S Prasetyo Utomo

Tarian Membakar Diri

0
(0)

Cerpen S Prasetyo Utomo (Suara Merdeka, 11 Mei 2014)

Tarian Membakar Diri ilustrasi Farid

DALAM hati Ratu bertanya: mengapa mesti bimbang menarikan Sinta membakar diri di Teater Fujian? Telah berhari-hari, sebelum berangkat ke Fuzhou, Ratu melatih kelenturan tubuh di sanggarnya untuk bisa menarikan Sinta: antara keputusasaan dan harapan, antara pasrah dan menggugat Rama. Berpakaian serbaputih, gerakan tubuh gadis itu menyuarakan kepedihan hati perempuan suci yang mencebur dalam kobaran api. Ratu menepis rasa terasing, menari di panggung Teater Fujian, diiringi gamelan, membawakan tarian Sinta yang mesti membakar diri di hadapan penonton sebuah negeri yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Ia memerankan tarian seorang putri yang tersia-siakan, dengan gerak tubuh yang menyimpan kemarahan terpendam. 

Kepercayaan diri Ratu dan pertautan rasa yang melebur dalam diri Sinta, tokoh yang diperankannya dalam panggung, menampakkan gerakan-gerakan tari yang mengagungkan kecintaan dan gugatan pada Rama. Lama Ratu berlatih di sanggar tari Astini, guru tarinya, dengan setia, mendalami tiap gerak tubuh, agar sempurna tanpa cela. Pergelaran tari ini ditonton para pejabat Provinsi Fujian dan orang-orang Fuzhou, yang rela membayar dan memenuhi kursi di gedung pertunjukan.

Ratu sangat sadar, di antara kursi penonton itu, mungkin deretan terdepan, pasti ada Zhan Shichai. Lelaki muda berkacamata itu bekerja di kantor Urusan Luar Negeri Pemerintah Provinsi Fujian, yang bertugas menerima kedatangan rombongan tari Ratu. Dia pemuja Dewi Kwan Im yang taat. Pembawaannya selalu santun di hadapan Ratu. Selalu menawarkan diri pada Ratu untuk menjemput dari The Westin Fuzhou Minjiang, hotel tempat menginap, menemaninya jalan-jalan di kota Fuzhou yang bersuhu terik menghanguskan kulit. Siang sebelum pertunjukan tari, Zhan Shichai mengajaknya makan di Antai House Restaurant. Laki-laki itu beberapa kali hadir ke Tanah Air, dan sempat bertemu Ratu, untuk kunjungan kebudayaan dan seni. Meski tak dapat menari, Zhan Shichai sangat menyukai tarian klasik, yang dikatakannya seringkali menampakkan wajah welas asih Dewi Kwan Im.

‘’Saya belum puas berjalan-jalan ke negerimu,’’ kata Zhan Shichai saat menjamu makan siang. Lelaki itu gemar masakan Fujian. Dalam hati Ratu ingin menikmati masakan Jepang atau aneka makanan Asia. Tapi ia tak ingin mengecewakan Zhan Shichai. ‘’Beruntung kami bisa mengundang kalian untuk memeragakan tari klasik di Teater Fujian. Tentu kau akan menari dengan sangat indah. Waktu kutonton kau menarikan Sinta membakar diri di negerimu, di mataku kau menjelma Dewi Kwan Im. Wajahmu memancarkan lingkaran cahaya yang lembut.’’

‘’Kau berlebihan.’’

‘’Kau hadir untuk menunjukkan wajah Dewi Kwan Im padaku, yang kebanyakan orang di sini tak mau menjadi pengikutnya. Aku sungguh beruntung bisa menjamu kedatanganmu di sini,’’ balas Zhan Shichai. Ia terkesan berhati-hati bicara, tak ingin melukai perasaan tamunya. ‘’Aku senang, kau mau memahami omongan-omonganku. Bagi banyak teman di sini, aku dianggap membual.’’

Baca juga  Cirakalasupta

‘’Tak sepenuhnya aku bisa memahamimu.’’

‘’Setidaknya kau mau mendengar bualanku, itu sudah cukup. Aku menyukai tari klasik negerimu, yang lembut, tenang, memancar dari hati, dengan suara gamelan yang menenggelamkanku pada ketenangan,’’ kata Zhan Shichai. ‘’Dua kali aku berkunjung ke negerimu, selalu menemukan ketenangan, ketakjuban pada candi-candi, tarian, dan gamelan yang mengalir dari dalam jiwa.’’

Ada pandangan yang kosong dalam bintik hitam mata Zhan Shichai. Wajahnya menampakkan pergulatan batin, seperti mencekam, mendesak perasaannya selama bertahun-tahun. Laki-laki pemuja Dewi Kwan Im itu bergolak dalam pandangannya, dan bila diperhatikan, kegelisahan itu tampak dalam garis bibir tiap kali bicara.

‘’Di tempat kerjaku sekarang, aku tak merasa bahagia. Ditawarkan padaku kedudukan sebagai ketua partai,’’ kata Zhan Shichai berat. ‘’Aku sangat ingin mencapai kedudukan itu. Tapi yang memberatkan, aku mesti meninggalkan agama. Aku tak diperkenankan memuja Dewi Kwan Im.’’

