Cerpen Jorge Amado (Koran Tempo, 27 April 2014)
MEREKA menuruni tangga bersamaan. Ketika mereka sampai di pintu keluar, orang asing itu mencoba mengajaknya bercakap-cakap. Ruap napasnya yang panas menyapu wajah si wiraniaga. Malam ini udara terasa gerah dan lembap, tak ada angin berembus. Namun, si orang asing pasti sedang kedinginan karena ia terus melesakkan tangannya ke dalam saku mantel. Matanya lebar dan ujung tulang rahangnya yang persegi tampak runcing.
“Anda tinggal di sini?”
“Ya, lantai dua.”
“Sewanya tinggi?”
“Tinggi? Ya, lumayan tinggi, tapi di mana lagi kita bisa mencari yang lebih murah?”
“Tak ada?”
Ujung rahangnya tampak lebih runcing dan tatapannya makin muram saat ia menyahuti pertanyaan itu dengan pertanyaan. Menatap pasti ke wajah si wiraniaga, ia mengulangi pertanyaannya.
“Jadi, menurut Anda tak ada yang lebih murah, ya? Semuanya mahal?”
“Tadi sudah mencari di loteng?”
“Ya. Tak ada yang lowong. Semua kamar terisi.”
Lelaki asing itu berdiri menatap ke jalanan. Udara masih terasa gerah, tapi dia menggigil. Dia menggerakkan tangannya dari saku mantelnya dan menggosok-gosoknya dengan keras.
“Ya, begitulah,” ujarnya tiba-tiba, “semua mahal. Saya sudah berutang dua bulan uang sewa kamar…. Saya tinggal di Jalan Kapiten. Ya, betul. Perempuan itu menagih sewa setiap hari. Dia terus mengejar kami. Kami berempat: saya, istri saya Maria Clara—dia dari Segiripan—dan kedua anak lelaki kami. Kurasa tak lama lagi kami akan terpaksa menjadi gelandangan.”
Ia berhenti berbicara, tampak letih, meludah, menarik topinya di atas pelipisnya, lalu meneruskan berkata, “Saya dulu bekerja di pabrik Aurora sampai tempat itu bangkrut. Itu sudah tiga bulan lalu—dan di sinilah saya sekarang, berkeliling, tak punya pekerjaan. Istri saya menerima cucian, tapi uang yang didapatnya tak mencukupi. Ya, saya harus pindah hari ini—tapi di mana-mana uang sewanya tinggi… dan semua orang minta pembayaran di muka. Bagaimana ini akan berakhir?”
Dia kembali membenamkan tangannya di saku mantel.
“Ada kamar yang bisa disewa di sebelah tempat Anda?”
“Tampaknya tidak. Sudah mencoba cortico di belakang?”
“Terima kasih. Saya tadi sudah dari sana. Semua penuh….”
Dia menatap jalanan tanpa suara, meludah, dan menggosek ludahnya dengan sol sepatunya. Si wiraniaga meraba uang logam tak seberapa di saku celananya. Sempat terpikir olehnya untuk memberikannya kepada si orang asing. Namun, kemudian dia merasa malu dan khawatir itu akan melukai perasaan si orang asing. Lelaki itu merapatkan bagian depan mantelnya, melemparkan tatapan terakhir ke arah tangga, lalu beranjak pergi.
“Hm, maaf sudah mengganggu Anda. Selamat malam.”
Sejenak lelaki itu tampak bimbang, bingung memutuskan antara menaiki tangga atau turun ke arah jalanan yang menuruni bukit. Akhirnya dia mengambil keputusan, berjalan menaiki jalan setapak ke arah atas jalanan yang berlawanan. Si wiraniaga menatapnya dari jauh. Orang asing itu tampak gemetar. Ia bisa melihatnya. Dan walaupun lelaki itu tak berada di dekatnya lagi, terasa olehnya seakan-akan ujung rahang yang runcing itu masih tampak di hadapannya, juga suara letih yang berbicara terus-terang, serta ruap napas panas yang menyapu wajahnya. Ia melambaikan tangan dengan muram. Tiba-tiba saja ia sendiri merasa gemetar kedinginan dalam terpaan udara hangat yang lembap.
.
