Cerpen, Radar Bromo, Sam Edy Yuswanto

Mantan Koruptor

5
(3)

SELEPAS keluar penjara, Braga ingin pergi sejauh mungkin dari ibu kota, tempat di mana ia bermukim selama menjadi anggota dewan. Tempat yang sejatinya nyaman, sekaligus memanjakannya dengan ragam kemewahan. Hingga pesona dunia yang gemerlap itu membutakan mata hati dan membuatnya terjerumus pada kebiasaan rekan-rekan anggota dewan yang selama ini telah berpengalaman mengeruk uang rakyat.

Sebenarnya Braga tipikal pribadi yang jujur. Pantang baginya mengambil sesuatu yang bukan haknya. Saat masih menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi ternama di kota J, ia termasuk paling vokal menyuarakan ketidakadilan. Beratus demo telah ia ikuti demi membela hak rakyat yang tertindas. Tapi idealismenya perlahan terkikis saat ia berada pada pusaran yang begitu deras. Ibarat air, ia terjebak di arus deras hingga akhirnya tenggelam.

Nahas memang nasib Braga. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Istri dan kedua anaknya memilih pulang ke rumah orangtuanya sejak ia tertangkap aparat. Ia kepergok menerima suap dalam sebuah proyek pembangunan mal. Seluruh harta benda, termasuk rumah dan uang yang tersimpan di beberapa bank telah habis disita negara. Selama 12 tahun ia mendekam di jeruji besi.

Hidup dengan orang-orang yang memiliki segudang kasus di penjara membuatnya lebih menyadari bahwa hidup ini sangat keras. Ia baru tersadar bahwa dulu, saat masih berstatus mahasiswa dan kerap menggelar aksi demo, ia hanya sebatas menyuarakan ketimpangan sosial. Tanpa benar-benar memahami apalagi merasakan betapa penderitaan yang harus ditanggung rakyat miskin begitu berat.

“Kalau bukan karena biaya persalinan istriku yang mahal, tak sudi aku merampok,” ujar Budi, pria yang terpaksa menjadi perampok untuk melunasi tagihan biaya persalinan istrinya di rumah sakit.

“Aku terpaksa mencuri ayam untuk membayar iuran sekolah anakku,” ungkap Badrun, pria tengah baya yang akhirnya masuk bui setelah diarak dan dipukuli warga karena kepergok mencuri ayam di kampung sebelah.

Baca juga  Terjerembab di Bumi

Masih banyak deretan kisah sesama penghuni bui yang semakin membukakan mata dan pikiran Braga. Bahwa tak semua orang benar-benar ingin menjadi penjahat. Faktor ekonomilah yang rata-rata membuat warga miskin nekat.

Lain dengan dirinya yang secara materi sebenarnya sudah lebih dari cukup. Harusnya ia tak serakah, bisa menahan diri dan melawan arus. Meski terancam tersingkir dari kursi nyaman sebagai anggota dewan. Ah, mengingat masa lalunya, malah kian menerbitkan penyesalan mendalam di hati lelaki berperawakan tinggi dan cukup tampan itu.

***

Bermodalkan uang pas-pasan hasil dari bekerja sebagai tukang cuci piring di warung tenda selama dua pekan, Braga memutuskan pergi ke kota K, sebuah kota kecil yang cukup jauh dari ibu kota. Ia sengaja mencari tempat tinggal di suatu desa dekat pantai. Sejak dulu ia memang sangat menyukai wisata pantai, apalagi yang masih natural seperti di pedesaan.

Sebagaimana janjinya saat masih di penjara, ia akan menepi dari hiruk-pikuk dunia. Ia tak mau lagi hidup di kota besar. Ia takut kalau-kalau masih banyak orang yang mengenalinya. Ia waswas bila sewaktu-waktu bertemu rekan-rekannya dulu.

Selain itu, biaya hidup di kota jauh lebih mahal ketimbang di desa. Sementara ia kini tak punya pekerjaan tetap. Ia pikir, sulit mencari pekerjaan kantoran. Mengingat namanya cukup familier di deretan para koruptor. Mana mungkin ada yang sudi menerima dirinya sebagai karyawan?

Akhirnya, di desa kecil tersebut, lelaki yang berusia 45 tahun dan kini memiara berewok tebal itu mendapat tumpangan tempat tinggal. Rumah kayu sederhana milik almarhum orangtua Pak Lurah. Berhubung Pak Lurah sudah punya rumah baru yang lebih bagus, rumah peninggalan orangtuanya tak ada yang menempati.

Perihal asal-usul Braga dan masa lalunya yang kelam, tentu saja dirahasiakannya. Ia ingin menjadi manusia baru yang lebih baik di desa itu. Termasuk mengganti namanya menjadi Iwan.

