Cerpen Y Agusta Akhir (Republika, 25 Mei 2014)
MATA cekung Padma mengerjap menatap senja yang entah mengapa akhir-akhir ini terasa muram. Kerinduannya akan masa lalu seolah lindap pada semburat merah kekuningan itu. Hanya desir angin yang tak memberinya isyarat apa pun yang ia dengar. Atau, gemerisik daun-daun jambu yang tumbuh di pelataran yang sudah sangat akrab di telinganya.
Dulu, saat seperti ini, dari kursi beranda ia bisa saksikan bocah-bocah itu pulang. Dan, satu per satu mereka masuk ke dalam rumah dengan wajah masai usai bermain. Bocah-bocah itu kini telah dewasa, tapi tak bersamanya lagi sejak delapan tahun lalu. Pekerjaan telah membawa mereka meninggalkan rumah dan menyebar ke tempat yang jauh. Bahkan, ada yang di luar pulau. Dan, sejak itu pula, belum pernah mereka berkumpul bersama di rumah itu. Bahkan, saat Lebaran sekalipun.
Kebanggaan yang sempat memenuhi rongga hati perempuan tua itu karena telah berhasil mengantarkan mereka menjadi orang-orang sukses (setidaknya mereka bisa memiliki rumah sendiri dan tidak lagi menggantungkan hidup padanya), kini menjelma menjadi kesunyian yang setiap saat melecuti hatinya. Terlebih, saat senja begini.
“Uh, sudah sebulan lebih. Mengapa mereka belum datang juga,” gerutunya. Ia mulai putus asa. Surat-surat yang ia tulis dengan tangannya, lalu meminta tolong pada tetangga sebelah untuk diposkan, rupanya tak mendapatkan reaksi apa-apa dari mereka. “Huh! Apa susahnya meninggalkan pekerjaan barang sebentar. Aku hanya ingin sekali saja melihat kalian semua berkumpul di rumah ini. Sehari, dua hari, tak mengapa!” katanya, entah kepada siapa.
Ketika senja perlahan tumbang oleh malam, ia beranjak meninggalkan beranda. Lincak itu berkeriut sebentar ketika ia mengangkat tubuhnya dari sana; tubuh renta itu tak mampu lagi melawan udara yang berangsur menjadi dingin.
Gemetar ia menutup pintu. Segera ia rebahkan tubuhnya ke ambin. Ambin yang dulu pernah menjadi rebutan keenam cucunya. Rebutan karena ingin tidur bersamanya, ingin dikeloninya, ingin didongengkannya, ingin ditembangkannya….
Wajah cucu-cucunya saat masih kanak-kanak kembali membayang. Kali ini, tampak begitu nyata. Telinganya menangkap suara mereka bermain di pelataran. Menembangkan lagu-lagu dolanan yang dulu pernah ia ajarkan. Maka, dipanggillah satu-satu nama cucu-cucunya. Cucu-cucu yang ia besarkan sendirian sejak anak semata wayang dan menantunya meninggal karena sebuah kecelakaan. Sedangkan, suami Padma sudah meninggal setahun sebelum terjadi kecelakaan itu.
Tak ada jawaban. Hanya suara cicak yang entah ada di mana, menyadarkan lamunan itu.
Ia tergeragap. Bangkit dan duduk di tepi ambin. Dan, mulailah ia melantunkan tembang. Ini yang pertama sejak ia ditinggal sendirian cucu-cucunya.
“Aja turu sore kaki, ana dewa nganglang jagad….”
Suaranya terdengar bergetar dan menggema memenuhi segenap ruangan, mempertegas kesenyapan itu. Tak tahu lagi, kepada siapa tembang itu ia lantunkan.
***
Pada pagi yang sedikit berkabut dan udara masih dingin, Lastri, cucunya yang ragil, datang. Padma sedikit lega. Barang kali itu harapan; semua cucunya akan berkumpul.
