TELAH sejak lama aku mendengar bunyi-bunyian itu. Lamat-lamat saja, tetapi serasa seperti medan magnet, menarikku ke desa ini, begitu kuat. Seperti serbuk besi, aku tidak kuasa menolak.
Begitu berdiri di ambang gapura yang dibangun dari tumpukan bata merah dan telah ditumbuhi lumut sana-sini, aku kembali mendengar bunyi-bunyian sialan itu. Seketika hawa dingin merambati tengkuk, meneror. Kepalang tanggung! Aku tidak akan kembali walau desa ini dikutuk sekalipun.
***
Manusia pertama yang kutemui adalah perempuan tua bertubuh bungkuk. Kedua bola matanya hitam belaka, seakan-akan tercipta dari bongkahan malam paling jahanam. Aroma yang terasa sangat ganjil keluar dari tubuhnya. Dan ketika kutanyai di mana rumah Kepala Desa, ia berbalik badan dan menunjuk kejauhan.
Aku meneruskan perjalanan dengan sejuta pertanyaan yang hilir mudik di kepala. Sepanjang jalan telingaku tidak menangkap bunyi apa pun. Dadaku terasa kopong dan tengkuk kembali dirambati hawa dingin, bulu-buluku meremang. Rasanya, sebuah kutukan sedang mengintip dari balik rumpun-rumpun bambu.
Senja sebentar lagi tergelincir tetapi di kaki langit tidak ada lembayung. Ufuk barat disaput semacam awan kelabu tipis. Kupikir-pikir itu semacam halimun, dan rumah yang kutuju belum juga terlihat, dan jalanan seolah-olah tidak berujung.
***
Ketika hampir putus asa tiba-tiba seorang bocah kurus bertelanjang kaki dan dada menghampiriku. Saat itu aku berada di sebuah perempatan. Di kanan, kiri, dan depan yang tampak hanya jalanan lengang, serupa garis hitam lurus yang ditarik begitu saja. Di belakang sana rasanya kamu sudah tahu seperti apa.
Entah dari mana bocah yang kutaksir berusia tak lebih dari delapan tahun itu datang. Ia seperti melompat begitu saja dari balik kegelapan. Ketika kuperhatikan, kedua bola matanya pun hitam tetapi seperti ada titik putih samar di sana. Dari tubuhnya pun menguar aroma yang ganjil.
Aku hendak buka mulut, tetapi bocah itu keburu memberi isyarat agar mengikutinya. Kami mengambil jalan ke kiri. Mengapa kiri? Bukankah kiri selalu berkaitan dengan hal-hal buruk. Seperti tangan, kiri adalah pasangan pantat dan tai. Mengapa tidak kanan saja?
Bocah itu sekitar tiga meter di depanku. Jarak rasanya tidak berubah meskipun aku telah mempercepat langkah. Ia tidak pernah menoleh. Ia juga tidak bersuara barang sekata. Ia lebih seperti patung yang diberi nyawa dan bisa berjalan, dan aku seperti seekor anjing yang membuntuti tuannya.
***
Rumah ini berbentuk joglo dengan pekarangan yang lapang. Sebuah jalan setapak bersemen kasar membelah halaman, di kanan-kirinya berjejer rumpun melati. Hawa dingin mengambang di udara dan aku dapat merasakan sebuah kekuatan magis yang begitu kuat.
Si bocah kurus telah menghilang. Aku duduk di kursi yang kutaksir terbuat dari kayu jati, ada pegangan di kanan-kirinya. Di depanku sebuah meja bundar dengan pelitur yang sudah mulai pudar. Di meja itu ada sebuah asbak kaca dan di dalamnya tergolek tiga belas puntung rokok lintingan. Sial! Mengapa tiga belas?
Di dinding depan sana—sekitar delapan atau sepuluh langkah dari tempat dudukku—menempel sebuah teplok yang ujungnya dipenuhi jelaga. Teplok itulah sumber cahaya satu-satunya—cahaya pertama yang kulihat di desa ini. Aku sedikit merasakan kehidupan dari sinarnya yang kekuningan.
Di salah satu sudut ruangan terdapat sebuah meja kecil. Di meja itu ada sebuah botol. Rasanya seperti botol bir, memang sebesar itu, tetapi bening. Meskipun dari jarak yang tidak terlalu dekat dapat kupastikan sumbatnya terbuat dari kayu.
Di sebelah kananku, tiga belas ubin jauhnya dari ujung kakiku, terongok sebuah saron. Aku pernah melihat yang semirip itu di rumah Simbah. Ketika kanak-kanak aku pernah belajar menabuh gamelan.
Di kiriku terdapat sebuah buffet sepanjang mungkin satu depa. Pada rak-raknya, di balik kaca kulihat tumpukan mangkuk tengkurap, juga gelas-gelas, juga setumpuk buku yang tampak usang. Buffet itu melekat pada dinding yang dihiasi beberapa ornamen.
