SAMPUL dan isi memang dua bagian yang terpisah dalam karya sastra, namun sampul dapat dikatakan sebagai representasi dari isi. Melalui judul dan ilustrasi, pembaca diberikan hak untuk menerka isi di dalamnya. Oleh sebab itu, sampul berfungsi untuk memikat pada pandangan pertama. Hal semacam inilah yang saya rasai ketika mengamati sebuah novel karya peraih penghargaan Nobel Sastra pada tahun 1920 asal Norwegia, Knut Hamsun, yang hanya menggunakan satu kata untuk judul novelnya. Satu kata yang dicetak dengan ukuran font yang paling besar di antara kata-kata lainnya; bahkan melebihi nama penulisnya; dan bertinta merah. Aroma penderitaan kian terasa saat melihat ilustrasi di bawah judul, sebuah lukisan kepala yang menengadah dengan mulut menganga beserta mata yang membelalak murka. Ini adalah cerita tentang luka di dalam luka. Adakah yang lebih menyakitkan dari situasi “luka di dalam luka?”
Representasi itu tak berkhianat, Sult memang sebuah novel tentang seorang penulis dengan penderitaan yang selalu menjerat hingga buku tertutup rapat. Mengamini konsep yang disampaikan oleh Horace bahwa sebuah seni (sastra) yang baik memiliki dua unsur penting, yakni dulce (indah) dan utile (menggugah). Dari sisi utile, novel ini mampu menggugah kesadaran pembacanya terkait penderitaan yang kerap kali menghalangi seseorang melakukan kebaikan. Diceritakan pada bagian pembuka cerita bahwa sedekah tokoh Aku dikembalikan oleh seorang lelaki tua peminta-minta hanya karena penampilan “tak meyakinkan” tokoh aku. Si lelaki tua khawatir bahwa tokoh Aku hanya ingin menjebaknya (halaman 12). Bagi orang miskin, kebaikan yang tulus sekalipun terkadang tak bisa diterima.
Benarkah yang bisa berbuat baik hanya orang-orang kaya? Terkadang keengganan seseorang melakukan kebaikan bukan karena tak ingin, tetapi rasa kecewa atas kebaikan yang dulunya mengalami penolakan, bahkan hinaan.
Sementara dari sisi dulce, novel ini menghadirkan diksi dengan pelbagai gaya bahasa seperti metafora, ironi. dan satire. Selain gaya bahasa sebagai fungsi estetika, unsur dulce juga dapat diperoleh dengan menyajikan cerita yang menghibur. Dari sinilah, tampak jelas bahwa penghargaan Nobel Sastra telah tersenyum bangga karena dimiliki oleh Knut Hamsun. Meskipun novel ini bertema tentang penderitaan, Knut Hamsun tetap mampu menyisipkan cerita-cerita lucu lewat karakter tokoh Aku. Tak berlebihan jika Goenawan Mohamad menyebut karya sastra sebagai sesuatu yang dipenuhi enigma, sebab akan selalu ada misteri-misteri tersembunyi yang sengaja disembunyikan oleh penulisnya. Hanya pembaca-pembaca jeli yang akan mampu menemukannya. Sederhananya, penderitaan sesekali memang perlu untuk ditertawai. “Hiburan-hiburan” tersebut dapat dinikmati lewat dialog-dialog tokoh Aku kepada orang-orang yang ditemuinya.
Lara dan Tawa
Pernah suatu kali tokoh Aku berada dalam keadaan sebagaimana yang telah disebutkan dalam judul novel ini, sehingga ia harus segera mendapatkan beberapa keping uang untuk mengobati penderitaannya. Lamarannya sebagai seorang akuntan telah ditolak gegara kesalahan fatal penulisan tahun di surat lamaran. Didorong penderitaan sekaligus keinginan mendapatkan pekerjaan, ia memasuki rumah secara acak untuk meminta pekerjaan apapun. Sayangnya ia justru dianggap sebagai seorang pengemis, namun dengan tenang tokoh Aku mempermalukannya dengan pengakuan konyol bahwa ia seorang bangsawan kenamaan. Berikut kutipannya,
Ia rupanya menyangka bahwa aku seorang pengemis, dan aku menjadi dingin dan tenang seketika….
“Aku sebetulnya hanya ingin memberi rekomendasi bagi seorang kusir yang kukenal dan ingin kubantu. Namaku adalah Wedel-Jarlsberg.” (halaman 68)
Wedel-Jarlsberg merupakan nama keluarga bangsawan yang sangat terpandang di Norwegia, sementara tokoh Aku adalah seorang lelaki miskin yang sedang berharap belas kasihan manusia mulia. Betapa mudahnya Knut Hamsun membuat kekonyolan dalam kegetiran. Adakah seorang bangsawan yang dihantui oleh masalah kelaparan? Tak hanya sekali-dua kali, Knut Hamsun kembali mengulanginya lagi dan lagi pada beberapa dialog yang lain. Satu di antaranya ketika tokoh Aku membayar bistik pesanannya di sebuah restoran kepada seorang pelayan. Dengan kocaknya, tokoh Aku berkata kepada pelayan bahwa uang kembaliannya ia berikan kepada pelayan untuk membeli rumah, padahal itu hanya satu krone (setara dengan 1.500 rupiah pada tahun 1890). Berikut kutipannya,
Gadis itu tersenyum, dan aku bergurau, dengan mata berkaca-kaca, “Uang sisanya untuk Nona beli rumah…” “Selamat makan!” (halaman 163)
Di balik gurauan yang dilontarkan tokoh Aku ketika memberikan sejumlah uang untuk “pembangunan rumah”, terdapat sebuah fakta bahwa tokoh Aku sendiri hidupnya berpindah-pindah dari rumah satu ke rumah lain. Lebih tepatnya bukan berpindah-pindah, tetapi memang sengaja diusir oleh sang pemilik rumah. Untuk menghidupi dirinya sendiri saja sudah susah, lalu bagaimana bisa ia hendak membangunkan rumah orang lain?
Akhir kata, novel ini sangat menggugah lewat cerita penderitaannya sekaligus menghibur lewat humor-humor dibaliknya. Terima kasih teruntuk Knut Hamsun, sebab memang tak ada lara yang tanpa tawa. ***
AKHMAD IDRIS, dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya.
Leave a Reply