Wendoko

Nebulae

0
(0)

Cerpen Wendoko (Koran Tempo, 20 April 2014)

Nebulae ilustrasi Munzir Fadly

GURUKU mendongak ke langit. Katanya, gumpalan cahaya itu seperti bilah api di sumbu lilin. Warnanya kebiruan, agak gelap di tepi, dan dikerubuti serabut-serabut kuning atau jingga. Jika diamati, serabut-serabut itu seperti bergerak—merambat, menyebar, lalu merapat. Pada langit malam yang berbintang, gumpalan cahaya itu tampak besar tapi buram, seolah serpihan kabut atau awan dengan cahaya yang samar.

Aku teringat, guruku pernah menyebutnya massa yang berawan di langit. 

Tetapi malam ini, musim panas tahun 1641, tak ada gumpalan cahaya seperti itu di langit. Setidaknya tak ada yang terlihat di langit malam yang cerah di Arcetri, di selatan pusat kota Firenze, Toscana.

Guruku masih mendongak ke langit, setelah berbicara tentang gumpalan cahaya itu. Ia diam, seperti larut dalam gelap, ribuan bintik bintang, dan angin yang mengepak-ngepak di padang itu, tak jauh dari rumahnya yang disebut Il Gioiello. Aku sudah sangat terbiasa dengan tingkah guruku itu, sejak kami masih di Universita degli Studi di Padova. Sejak dulu guruku bisa tiba-tiba terdiam setelah bicara panjang-lebar tentang suatu topik, lalu sorot matanya menajam pada suatu obyek dengan raut muka bersungguh-sungguh. Guruku bisa tiba-tiba bertingkah seperti itu di tengah diskusi, atau ketika sedang mengajar dalam kelas, atau bahkan waktu ia makan siang sendirian. Tetapi malam ini, meskipun ia mendongak ke langit, aku tahu guruku tak bisa melihat langit dengan ribuan bintik bintang itu. Matanya sudah buta sejak tiga tahun lalu, karena penyakit katarak dan glukoma.

“Kau tahu, sobat, cahaya pasti bergerak sangat cepat. Kita bisa melihat kilat sebelum mendengar suaranya, padahal kita tahu suara sudah bergerak sangat cepat,” katanya.

Aku tak mengira, setelah bertahun-tahun guruku masih memikirkan gumpalan cahaya itu. Mungkin tidak aneh, karena apa yang dialaminya hari ini memang tak lepas dari gumpalan cahaya itu, meskipun—setelah delapan tahun—aku tak yakin guruku menyesalinya. Waktu itu tahun 1604, ketika muncul penampakan kabut atau awan dengan serabut-serabut kuning atau jingga di langit. Penampakan itu menghebohkan kalangan ilmuwan, dan guruku terlibat dalam banyak perdebatan sengit. Ketika itulah ia menyebut “massa yang berawan di langit” itu adalah bintang yang jauh. Lalu, seolah tak puas dengan pendapatnya sendiri, ia mulai membongkar arsip-arsip astronomi. Guruku menemukan penampakan serupa juga pernah dilaporkan pada musim panas 1054. Orang-orang berkulit kuning di timur menyebutnya “bintang tamu berupa secercah cahaya kuning yang lemah di tenggara rasi Taurus atau beberapa inci lebih jauh”. Lalu seorang Arab bernama Ibn Butlan mencatat “bintang menakjubkan yang muncul di rasi Gemini”.

Waktu itu guruku berkata, selain kedua laporan itu, sama sekali tak ada laporan dari Italia—dan bahkan seantero Eropa. Padahal, sesuai laporan, gumpalan cahaya tahun 1504 itu sangat terang dan bisa dilihat mata telanjang selama hampir dua tahun. Lebih terang dibanding penampakan tahun 1604, yang kemudian ditelusuri dengan sangat baik oleh sahabatnya, Johannes Kepler. Guruku bertanya, apakah memang tak seorang pun di daratan Eropa yang melihat gumpalan cahaya itu?

Baca juga  Alangkah Gelap Pagi Itu, Jan

Sebetulnya aku pernah mendengar tentang beberapa laporan dari daratan Eropa yang menyinggung gumpalan cahaya tahun 1054. Seorang bernama Jacopo Malvezzi mencatat “bintang yang sangat terang muncul di lingkaran bulan sekitar hari pertama pemisahan dari matahari, saat gempa bumi di Brescia”. Lalu sebuah kronik dari Bologna menyebut “pada masa Paus Stephanus IX, Henry III berada di Tivoli pada bulan Juni saat kematian dan kelaparan merajalela di bumi, dan bintang yang sangat terang masuk ke lingkaran bulan pada kalender ketiga belas”. Juga sebuah catatan di gereja St. Paulus di Oudenburg. Tetapi semua laporan—atau catatan—itu tak disertai kajian astronomi, dan karena itu guruku meragukannya.
AKU teringat, bertahun-tahun lalu guruku pernah berkata, “Jangan-jangan ada yang disembunyikan, dan gelap sudah menyelubungi Eropa sejak 1054.” Sejak itu ia makin larut menekuni gumpalan cahaya itu.