‘’Lalu, kau memilih untuk meninggalkan agamamu?’’ desak Ratu.

‘’Aku bimbang,’’ tukas Zhan Shichai.

***

DI Kuil Xichan, yang mengingatkan Ratu pada Klenteng Sam Poo Kong di kotanya, Zhan Shichai memandangi patung dewa-dewa. Kuil ini senyap pengunjung, dan yang menakjubkan, Zhan Shichai seperti baru melihatnya sekali ini. Sepasang mata Zhan Shichai terlihat berbinar-binar. Laki-laki yang bertugas menjemput rombongan duta tari Ratu, sejak dari hari pertama mendarat di Fuzhou Changle International Airport, melampiaskan rasa rindu dengan gadis penari itu. Tiap kali Zhan Shichai mengajaknya ke kuil dan pagoda hanya berdua. Kali ini, sepasang mata Zhan Shichai berbinar-binar, dan bibirnya yang kemerahan, seperti ingin mengucapkan sesuatu. Ratu seperti biasa menerima Zhan Shichai dengan keakraban.

‘’Dalam tarianmu yang menakjubkan, mengapa Sinta mesti membakar diri?’’

‘’Sinta mesti mengakhiri kenestapaan sebagai perempuan yang disangsikan kesuciannya setelah diculik Rahwana. Sinta membakar diri dalam api. Ini direstui Rama yang sangat dihormati rakyatnya. Dalam tarian itu Dewa Api, Batara Brahma, mengangkat Sinta dengan tangan yang kokoh, menyelamatkannya dari kobaran api. Sinta disandingkan kembali di sisi Rama yang menjaga keagungannya. Di sinilah tempat yang mulia bagi Sinta. Ia kembali ke sisi suami.’’

Lama sekali menatap Ratu, Zhan Shichai seperti menatap kehidupan yang akan dijalaninya di masa mendatang. Sepasang mata lelaki itu tajam tanpa berkedip di balik kacamatanya.

‘’Tarianmu itu sungguh mengusik jiwaku,’’ kata Zhan Shichai. ‘’Tak ada salahnya bila suatu saat nanti aku mengikuti langkah Sinta, menemui Dewi Kwan Im, dengan membakar diri. Dengan keadaanku sekarang ini, tentu aku tak mungkin moksa seperti Dewi Kwan Im pada usia tujuh belas. Aku mesti mencari cara. Tarian Sinta itu memberiku cara terbaik untuk membakar diri.’’

‘’Kamu bercanda?’’

Tawa Zhan Shichai terdengar dingin, tawa dari masa silam yang jauh. Ratu tak bisa memberi makna tatapan Zhan Shichai yang tajam, senyum yang membukakan keyakinan akan kehidupan baru yang dinanti bakal terjadi. Ratu mengenal Zhan Shichai sudah tiga tahun, dalam dua kali kunjungannya ke tanah air. Tapi tidak seperti ini sikapnya. Ratu tak pernah merasa cemas serupa ini pada lelaki itu.

Baca juga  Getar Rel Kereta Api

‘’Aku tak ingin terpasung. Aku perlu pembebasan,’’ kata Zhan Shichai. Ia serupa daun-daun menguning yangbakal gugur, ditiup angin. Terdiam. Lanjutnya pelan, ‘’Kamu akan segera nikah. Tak lama lagi.’’

Ratu memandangi Zhan Shichai, yang begitu serius. Bibirnya terkatup rapat, ia teringat Aji, lelaki di tanah air, yang telah bertahun-tahun menawan perhatiannya. Tapi Aji tak pernah datang melamarnya. ‘’Nikah dengan siapa?’’

‘’Kau akan nikah dengan lelaki yang tak pernah kauduga sebelumnya. Ia akan kau jumpai tak lama lagi, dalam perjalanan pulang ke negerimu.’’

‘’Kau membuatku berdebar-debar menanti pertemuan dengan lelaki itu.’’

‘’Setelah kau nikah, kita akan bersama lagi. Kau akan segera hamil. Aku akan reinkarnasi sebagai putramu.’’

Ratu tertawa lepas. Ia tak pernah berpikir tentang reinkarnasi. Tapi Zhan Shichai tampak serius. Siang yang lebih panjang di Fuzhou, masih menyisakan panas matahari yang lebih menyengat, lebih gerah, dan membakar kulit Ratu. Zhan Shichai seperti tidak ingin berpisah dengan Ratu. Lelaki itu mesti mengantar Ratu kembali ke hotel. Sebelum mereka berpisah, di depan pintu kamar hotel, lelaki itu membentangkan tangan, mengisyaratkan keinginannya memeluk Ratu.

Ratu merapatkan tubuhnya ke pelukan Zhan Shichai. Ia tak menduga bila lelaki itu terisak, tanpa suara. Ia merasakan tetesan bening dari pipi dan dagu lelaki pemuja Dewi Kwan Im ini.