PEREMPUAN Italia yang menyewakan kamar-kamar di lantai dua hari itu mengenakan busana yang menutupi leher dan lengannya. Pakaiannya begitu panjang sehingga nyaris menyentuh bumi.
Bertubuh jangkung dan bergigi palsu, dia biasanya menggunakan sepasang sepatu hitam dan kacamata berbingkai emas. Dia sangat angkuh dan nyaris tak pernah berbicara dengan siapa pun, kecuali Fernandez dari bar. Itu pun hanya untuk menyapa selintas. Terkadang saat Cabaca mengemis di muka pintu, perempuan itu akan melemparkan sekeping uang logam ke kotak sedekahnya. Si gembel akan menggumamkan campuran rasa terima kasih dan hujatan, “Semoga Tuhan menolongmu dengan mematahkan lehermu di atas tangga ini kapan-kapan, sundal keparat….”
Perempuan kulit hitam penjual mingau akan tertawa sepuas hati mendengarnya, tapi perempuan Italia itu tak mendengar perkataan Cabaca. Dia sudah berlalu menjauh. Perempuan Italia itu juga dikenal sebagai medium arwah. Saat roh orang mati merasukinya, mereka bilang dia akan menari-nari dengan gerakan tak senonoh dan bernyanyi dalam bahasanya. Dia adalah penghubung favorit tempat roh para pendeta lancung dan perempuan jalan mengejawantahkan kehadiran mereka. Mereka menggunakannya sebagai kendaraan untuk menyampaikan kisah-kisah dan kehidupan mesum mereka dalam upaya memancing rasa iba. Roh-roh berjiwa murni jarang memasukinya. Jika itu terjadi, roh-roh berjiwa murni itu umumnya berbaur dengan roh-roh tak senonoh yang akhirnya selalu berhasil mendominasi. Itu sebabnya tempat praktik penghubung roh di Jalan St. Michael itu amat sering dikunjungi orang dan si perempuan Italia seakan-akan mulai diselubungi lingkar cahaya keemasan di sana.
Kini perempuan Italia itu mengetuk-ngetuk gencar pintu kamar yang disewa si wiraniaga dengan buku-buku jarinya. Ketukan-ketukan itu terdengar memaksa seperti perintah, tapi pintu tak kunjung terbuka. Perempuan itu terus mengetuk-ngetuk dibarengi teriakan. “Seo Joao! Seo Joao!”
Sebuah suara menyahut dari dalam kamar. “Tunggu sebentar.”
Kala pintu terbuka, perempuan Italia itu berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung, tersenyum. Seraut wajah berewokan menatapnya dari pintu terbuka.
“Ini tagihan kamarmu. Seharusnya kamu membayar tanggal 5 setiap bulan. Ini sudah tanggal 18.”
Seraya menggosokkan sebelah tangan ke janggutnya, lelaki itu meraih secarik kertas yang disodorkan induk semangnya. Huruf-huruf berenangan di depan matanya.
“Sabarlah, Senhora. Beri aku sedikit waktu lagi. Tak bisakah kau menunggu sampai—katakanlah—akhir minggu ini? Aku ditawari pekerjaan tetap.”
Senyum lenyap dari bibir si perempuan Italia. Wajahnya berubah sinis dengan bibir rapat yang mencong sedikit dengan ekspresi mencemooh.
“Aku sudah menunggu terlalu lama, Seo Joao! Sejak tanggal 5! Setiap hari selalu sama dalihmu. Tunggu, tunggu…. por la Madonna! Aku muak dan bosan menunggu! Aku harus menyetor sewa ke pemilik rumah juga, bukan? Memangnya aku tak perlu makan? Dengar, aku tak bisa menunggu lagi! Aku bukan dinas sosial….”
Walau kata “bukan” yang dilontarkannya nyaris tak terdengar, kata itu mengandung dentang yang kejam.
Terdengar suara bayi menangis di dalam kamar. Lelaki itu mengelus berewoknya.
“Tapi Senhora tentu mendengar,” ujarnya. “Istriku baru melahirkan seminggu lalu. Biaya persalinannya, yah, kau tentu tahulah… Itu sebabnya aku belum bisa membayar sewa kamar. Lalu—aku kehilangan pekerjaan….”
“Apa urusannya denganku? Kenapa kamu beranak-pinak? Salahku? Aku mau kamar ini dikosongkan. Kemasi barang-barangmu. Kalau tidak, kulemparkan kamu ke jalanan. Aku tak mau menunggu lebih lama lagi!”
