JEMAHAAH masjid Al-Badar gusar. Pasalnya tersiar kabar kalau sang imam, Kiai Basyir diduga kuat menilap uang pembangunan masjid, ratusan juta rupiah. Konon, uang itu diterimanya dari seorang pejabat, tetapi tidak kunjung diserahkan kepada bendahara. Berbulan-bulan. Beliau pun akhinya disidang dan diadili oleh jemaahnya sendiri.
Sidang yang diinisiasi dan dipimpin langsung oleh ketua takmir, Haji Dikun itu digelar di serambi masjid. Para jemaah duduk berjubel, melingkar bersandar tembok. Semua berwajah tegang. Penganan dan minuman yang disajikan nyaris tidak tersentuh. Hanya sang terdakwa, Kiai Basyir yang terlihat santai. Beliau yang mengambil posisi duduk tidak jauh dari Haji Dikun—hanya terpisah tiga orang, tetap klepas-klepus dengan kreteknya.
Terhadap kasus ini suara jemaah terbelah. Sebagian jemaah jengah dan marah. Mereka ingin Kiai Basyir segera diadili dan mempertanggungjawabkan tindakannya. Bagaimana pun uang itu cukup untuk menyelesaikan pemugaran masjid yang tertunda lama. Mereka curiga kalau uang itu sengaja digelapkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi sang kiai sekaligus upaya penghambatan penyelesaian pemugaran masjid.
Semua jemaah tahu kalau dari awal Kiai Basyir menentang pemugaran masjid yang direncanakan Haji Dikun dan jajarannya. Sang Kiai menilai memugar masjid bukan rencana yang tepat. Kendati model bangunannya kuno tetapi masih kokoh. Namun Haji Dikun dan jajarannya ngotot ingin menjadikan masjid lebih megah dan kekinian. Mereka juga berdalih ingin menggeser arah kiblat yang lebih tepat. Kiai Basyir kalah suara.
Tak lama setelah rapat pemugaran dimulai. Sayang baru setengah jalan proses pemugaran tersendat-sendat sebelum akhirnya terhenti total dan mangkrak karena kehabisan dana. Masjid pun menjadi bangunan setengah jadi hingga kini. Nah, penilepan sumbangan ini, pikir Haji Dikun merupakan upaya Kiai Basyir untuk balas dendam sekaligus upaya menggagalkan rencananya. Makanya ia segera menggelar sidang untuk membongkar niat busuk itu.
Namun sebagian lagi tidak sejalan dengan pemikiran tersebut. Mereka yakin kalau guru mereka tidak serendah itu. Terlebih selama ini beliau terkenal zuhud dan ahli tirakat. Hidupnya juga bersahaja. Mereka yakin, kalau sang kiai mau jadi orang kaya sangat mudah, tidak perlu menggelapkan uang sumbangan. Toh, nyaris tiap hari ada puluhan tamu sowan, dari sekadar minta berkah sampai minta didoakan agar masalah dan urusan mereka dilancarkan. Yang datang dari rakyat hingga pejabat, dari santri tariqah hingga kaum abangan.
Sidang dimulai. Pertama-tama Haji Dikun mengajukan pada Sanrawi, satu-satunya saksi mata. “Sanrawi, apa kau melihat sendiri tatkala Kiai Basyir menerima infak itu?”
“Iya, aku berani bersumpah, Pak Haji,” jawab Sanrawi mantap.
Lelaki berkumis tebal yang bila berpeci selalu miring ke kiri itu memang satu-satunya orang yang ada di rumah Kiai Basyir tatkala seorang lelaki paruh baya datang bertamu. Lantas Sanrawi bercerita, lelaki bermobil merah itu mengaku sebagai pejabat dari kementerian yang berkantor di ibu kota negara.
Kiai Basyir menyambut tamu itu dengan hangat. Keduanya tampak akrab, seperti sudah lama saling kenal. Perbincangan yang diselingi guyonan kecil mengalir wajar. Terlebih sang tamu mengaku punya kerabat dekat di kampung sebelah. Malah Sanrawi yang terlihat canggung dan sedikit minder. Sejak tamu dari Jakarta itu datang, ia hanya jadi pendengar. Mungkin karena tidak ingin menguping, ia pun sempat minta pamit, namun dicegah sang tuan rumah. “Jangan pulang dulu, di sini saja dulu,” begitu kata sang tuan rumah.
Di tengah serunya obrolan itulah sang tamu mengutarakan maksud tujuan sebenarnya.
“Maaf, Yai, sowan saya ke sini tidak lain ingin menyerahkan uang sumbangan untuk pembangunan masjid,” ujarnya sambil meletakkan sebuah tas hitam di meja yang memisahkan dirinya dengan sang tuan rumah. Dengan gerakan terukur, ia lalu membuka tas tersebut yang ternyata penuh oleh uang pecahan ratusan ribu yang masih licin dan kaku. Sepertinya baru ditarik dari bank.