***

MENINGGALKAN The Westin Fuzhou Minjiang, Ratu belum memperoleh firasat buruk apa pun. Tapi setibanya di bandara Fuzhou Changle International Airport, sebelum naik pesawat pulang ke Tanah Air, dalam ruang tunggu, semua teman serombongan memperbincangkan Ratu. Teman-teman serombongan sesekali mengerling ke arah Ratu, seperti ingin bertanya: mengapa peristiwa itu terjadi? Ratu, merasa disindir, dan tak tahu apa yang terjadi. Tapi ia mendengar nama Zhan Shichai disebut-sebut. Seseorang bahkan membisiki telinganya: Zhan Shichai mati membakar diri semalam di apartemennya.

Ratu menyembunyikan desir dada. Benarkah lelaki pemuja Dewi Kwan Im itu memilih mati membakar diri dalam api daripada menjadi ketua partai dan meninggalkan agama? Akankah Zhan Shichai lahir kembali sebagai anaknya? Ratu ingin menertawakan Zhan Shichai, yang selalu berbinar sepasang matanya saat berbincang tentang Dewi Kwan Im. Lelaki itu menampakkan perangai duka usai menonton pergelaran tari Sinta, dan memiliki hasrat membakar diri untuk mengakhiri penderitaannya.

Kalau memang Zhan Shichai menjelma bayi yang akan kulahirkan, tentu aku akan segera menikah, pikir Ratu. Lalu, siapa jodohku?

Saat Ratu melangkah lambat mencapai pintu pesawat, pilot turut menyambutnya. Tubuhnya tegap. Gagah. Tampan. Ketampanan lelaki pribumi. Sangat sopan, pilot itu menyapa, ‘’Ini Ratu? Duta tari yang dikagumi semua orang?’’

Baca juga  Tarian Sufi

Langkah Ratu terhenti. Memandangi pilot itu. Sesaat. Mengangguk kecil. Tersenyum tipis.

‘’Lihat, di koran kita hari ini, yang menurunkan sosok Ratu satu halaman penuh. Foto-fotomu yang menawan menyertai laporan wartawan itu.’’

Ratu memungut koran, dan terkesiap memandang dirinya menjadi bagian berita satu halaman penuh, sebagai profil. Tapi selama duduk di kursi pesawat, dalam penerbangan, ia membayangkan Zhan Shichai, pemuja Dewi Kwan Im, yang selalu memandangnya dengan penghormatan, dan tak pernah meminta sesuatu, meski hanya melalui pandangan mata.

Turun dari pesawat di bandara ibu kota Tanah Air, hari hampir gelap. Ratu kembali disambut pilot di pintu. Lelaki tegap itu mengatupkan tangan di dada, dan menyapa, ‘’Semoga perjalanan Anda menyenangkan. Boleh saya mampir ke rumahmu suatu waktu?’’

Terbelalak, Ratu menampakkan wajah tak berkenan. Tapi pilot itu terus menggoda, ‘’Bukankah di koran itu tertera alamatmu?’’

Kembali lagi Ratu teringat Zhan Shichai, yang pernah berkata, perkawinannya sudah dekat, dengan lelaki yang tak ia kenal sebelumnya. Tapi Ratu melupakan pilot itu. Ia ingin segera menuruni tangga pesawat, merasakan kembali matahari senja di ibu kota, tanpa desau angin.

Memisahkan diri dari rombongan, Ratu mesti memasuki bandara, ganti pesawat, kembali melakukan perjalanan ke kota tempat tinggalnya: lima puluh menit penerbangan untuk mencapai bandara kecil itu, dan dua puluh menit naik taksi dari bandara mencapai rumah.

Di bandara, sambil menunggu penerbangan ke kotanya, wajah Zhan Shichai yang membebaskan kebimbangan hidup dengan membakar diri membayang dalam benak Ratu. Kembali berkelebat wajah pilot pesawat yang baru saja ditumpanginya dari Fuzhou.

Benarkah perkawinanku sudah dekat? pikir Ratu. Lalu, siapakah lelaki yang bakal mendampingiku sebagai suami? Kalau aku tidak menikah dengan Aji, dengan siapa laki-laki itu bakal berumah tangga? Lalu, siapa pilot itu? Diakah laki-laki yang ditakdirkan menjadi suami, dan ayah anak-anakku?

Beberapa kali Ratu menggeleng sendiri. Tak ingin menikah dengan pilot pesawat. Ia teringat akan kehidupan guru tarinya, Astini, yang ditinggal mati suaminya, seorang pilot. Pesawat yang dikemudikan suami Astini menabrak gunung, pecah berserpihan, tercecer-cecer di lereng gunung dan jurang. Tak seorang pun ditemukan selamat. Ketika itu Astini, tanpa sepengetahuannya, masih hamil muda.

Di dalam pesawat yang ditumpangi Ratu kembali pulang ke kota kelahirannya, terlintas wajah Zhan Shichai begitu jelas di pelupuk mata, ketika berkata, ‘’Kau akan menikah dengan lelaki yang tak pernah kauduga-duga sebelumnya.’’ (62)

 

 

Pandana Merdeka, April 2013

S Prasetyo Utomo, cerpenis, tinggal di Semarang

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!