Guruku masih mendongak ke langit. Tahun ini ia berumur 77 tahun. Tubuhnya kurus dan membungkuk. Rambutnya menipis dan janggutnya panjang dan putih. Sangat berbeda dengan sosok tegap, tegas, dan bersuara lantang yang pernah kukenal. Tapi kukira ia masih lebih sehat dibanding diriku. Tubuhku juga kurus dan membungkuk dan rambutku memutih, padahal umurku empat belas tahun lebih muda.

Hari ini sudah delapan tahun guruku menjalani tahanan rumah di Il Gioiello.

Lalu di padang itu, di bawah langit malam dan angin yang mengepak-ngepak, diam-diam aku tersenyum. Apa yang kuketahui tentang masa lalu guruku? Pertama, tentu ia sangat pintar. Pada umur 17 tahun, ia sudah belajar di Universita di Pisa, tapi terhenti empat tahun kemudian karena kesulitan uang. Ia kembali ke Firenze. Tak berapa lama ia mengejutkan kalangan ilmuwan di Italia, ketika ia menciptakan neraca hidrostatis untuk mengukur berat jenis benda. Satu tahun kemudian, ia menerbitkan risalah untuk menjelaskan penemuannya, yaitu gravitasi benda waktu dicelupkan ke air. Dengan begitu, ia memperluas hukum Archimedes.

Prestasi itu yang mendorong Universita di Pisa mengambilnya sebagai pengajar matematika. Di sanalah guruku melanjutkan penelitian-penelitian yang tertunda semasa mahasiswanya. Ia merumuskan hukum gerak. Ia mengutak-atik pendulum, dan berkata berat tak menentukan waktu, tapi jarak yang berbanding seimbang dengan gerak. Ia juga mengembangkan termometer.

Tahun 1592, pada umur 28 tahun, guruku pindah ke Padova untuk mengajar geometri, mekanika, dan astronomi. Waktu itu ia menerbitkan sebuah risalah tentang geometri, dan menciptakan teleskopnya sendiri—dengan pembesaran tiga kali teleskop Hans Lippershey, orang Belanda itu. Ia terus memodifikasi teleskopnya sampai diperoleh pembesaran tiga puluh dua kali lipat. Dengan telskop itulah ia mengamati langit. Guruku adalah orang pertama yang berkata permukaan bulan sama seperti bumi—penuh gunung, lembah, dan kawah. Jadi, tidak bulat-bundar seperti gagasan Aristoteles. Ia juga menemukan Saturnus yang dilingkari cincin dan empat bulan Jupiter. Terdorong oleh penampakan gumpalan cahaya tahun 1604, guruku mengamati langit dan berkata Bima Sakti bukanlah sekumpulan kabut, tapi terdiri dari ribuan bintang yang jika dilihat mata telanjang akan tampak teraduk dan tumpang-tindih. Ia juga mengamati fase Venus.

Baca juga  Jazz!

Penemuan-penemuan itu lalu mengukuhkan keyakinan guruku pada gagasan Nicolaus Copernicus. Kata guruku, bulan seperti punya mata, hidung, dan mulut—kadang terlihat seperti merengut, sedang berbicara, lalu tersenyum atau tertawa. Itu menandakan bulan bergerak. Keempat bulan Jupiter kadang muncul dan kadang lenyap. Jadi keempat bulan itu bergerak, tapi tidak mengitari bumi. Ini jelas bertentangan dengan model geosentris Aristoteles, di mana bumi tak bergerak di pusat alam semesta dan dikitari benda-benda langit. Lalu fase Venus dan penelusurannya terhadap air pasang juga membuktikan bumi bukanlah pusat. Fase Venus menunjukkan planet itu mengitari matahari. Air pasang-surut adalah bukti pergerakan bumi. Jadi bumi dan planet-planet lain mengitari matahari, seperti gagasan Copernicus.

Persoalannya, pandangan itu bertentangan dengan Gereja. Beberapa orang dalam lingkungan Gereja memang tidak menyukai guruku, karena sejak itu ia kerap bersikap tajam meladeni tiap kecaman terhadap Copernicus. Persoalan itu dibawa ke dinas Inkuisi. Guruku sampai dipanggil ke kediaman Kardinal Roberto Bellarmino. Dengan tegas ia dilarang mengajarkan gagasan Copernicus. Setelah itu, muncul hujatan-hujatan terhadap buku-buku yang mendukung Copernicus. Guruku mulai tergencet, selama bertahun-tahun. Lalu Paus Urbanus VIII naik takhta. Guruku mempersembahkan buku barunya, Il Saggiatore, untuk Paus. Buku itu menghantam Aristoteles, tapi bisa terbit dengan “sensor khusus” dari Paus.

