Analisa, Cernak, Yossie Fabien Leimena

Jujurlah pada Ibu

0
(0)

SEJAK ayah meninggal, ibu menjadi tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ibu bekerja sebagai akuntan di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang alat kesehatan. Beliau memang wanita pekerja keras. Beliau memulai hidup dari nol. Ibu tidak pernah sama sekali mengeluh.

Namun, saat ibu sudah sukses dan punya pekerjaan yang bagus seperti saat ini, kabar duka menyelimuti kami dengan meninggalnya ayah karena kecelakaan. Ibu berusaha tetap tegar. Aku mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang pelukis hebat. Aku menggunakan uang gaji ibu untuk membeli kuas dan perlengkapan melukis lainnya. Aku tidak malu untuk memajang karyaku di mading sekolah.

Guru-guru mengenalku sebagai pelukis cilik berbakat. Suatu hari seorang pelukis terkenal yang kerap disapa Mbah Kuris datang ke sekolah dalam rangka untuk mengembangkan bakat melukis pada anak. Karena ingin sesukses ibu, aku tak malu untuk menampakkan diri. Aku menunjukkan semua karyaku pada Mbah Kuris.

“Kamu memang berbakat ya dalam melukis, Nak. Saya berminat untuk membeli lukisan kamu ini, ini sangat bernilai jual,” kata Mbah Kuris.

Aku terperangah mendengar Mbah Kuris mau membeli lukisanku, padahal aku hanya mau menyumbangkannya bukan menjualnya. Aku memutuskan menerima tawaran itu. Sebagian lukisanku yang aku pajang di mading sekolah aku jual kepada Mbah Kuris. Alhamdulillah aku dapat keuntungan yang cukup dari penjualan lukisan karyaku.

Aku merasa aku ini mau berbisnis sambil sekolah. Aku jadi semakin bersemangat untuk membuat karya lagi yang ada nilai jualnya. Karena tidak ingin ketahuan ibu, aku menyimpan hasil jual lukisanku di celengan. Demi menghindari rasa curiga ibu pun aku hanya melukis tiga kali seminggu karena fokus ke pelajaran sekolah.

Baca juga  Embik, Kambing Didi

“Andrin, ibu mau ajak kamu ke pameran lukisan di balai kota hari Minggu ini. Ayo, Nak, biar kamu bisa melihat lukisan-lukisan karya orang,” ajak ibu. Tentu saja aku senang mau diajak ibu ke pameran lukisan. Aku ingin melihat bagaimana orang membuat lukisan yang bagus, bernilai jual, dan bisa masuk pameran.

Saat aku dan ibu sampai di balai kota, ramai sekali orang yang datang melihat. Aku hendak menulis namaku sebagai pengunjung, tetapi pihak penjaga seperti sudah mengenaliku. “Kamu Andrin Yulia ya? siswa kelas 2 SMP di Sekolah Menengah Pertama Kanaya?” tanya beliau.

“Benar, Bu, memangnya ada apa?” tanyaku.

“Lukisan karya kamu dipajang di pameran ini, Dik, ada foto kamu di bagian kanannya,” jawab beliau.

Ibu sangat terkejut mendengar kabar dari penjaga pintu masuk itu. Aku masuk ke pameran dan melihat Mbah Kuris sedang menyusun rapi lukisan yang dipamerkan. Mbah Kuris melihatku dan tersenyum.

“Akhirnya kamu datang juga seniman cilik, saya sengaja memajang lukisan karyamu di pameran ini agar kamu bisa terkenal dan karier kamu bisa melejit,” tukasnya.

Ibu yang kebingungan bertanya padaku apa yang aku lakukan selama ini. “Andrin, jujurlah pada ibu, Nak, kamu sudah menjual lukisanmu pada Mbah Kuris ya sampai dipajang begini?” tanya ibu.

“Jujur, iya ibu, Andrin ingin mengembangkan bakat sebagai pelukis sedari dini sampai meraup keuntungan biar pun tidak besar, Andrin ingin seperti ibu yang dulu mulai hidup dari nol sampai ibu punya pekerjaan bagus seperti ini,” aku menjelaskan.

“Anak ibu bagus kok, dia ingin mengembangkan bakatnya sedari dini dan ingin melambungkan namanya melalui lukisan, sudah tugas saya sebagai seniman yang banyak pengalaman agar mengembangkan bakat melukis orang, terutama mereka yang masih muda maupun belia, Bu,” jelas Mbah Kuris. Ibu bangga dengan prestasiku, beliau meminta agar aku terus mengembangkan bakatku sampai aku berhasil sukses seperti Mbah Kuris. ***

Baca juga  Ngebet Viral

Yossie Fabien Leimena. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Bisnis UMSU.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!