semua arsip. Kota-kota di daerah ini sejak dahulu bergiliran berontak,” kuloloskan asap cerutu. “Ciri pemberontakannya khas, bersifat spiritual. Mulai dari kerusuhan di Cikandi Udik, Kolelet, kasus Jayakusuma, serta tragedi dua tahun lalu, yaitu pembantaian di Ciomas. Sasaran mereka bukan hanya militer, melainkan semua yang mereka anggap kafir. Musuh Allah.“
“Kebetulan aku ikut membereskan sisa huru-hara itu. Mereka mencincang pejabat Eropa, pangreh praja serta seluruh keluarga yang hadir dalam Upacara Sedekah Bumi,“ Dirk meneguk kopinya. “Koran De Locomotief pernah mengulas. Konon, semua kegilaan ini berkaitan dengan Krakatau. Ledakan besar gunung itu lima tahun lalu mendatangkan gelombang raksasa yang menyapu banyak desa, penyakit pes, serta ramalan kedatangan Imam Mahdi, Ratu Adil yang konon akan membebaskan orang-orang ini dari tekanan pemerintah Hindia.“
“Mereka terlalu miskin untuk memahami perbaikan,“ aku menggeleng. “Kita perlu juru bicara, orang setempat yang bisa menjelaskan bahwa 30 tahun terakhir ini kita telah menghapus banyak pajak, bahkan meniadakan hukuman cambuk. Mengenai bencana Krakatau, bukankah kita tidak alpa menyalurkan bantuan pangan, mengirim penggali kubur, serta mendirikan pos kesehatan?“ kugigit cerutu agak lama. “Tetapi sungguh, popor bedil itu berlebihan. Ia seorang pemimpin agama. Pikirkan murid-murid orang ini di luar sana bila tahu pemimpin mereka dianiaya.“
“Mijn God!“ mendadak Dirk memukul meja, membuat Usep yang berdiri di dekatku tersentak. “Engkau lama bertugas di Aceh, Inspektur. Itu daerah para jantan. Aku berharap kedatanganmu membawa perubahan. Janganlah menjadi perpanjangan tangan para birokrat liberal di Batavia, yang dengan mudah termakan cerita picisan karya Multatuli atau siapa pun itu. Sungguh, mereka yang duduk di kursi dewan bersama omong kosong tentang kemanusiaan itu telah membuat kita menjadi tuan-tuan yang bingung dan lemah di sini. Di Ciomas, anak perempuan Heer Jansen yang berusia empat tahun ditikam, lalu digantung bersama kakak lelakinya. Ketika aku datang, wajah anak itu sudah menghitam, dikerumuni lalat seperti kismis yang ditaburkan di atas selai stroberi. Dan kita masih saja diminta menahan diri,“ sekali lagi Dirk menghantam meja, “Sesungguhnya bukan cuma popor senapan. Aku ingin sekali jahanam di sana itu ditembak tepat di kepala.“
“Kafir!“ tiba-tiba terdengar teriakan keras dari sel. Dirk terlonjak menghampiri sumber suara.
“Oh, terganggu ocehanku? Kafir, eh? Tak bertuhan?“ Dirk meraih tombak di sudut ruangan. “Dan kalian penggorok leher wanita serta anak kecil, merasa bertuhan? Biar kuperlihatkan seperti apa orang tak bertuhan itu!“
Dirk menyabetkan tombak berulang kali pada terali sel sambil berteriak-teriak mirip orang kehilangan akal.
“Cukup, Hoofdagent!“ aku membentak. Dirk menoleh. Napasnya naik-turun. Wajahnya seperti iblis. Ia membuang tombak, lalu menarik botol wiski dari saku celana. Diteguknya beberapa kali sambil mengibaskan tangan, mengusir beberapa agen polisi yang berkerumun mendengar keributan.