Tahun 1632 guruku menerbitkan Il Dialogo. Kali ini kalangan Gereja meradang. Mereka menyerangnya, karena di dalam buku itu guruku mencoba memperagakan kebenaran gagasan Copernicus. Guruku dianggap telah melecehkan larangan Kardinal Bellarmino. Ia kembali menghadap Paus, dan kabarnya muncul perselisihan di antara mereka. Akhirnya, Pengadilan Inkuisi menetapkan guruku bersalah. Ia dipaksa mengaku telah menyebarkan pandangan sesat, dan sekarang ia menyesali serta menghujat pandangan itu. Ia dikucilkan oleh Gereja. Mula-mula di Siena, lalu di rumahnya di Arcetri.
BANYAK orang berkata, guruku tak dihukum berat karena ia ilmuwan yang dihormati. Beberapa yang lain berkata, karena Pengadilan Inkuisi tak mencapai kata sepakat dalam perkara bidah yang ditujukan padanya. Tetapi aku tahu, guruku hanya dihukum “ringan” karena campur tangan Paus Urbanus VIII. Paus adalah kawan kuliahnya sewaktu di Universita di Pisa. Perkara bidah, itu tuduhan yang mengerikan! Lihat apa yang menimpa Giordano Bruno, pastor ordo Dominikan, yang juga berkeras membela Copernicus. Ia dihukum bakar dalam “api penyucian”.

Sejak itu buku-buku guruku dilarang. Ia tak diperbolehkan mengajar. Kontak sosial dengan lingkungannya dibatasi. Ia juga tak boleh ke mana-mana. Bahkan, ketika ia terserang radang persendian dan gangguan jantung, ia harus menunggu izin dari Otorita Suci sebelum berobat ke Roma. Bahkan gerak-geriknya diawasi. Ia juga tak boleh menerima tamu, kecuali yang diizinkan oleh Otorita Suci. Setiap bulan seorang pastor dari San Matteo datang ke rumahnya, untuk mendengar pengakuan dosa dan memberinya Sakramen Ekaristi.

Baca juga  Musim Gugur Ketiga

Hari ini aku bisa bertemu guruku setelah permohonan yang panjang dan berulang-ulang pada Otorita Suci.

“Sobat,” kata guruku tiba-tiba, “misalkan, dua orang berdiri berhadapan dan mereka membuka dan menutup cahaya lentera. Jika orang yang satu dapat melihat kepala orang yang lain, ia akan memberi tanda. Lakukan pada beberapa jarak. Jika waktu antara tanda itu sama pada jarak dekat atau jauh, kita bisa berkata cahaya berpindah dengan seketika.”

Sejak dulu guruku selalu memanggilku “sobat”.

“Apakah sudah dicoba? Dan apa kesimpulanmu?”

“Belum kucoba, sobat. Aku tidak bisa ke mana-mana. Jadi, belum ada yang kusimpulkan.”

Kami kembali ke Il Gioiello. Malam ini langit sangat cerah—salah satu malam yang cerah sepanjang musim panas. Diam-diam aku tersenyum. Itulah guruku! Ia tak berubah. Aku tahu ia masih merenungkan “massa berawan” di langit yang tampak hampir empat puluh tahun yang lalu. Tapi sekarang ia pasti sedang bertanya-tanya berapa jarak “massa berawan di langit” itu ke bumi.

“Ada seorang muridku yang sangat berbakat. Namanya Evangelista Torricelli. Ia mengagumimu dan sangat ingin bertemu denganmu. Kuharap kau mau menyediakan waktu untuknya,” kataku.

“Sobat, minta ia ke Il Gioiello.”

Di depan pintu rumahnya, aku sadar sudah waktunya aku pamit. Guruku sudah 77 tahun. Ia butuh waktu yang lebih untuk beristirahat. Apalagi kudengar akhir-akhir ini ia tak begitu sehat. Karena itu, kawan-kawan di Roma terus mengupayakan pembebasannya dari tahanan rumah, sementara dukungan terhadap guruku terus menguat di luar Italia. Tapi kukira aku tak perlu khawatir. Ketika aku tiba tadi pagi, kulihat seorang anak muda yang membuka pintu. Anak muda itu masih belasan tahun, dan tinggal di Il Gioiello atas rekomendasi Raja Ferdinando II, kawan sekaligus murid guruku di Toscana. Tampaknya anak muda itu sengaja ditaruh di sana, sejak guruku kehilangan penglihatan tiga tahun lalu. Aku juga tak perlu khawatir, karena Il Gioiello tak jauh dari San Matteo, tempat putri kedua guruku, Livia, hidup membiara.

Jadi, malam ini aku dapat meninggalkannya dengan tenang. Aku Benedetto Castelli. Guruku Galileo Galilei.(*)

Wendoko, telah menerbitkan beberapa buku puisi, antara lain Jazz! (2012) dan Catatan Si Pemabuk (2014).

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!