“Mohon Kiai berkenan menerimanya,” lanjutnya, sopan.
“Wah, kebetulan sekali, Pak. Masjid sini sedang butuh sekali dana. Masjid sedang tahap renovasi tetapi setahun sudah mangkrak, belum bisa meneruskan,” cerocos Sanrawi tiba-tiba dengan mata berbinar. Singkat cerita, Kiai Basyir menerima sumbangan itu dan sang tamu pun tampak lega dan segera pamit.
“Setelah itu uang disimpan Kiai Basyir?” tanya Haji Dikun lagi pada Sanrawi.
“Betul.”
“Maaf, Yai, apakah yang diucapkan Sanrawi barusan itu benar? Apakah benar Jenengan menerima uang tersebut?” pertanyaan sekarang diarahkan pada Kiai Basyir.
“Iya. Aku menerimanya,” jawab Kiai Basyir sesaat setelah menyedot dan melempar asap rokok dengan begitu nikmat.
“Kenapa tidak segera dilaporkan ke bendahara?” Pertanyaan Haji Dikun langsung menusuk.
Kiai Basyir mengucek rokoknya lalu menjelaskan alasan kenapa menahan uang itu lama. “Aku memang sengaja menahannya beberapa waktu karena ingin mengetahui asal-muasalnya dulu. Dan ternyata uang itu adalah uang panas,” ujarnya.
“Uang panas? Apa maksudnya?” Haji Dikun mendesak.
“Itu uang hasil korupsi. Aku tidak mau uang itu digunakan untuk membangun masjid.”
“Maunya untuk membangun rumah atau beli sawah?” Hati Haji Dikun tergelak-gelak. Baginya ucapan Kiai Basyir barusan tidak masuk akal dan pantas ditertawakan. Bagaimana mungkin orang biasa bisa membedakan antara uang halal dengan uang haram, macam uang hasil mencuri atau korupsi.
“Jangan mengada-ada, Yai. Coba buktikan!” tantang Haji Dikun penuh rasa kemenangan. Ia sangat yakin kalau sang kiai tidak akan sanggup membuktikannya.
“Tunggu! Kalian lihat sendiri nanti.” Kiai Basyir bangkit dan bergegas ke rumah yang hanya berjarak sepuluh meter dari masjid.
Suasana hening. Para jemaah menebak-menebak, kira-kira apa yang akan dilakukan Kiai Basyir? Mungkinkah beliau bisa membuktikan ucapannya?
Tak lama kemudian Kiai Basyir muncul dengan menenteng tas hitam dan sebaskom air putih. Sebuah pemandangan yang ganjil. Tas hitam itu mungkin berisi uang tetapi untuk apa baskom dan air itu? Keganjilan kian bertambah ketika beliau tidak duduk di tempat semula melainkan memilih duduk di tengah-tengah lingkaran jemaah.
“Kau masih ingat dengan tas ini, San?” tanya Kiai Basyir sambil menusukkan pandang pada Sanrawi.
“Iya,” jawab Sanrawi, gentar.
“Dengar, tas ini sejak kuterima dan kusimpan belum pernah kubuka. Masih utuh. Dan malam ini untuk pertama kali kubuka.” Kiai Basyir mengeluarkan sebagian isinya, mengambil beberapa lembar, lalu mengangkatnya tepat di atas baskom.
“Pasti beliau akan melakukan trik sulap.” Hati Haji Dikun kian terbahak.
“Lihatlah!! Aku akan memasukkannya ke dalam air. Kalau uang ini uang halal tidak akan larut. Sebaliknya, kalau uang ini uang haram akan larut, menyatu dengan air.” Lembaran yang barusan dimasukkan lalu diaduk sekali dengan jari. Dan ketika jari diangkat semua jemaah terperangah. Uang itu ternyata larut. Air yang awalnya putih berubah menjadi merah darah, lalu mengental menjadi nanah. Seketika bau anyir menguar memenuhi ruangan. Jemaah spontan memencet hidung kuat-kuat.
“Apakah demi sebuah kemegahan dan kekinian kita akan melumuri masjid ini dengan nanah?” Dalam Kiai Basyir menusukkan suaranya. “Atau ada yang mau mengambil uang-uang busuk ini?”
Sesaat senyap. Tidak ada satu pun yang sanggup berkata-kata. Semua larut dalam takjub. Namun kemudian hati Haji Dikun tergelak-gelak. Ia dengan lantang berkata kalau itu hanya trik sulap kelas salep gudik belaka. Hanya laku untuk mengelabui anak ingusan. Ia pun bertekad akan tetap mengambilnya, tetap ingin melanjutkan ambisinya. ***
MOH ROMADLON. Lahir di Kebumen 12 Agustus 1977. Cukup giat menulis cerpen di berbagai media cetak dan media online. Saat ini bermukim di Desa Rantewringin, Kec. Bulupesantren.
Leave a Reply