Perempuan itu berlalu dengan langkah kaku. Gaunnya melekat ketat di tubuhnya seperti lem. Joao menutup pintu, membenamkan wajah di kedua tangannya tanpa berani menatap istrinya yang tengah menangis di dekat si bayi.
“Aku akan bikin ribut dengannya suatu hari nanti,” bisiknya pada diri sendiri, penuh kesumat.
.
JOAO kini selalu pulang larut, menunggu saat si perempuan Italia telah terlelap. Usahanya untuk mendapatkan uang, atau mendapatkan kamar baru dan pindah, tak berbuah. Ia mulai mengeluyuri jalanan, membuang puntung rokok di sana-sini, melemparkan beberapa sen untuk membelikan istrinya sedikit makanan. Bagi sang istri, hidup ini telah berubah menjadi neraka. Kini dia nyaris tak bisa pergi ke kamar mandi tanpa mendengar perempuan Italia itu berteriak, “Ayo, pindah! Mandilah di tempat lain!”
Dia telah kehabisan air. Untuk memandikan bayinya, dia terpaksa turun ke cortico di belakang bangunan, tempat para wanita mencuci pakaian. Setelahnya, dia pergi ke toilet. Si perempuan Italia kini mendapatkan kesenangan dengan mengejar-ngejarnya. Dia menggembok toilet dan menyembunyikan kuncinya saat diintainya perempuan malang itu datang. Kamar yang dihuni Joao sekeluarga jadi amat jorok, tak terkatakan kotornya. Aroma pesing memualkan dari air seni dan tinja manusia nyaris tak tertahankan. Joao hanya bisa mengelus-elus janggutnya dengan jijik.
Suatu malam ia menemukan perempuan Italia itu menunggunya saat dia pulang. Kala itu sudah lewat tengah malam. Perempuan itu menyandarkan punggung ke dinding untuk membiarkan Joao lewat.
“Selamat malam, Senhora!”
“Kamu tak berharap bertemu aku, ya? Aku ingin kamu membayar sewa kamar dan enyah. Jika tidak, aku akan memanggil polisi besok….”
“Tapi….”
“Tak ada tapi-tapian! Aku tak mau mendengarmu berdalih lagi. Sepanjang hari kamu tidur dan saat malam tiba kamu menyelinap keluar untuk mabuk-mabukan. Aku tak mau membantu gelandangan kapiran. Enyahlah ke jalanan!”
“Tapi istriku….”
“Nah, istrimu juga! Dia mengotori kamarku seperti babi betina! Dia tak bisa melakukan sesuatu yang berguna… bahkan sekadar mencuci pakaian sekalipun. Kenapa dia tidak melacur saja? Barangkali itu satu-satunya yang bisa dia lakukan.”
Joao menatap perempuan itu sejenak dengan sepasang bola mata membelalak. Lalu saat efek kata-kata keji perempuan itu melandanya, ruangan itu berubah gelap di matanya, dan dengan penuh amarah dia melayangkan tinjunya. Perempuan itu tersungkur ke atas lantai, terkapar seraya merintih-rintih. Namun, saat dia melihat sepasang tangan Joao mengincar lehernya, dengan terhuyung-huyung dia memaksa bangkit dan berlari sempoyongan menuruni tangga, menjerit-jerit meminta tolong. Joao menurunkan lengannya dengan lunglai, menggaruk-garuk janggutnya, dan masuk ke dalam kamar—menanti polisi tiba.
Para polisi dan kuli tinta memercayai sepenuhnya kata-kata si perempuan Italia. Salah satu koran bahkan memuat fotonya—diambil di Milan puluhan tahun lampau saat dia masih belia. Joao diseret ke penjara. Sementara, barang-barang miliknya—ranjang, kursi, lemari—disita untuk membayar tunggakan uang sewa. ***
.
.
Jorge Amado (1912-2001) adalah penulis novel dan cerita pendek Brasil. Cerita di atas diindonesiakan oleh Anton Kurnia dari versi Inggris L.C. Kaplan.
.
Keringat. Keringat. Keringat. Keringat. Keringat. Keringat. Keringat.
nurahboram
Jadi, maknany ap?