“Sendirian? Mana kakak-kakak kamu?” tanya Padma menyongsong kedatangan Lastri dengan mata berbinar dan senyum mengembang.
“Mungkin besok atau lusa,” jawab Lastri cepat. Sebenarnya, ia tidak tahu pasti kapan kakak-kakaknya akan datang. Nyatanya, sudah lewat tiga hari, kakak-kakaknya tak juga datang. Ya, Lastri memang hanya ingin menghibur neneknya itu.
“Mengapa belum datang juga?” tanya Padma seperti ditujukan pada dirinya sendiri.
Lastri tidak menjawab. Ia tahu, kakak-kakaknya tak ada yang bisa datang memenuhi panggilan Padma. Apalagi, dalam minggu-minggu ini. Ia sudah menghubungi mereka satu per satu. Hampir semua beralasan sibuk dan tak bisa meninggalkan pekerjaan. Malah, ada yang menyuruhnya—dengan setengah memaksa—agar ia saja yang pulang memenuhi panggilan nenek dengan dalih Lastrilah cucu yang paling kecil dan disayang. Padahal, kalau tidak disuruh atau dipaksa pun, Lastri akan tetap pulang. Ia tak tega kalau terus-terusan berdalih tak bisa pulang karena harus mengurus rumah tangga lantaran suaminya terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Memang, beberapa kali nenek Padma menyuruh cucu- cucunya pulang.
Padma menghela napas panjang. Saat itu, Lastri melihat wajah neneknya yang tiba-tiba tampak pucat dan semakin tua seolah baru sadar kalau usia neneknya memang sudah uzur, hampir 80 tahun.
“Pekerjaan,” katanya kemudian setengah menggumam. “Pasti masalah pekerjaan!”
Lastri tak berucap sepatah kata pun. Ia hanya menundukkan kepala seperti yang biasa dilakukannya saat kecil dulu kalau nenek sedang marah. Tapi, sekarang Padma tidak sedang marah. Atau, ia tak mampu lagi untuk marah?
Pagi, di hari ke tujuh kedatangan Lastri, Padma tiba-tiba merasakan tubuhnya begitu lemah. Ia tak kuasa bangkit dari tempatnya berbaring. Lastri merasa heran dengan hal yang tak biasa itu. “Biasanya nenek bangun lebih awal,” gumamnya.
Ketika ia masuk ke bilik Padma, didapatinya perempuan tua yang membesarkan dirinya dan saudara-saudaranya itu terkulai lemas dengan wajah yang kian pucat. Dan, sejak itu ia tahu kalau neneknya jatuh sakit. Maka, tak ada pilihan lain bagi Lastri untuk merawatnya. Karena itulah, ia memutuskan untuk tetap tinggal. Ia menelepon suaminya, mengabarkan hal itu. Suaminya bisa mengerti.
Kian hari kesehatan Padma kian memburuk. Sekarang, ia hanya bisa berbaring saja di ambin. Namun, mulutnya masih bisa dengan jelas berkata-kata. Meski sering ngelantur. Lastri mencoba menawarkan pada nenek agar bisa bicara dengan kakak- kakaknya melalui ponsel. Tapi, nenek menolak dan kian meracau tak karuan.
“Suruh mereka segera pulang. Mereka memang anak-anak nakal. Hari sudah malam….”
Hati Lastri bertambah sedih menyaksikan keadaan neneknya itu. Semakin sadarlah ia kalau nenek yang dulu dengan tegar membesarkan dirinya dan kakak-kakaknya sekarang sudah sangat tua, tidak berdaya, dan mulai pikun. Air matanya menetes. Dengan tersedu, ia menjawab:
“Iya, Nek. Sebentar lagi mereka pulang.”
Peristiwa-peristiwa yang telah lewat bertahun-tahun lalu mulai berdatangan menghampiri pikiran perempuan renta dan tak berdaya itu seakan semuanya baru saja terjadi. Cucu-cucunya yang ketika itu masih kecil menangis di depan jasad ayah dan ibu mereka.