“Selamat datang, Den Bagus.” Suara itu terdengar seperti keluar dari kedalaman gua, berdengung di kepala.
Beberapa jenak berselang pintu di depan sana terbuka dan dari kegelapan muncul pria bersurjan. Aku berniat bangkit, tetapi pria itu memberi isyarat agar duduk saja.
Begitu tiba di sisi meja ia menarik kursi. Anehnya tidak ada suara sama sekali meskipun kaki kursi itu beradu dengan ubin. Ia lantas duduk dengan gerakan khas seorang priyayi. Kami saling pandang beberapa saat. Ia tersenyum kemudian mengangguk. Dan kulihat kedua bola matanya sama hitamnya.
“Saya yakin Den Bagus menyimpan banyak pertanyaan.” Kalimat itu berdengung di kepalaku, tetapi pria itu tidak membuka mulut sama sekali. “Hanya orang terpilih saja yang dapat mendengar kata-kata saya, Den Bagus.”
Tentu saja aku sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Apa pasal sehingga desa ini seperti dikutuk dengan kesepian yang melingkar ketat.
***
“Beberapa tahun lalu, desa ini seperti lazimnya sebuah desa, karena kesalahan kamilah desa ini ditimpa celaka.
Ketika itu baru usai musim panen. Sawah-sawah menghasilkan gabah yang berlimpah ruah. Panen paling baik seumur hidup saya. Untuk merayakannya, kami menggelar wayang kulit.
Pada malam Anggara Kasih, seperti yang disarankan Ki Dalang, wayang kulit pun digelar. Lakon yang dipilih adalah lakon Dewa Ruci.”
Aku tahu lakon itu. Lakon di mana Werkudara mencari Tirta Prawitasari kemudian bertemu Dewa Ruci di dasar samudera. Werkudara masuk ke telinga sang Dewa dan di sana ia menemukan sesuatu yang lebih berharga dari apa pun di semesta.
“Warga desa berkumpul dengan wajah bercahaya. Ki Dalang begitu lihai memainkan wayang di balik kelir. Tabuhan gamelan para nayaga teramat merdu, begitu juga suara para sinden. Segalanya berjalan dengan sangat baik sampai tiba-tiba datang seorang perempuan. Perempuan itu meminta, lebih tepatnya memaksa agar wayangan dihentikan, ia berkata: Sebaiknya semua ini dihentikan! Lakon ini terlalu sakral untuk dikotori dengah hal-hal maksiat.
Begitu kalimat itu usai, blencong pun padam. Seketika para nayaga berhenti menabuh gamelan. Ki Dalang bergeming. Namun, beberapa pria yang telah dikuasai ciu berteriak-teriak meminta agar Ki Dalang tidak menggubris perempuan itu. Bahkan, empat orang pemuda—yang saya yakin juga telah mendhem —meringkus perempuan itu kemudian menyeretnya dengan beringas. Saya benar-benar bodoh tidak mencegah mereka.”
Aku menangkap penyesalan yang teramat sangat pada suara di dalam kepalaku. Pak Kades tertunduk, bahunya berguncang.
“Saat itu saya juga sudah dikuasai ciu. Wayangan tetap dilanjutkan sampai menjelang Subuh. Tak lama setelah usai, Ki Dalang menghampiri saya dan berkata: Saya khawatir kita telah berbuat hal yang keliru. Saat itu saya menganggap terlalu dilebih-lebihkan. Saya tertawa geli saat seorang pemuda yang ikut meringkus dan menyeret perempuan itu sampai batas desa mengatakan bahwa perempuan itu mengutuk desa kami.
Sepekan kemudian beberapa warga mengadu bahwa mereka kehilangan pendengaran. Ada pula yang datang untuk menunjukkan bola mata anak-anak mereka yang mulai menghitam. Dan hal itu—kehilangan pendengaran dan bola mata yang menghitam—menjamah satu demi satu warga desa. Pagebluk terjadi.
Pada tahun pertama semua orang dewasa—selain saya dan Ki Dalang—kehilangan pendengaran. Tahun kedua bola mata seluruh orang dewasa menghitam. Tahun ketiga seluruh bocah di desa ini pun kehilangan pendengaran dan bermata hitam. Tahun keempat saya dan Ki Dalang mengalami hal yang sama. Desa ini benar-benar dibekap kesunyian. ***
(Bersambung)
Rayi El Fatih. Penulis adalah sopir truk penyuka biru dan Manchester United. Saat ini berteduh di akun facebook dengan nama yang sama dan akun IG @rayi.e
Aiu Ratna
Lha kok bersambung?
Endang Violetta
Keren, ditunggu kelanjutannya.