“Sambil pulang, aku ingin melihat Cilegon di malam hari. Mengenal rumah-rumah penting di sini,“ kuambil topi dan pistol, pura-pura tak terpengaruh oleh kegilaan Dirk. “Besok kutemui asisten residen dan jaksa, bicara pemindahan tahanan itu.“
“Kurasa mereka akan setuju. Nah, itu Agen Jaap. Ia akan memandumu,“ Dirk yang sudah kembali tenang, membukakan pintu untukku.
“Tak usah,“ aku menggeleng. “Aku tak lama.“
“Baiklah,“ Dirk mengangkat bahu.
Pukul tujuh petang kunaiki kuda menuju kota. Lampu-lampu gas di sekeliling alun-alun membuatku mudah mengamati segala penjuru. Walau banyak warung masih buka, suasana keseluruhan cenderung sepi. Seperti yang sempat dijelaskan Agen Jaap, rumah Asisten Residen Gubbels ada di utara alunalun, sederet dengan kantor pos dan rumah Asisten Kontrolir Van Rinsum. Aku ingin menengok ke sana. Seharusnya bisa langsung belok ke kanan, melewati rumah jaksa serta ajun kolektor, lalu di ujung alunalun belok lagi ke kiri, tapi jalan itu penuh lumpur.
Kuputuskan memutari alun-alun melewati rumah bupati dan penjara besar yang rencananya akan kutengok esok hari. Aku sudah tiba di muka masjid, siap mengarahkan kuda ke kanan ketika terdengar keributan luar biasa dari selatan. Tak begitu jelas yang terjadi, tetapi banyak orang lari membawa obor sambil berteriak-teriak. Para pemilik warung berhamburan menyelamatkan dagangan. Di beberapa titik terlihat api memangsa atap rumah. Ada letusan senapan disusul jeritan silih berganti.
Kuambil teropong. Segerombolan besar orang dipimpin oleh beberapa sosok berbaju putih menghambur dengan tombak dan parang, memasuki rumah-rumah pejabat, termasuk kediaman Patih Penna. Mereka menyeret keluar dan menghantamkan aneka senjata ke tubuh penghuni rumah. Dari belakang masjid, ratusan orang juga mulai menyerbu.
Tampaknya mereka masuk dari jalan kecil yang menghubungkan Desa Seneja dengan perumahan elite ini.
Salah seorang dari mereka berada sangat dekat denganku. Kutarik revolver. Orang itu terjengkang, tapi ujung tombaknya sempat hinggap di pinggangku. Para rekannya berseru mengacungkan parang. Ini benar-benar perkara hidup-mati. Apakah tragedi Ciomas akan terulang? Kupacu kuda ke tempat asal melalui jalan berlumpur. Sempat kuletupkan lagi revolver dua kali sebelum tiba di kantor yang ternyata sudah berubah menjadi lautan api. Beberapa agen polisi bergelimpangan tanpa nyawa di pelataran. Di pintu depan, tubuh Dirk tergantung layu. Lidahnya terjulur. Sebuah pisau lengkung tertanam di dada kirinya seperti cula badak.
“Simpan pistolmu, dan pergilah selagi bisa, Tuan. Tangan Ratu Adil telah jatuh ke atas kota ini,“ terdengar suara yang cukup kukenal, menyertai kokangan senapan.
“Usep?“ aku mengerutkan kening melihat opas yang sore tadi mengantarkan kopi dengan ramah, kini berdiri beringas dengan Mauser terarah kepadaku. Di belakangnya, tawanan berkopiah putih itu. Rantai di tangannya sudah lenyap, berganti dengan parang.
Usep melemparkan tas perbekalan kepadaku, lalu tanpa berkata lagi menepuk paha kudaku yang segera berjingkrak, melesat meninggalkan tempat itu.
Jakarta, 2014
Hoofdagent: polisi senior.
Iksaka Banu, penulis dan praktisi periklanan. Tinggal di Jakarta.
Maheswara Mahendra
Oke punya. tks
Muksalmina
Cerpen berlatar kolonialisme yg sangat apik.good story…
Diah
wow..