“Oalah ngger, kok ngenes tenan nasibmu….” Begitu kalimat yang sering Padma ucapkan dulu, meratapi nasib cucu-cucunya.
“Nek, biar Lastri bawa Nenek ke rumah sakit, ya?” kata Lastri.
“Tidak. Aku tidak mau dibawa ke sana.” Sahut Padma.
Lastri hendak menenangkannya, tapi perempuan tua itu tampaknya tak mau disela. Maka, ia memilih diam.
“Aku ingin kakak-kakak kamu segera pulang. Mengapa lama sekali. Ah, dasar anak-anak bandel. Tidak pernah dididik bagaimana patuh sama orang tua…!”
Lastri tetap diam. Tapi, ia tak bisa menahan kesedihannya. Ia pun akhirnya tersedu.
***
Tepat pada hari kesepuluh kedatangan Lastri, Padma meninggal. Tangis Lastri segera pecah dan beberapa saat saja para tetangga sudah berkerumun di rumah itu. Dan, setelah hatinya sedikit tenang, dikabarilah kakak-kakaknya melalui pesan singkat: “Mas, Nenek sudah mangkat.” Praktis, kabar itu membuat mereka satu persatu meneleponnya dan menyatakan kalau tidak percaya. Malah, ada yang menuduh Lastri berbohong dan memarahinya agar jangan main-main. Tapi, suara Lastri yang terbata-bata karena isak tangisnya membuat mereka semua lantas percaya.
Satu per satu, mereka pun akhirnya pulang.
Tubuh yang dulu gigih membesarkan mereka semua kini terbujur kaku tanpa daya.
Di hadapan jasad itu, mereka berkumpul dengan wajah kusut dan letih penuh dengan penyesalan karena tak bisa menemani saat terakhir Padma. Bahkan, mereka tak sempat meminta maaf. Kini, mereka harus mengucapkan kata maaf pada tubuh yang sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi itu.
Di pemakaman, kata maaf itu mereka ulangi lagi. Kali ini, seperti berharap akan ada suara nenek Padma menerima kata maaf mereka dari dalam kubur. Tak satu pun dari mereka yang tak menitikkan air mata. Duka dan rasa bersalah rupanya tak turut terkuburkan.
Tapi, tentu saja mereka dan semua petakziah yang turut serta ke makam, tak tahu Nenek Padma berdiri di bawah sebatang pohon kamboja yang tumbuh di dekat sana, memandangi cucu-cucu mereka sembari menyunggingkan senyum. (*)
Keterangan:
Oalah ngger, kok ngenes tenan nasibmu : Nak, kok nasibmu memprihatinkan sekali.
Mangkat : Meninggal
Aja turu sore kaki, ana dewa nganglang jagad… : Jangan tidur terlampau larut, ada dewa bertengger di jagad.
Y Agusta Akhir adalah seorang pengamen jalanan, penikmat sastra, penggemar sambal terasi dan aktif di komunitas sastra alit, Solo. Beberapa karyanya berupa puisi dan cerpen pernah dimuat di harian Joglosemar (Solo), Solopos (Solo), In Out (Jakarta), Mimbar Politik (Jakarta), Suara Merdeka, buletin sastra Pawon (Solo), antologi cerpen Waktu yang Bercerita dan Secabik Jejak (Alit, Solo), antologi cerpen Joglo (TBJT Surakarta), dan lain-lain. Novelnya yang berjudul Requiem Musim Gugur terpilih sebagai salah satu pemenang pada lomba Grasindo Publishers 2013.
Ningsih
Sampe nangis bacanya… kisahnya sama dengan kehidupan saya 🙁
nanang revizal
saya terhanyut, dan merasakan derita seorang nenek.
nasehat buat yang mempunyai orang tua/nenek. Nenek padma memberi kesempatan kepada cucunya untuk meraih surga yang ada padanya.mereka malah memilih dunia. TRAGISS….
Gunawan Giatmadja
Gile, sedih bacanya 🙁