Kerja serabutan menjadi pilihan Braga. Ya, karena memang tak ada pilihan lain. Berat memang melakoninya karena kehidupan masa lalunya dikelilingi kemewahan. Ternyata kerja serabutan pun tak semudah perkiraannya. Banyak orang yang enggan menggunakan jasanya, karena tenaga Braga tak sekuat orang desa pada umumnya.

Baca juga  Warung Tetangga

“Kapok aku nyuruh Mas Iwan. Tenaganya terlalu lembek, mana bisa cepat kelar kalau begini caranya.”

“Aku juga malas nyuruh dia lagi. Disuruh betulin atap, eh malah esoknya pas hujan bocornya makin banyak.”

“Aku sih belum pernah pakai jasanya. Tapi kalau seperti itu ceritanya, aku nggak akan mempekerjakan dia. Bisa rugi aku.”

Begitulah di antara komentar warga tentang sosok Braga. Berhubung tak ada yang sudi memakai tenaganya lagi, ia mencoba bercocok tanam di belakang rumah almarhum orangtua Pak Lurah. Di tanah yang cukup luas itu ia menanam cabai, tomat, terong, dan pepaya.

Itu semua atas saran Pak Lurah yang diam-diam merasa kasihan dengan nasib Braga yang sebatang kara. Kepada Pak Lurah, Braga memang bercerita kalau sudah tak punya sanak saudara. Ia hanya seorang musafir yang kehilangan bekal dan terdampar di desa tersebut.

***

“Terima kasih, Bu Lurah,” Braga tersenyum sambil menerima rantang berisi nasi dan lauk pauk dari Bu Lurah. Selain memberikan tumpangan, secara rutin tiap pagi dan sore, Pak Lurah mengirimkan makanan untuknya. Braga berjanji dalam hati tak akan pernah melupakan jasa keluarga Pak Lurah.

“Oh iya, saya mau minta tolong. Nanti malam datang ke rumah, ya.”

Permintaan Bu Lurah membuat kening Braga berkerut. Ia ingin bertanya tapi tak enak hati. Braga akhirnya mengangguk sambil berkata iya. Bu Lurah tersenyum lalu segera kembali ke rumahnya yang hanya berjarak dua puluhan meter dari samping rumah yang ditempati Braga.

***

Dilema. Itu yang dirasa Braga saat berada di rumah Pak Lurah. Sungguh ia tak pernah mengira bila malam itu ia dimintai tolong untuk memijit punggung Bu Lurah. Kepada Braga, Bu Lurah bilang sedang kecapaian. Tak enak badan. Pikir Braga, ia akan dimintai tolong hal lain. Sama sekali ia tak berpikir akan disuruh memijat. Lain soal bila yang meminta pijat Pak Lurah, pasti ia dengan senang hati menyanggupi. Braga kian bimbang karena hanya ada Bu Lurah di rumah itu. Katanya, Pak Lurah dan kedua anaknya sedang ke luar ada acara.

Baca juga  Mengkalungkan Celurit di Leher Sendiri

“Ayolah, badanku udah pegal-pegal, nih,”

Tubuh Braga gemetar saat mendengar intonasi memaksa dan terdengar agak manja. Sungguh sangat jauh berbeda dengan karakter Bu Lurah yang ia kenal saat bersama Pak Lurah.

Braga terhenyak. Dadanya berdegup kencang saat Bu Lurah tiba-tiba berdiri dan merangkul punggung Braga. Kekagetan Braga kian menjadi saat Bu Lurah tahu nama aslinya.

“Braga Supraja Yuliawan nama lengkapmu, kan?” Raut Braga memucat seketika.

“Rahasiamu aman, asalkan kamu menuruti perintah saya.”

Pada saat Braga tengah didera gugup dan panik karena penyamarannya terbongkar, ditambah kebingungannya atas situasi yang serba tak mengenakkan itu, tiba-tiba terdengar ketuk pintu diiringi suara salam.

“Suami saya pulang, cepat kamu keluar lewat pintu belakang,” bisik Bu Lurah dengan raut sama persis dengan Braga; panik dan gugup. Braga terpaksa mengikuti apa kata Bu Lurah. Tergesa ia melangkah menuju pintu belakang. Ia dan Bu Lurah lupa satu hal; sandal milik Braga tergeletak tepat di depan pintu rumah. ***

Puring, Kebumen, 22 Juli 202

Sam Edy Yuswanto. Lahir dan berdomisili di kota Kebumen. Ratusan tulisannya telah tersiar di berbagai media cetak, lokal hingga nasional, antara lain: Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Jateng Pos, Radar Surabaya, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, dll.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!