Esai, Hasan Aspahani, Tanjungpinang Pos

Membaca Puisi: Petualangan dan Pertemuan

Membaca Puisi: Petualangan dan Pertemuan - Oleh Hasan Aspahani

Membaca Puisi: Petualangan dan Pertemuan ilustrasi Tanjungpinang Pos

5
(1)

Oleh Hasan Aspahani (Tanjungpinang Pos, 07 Agustus 2021)

MEMBACA puisi berarti memasuki sebuah dunia batin dan kita berpetualang di sana. Membaca puisi adalah menggelar sebuah petualangan jiwa dan pikiran. Apa yang kita harapkan dari sebuah petualangan? Kejutan, keseruan, dan akhirnya (mungkin) pengalaman berharga yang memperkaya batin kita.

Puisi yang kita baca adalah juga sebuah hasil petualangan batin dan intelektual yang dilakukan oleh penyairnya. Tapi ketika kita memasukinya, menjadikannya wilayah petualangan, maka puisi itu sepenuhnya kita kuasai. Kita adalah petualang bebas. Kita tak harus menempuh jalur yang sama dan menemukan hal-hal yang sama dengan petualangan si penyair sang empunya puisi.

Puisi yang baik yang menawarkan keutuhan dan kompleksitas, bukanlah taman bermain tematik, tapi lebih sebagai sebuah gunung dengan lereng, lembah dan tebing, dengan beberapa puncak pemaknaan, dengan berbagai kemungkinan jalur pendakian. Puisi yang baik juga adalah selembar peta dengan kode-kode rahasia yang membuat kita asyik menelurusi lorong-lorong sebuah kota untuk menemukan sebuah alamat.

Apakah dan siapakah yang kita temui dalam petulangan batin itu, di puncak itu atau di alamat yang kita temukan itu? Jangan terkejut apabila kita di sana menemukan diri kita sendiri. Atau katakanlah itu sesuatu yang menyadarkan kita, yang membuat kita lebih mengenal diri kita sendiri.

Atau setidaknya kita bertemu seseorang lain. Seorang kawan seperjalanan, yang nanti berpisah di satu simpang. Kita tidak bersama dia lagi, tapi kita tahu ada seseorang yang pernah memberi sesuatu pada kita. Dan sesekali kita menemukan jejak, tanda-tanda kehadirannya. Seseorang itu barangkali penyairnya, yang kerap kali lebih suka menyamar sebagai sebagai berbagai sosok lain, atau sosok lain yang kebetulan melintas di jalan yang sama.

Baca juga  Novel tentang Penderitaan yang Mengandung Hiburan

Pengalaman dengan petualangan dan pertemuan itulah yang terjadi pada Budi Darma ketika membaca sajak-sajak Goenawan Mohamad dalam buku “Pariksit”. Petualangan itu memberinya keasyikan dan kesempatan merenung dan bicara pada dirinya sendiri, menggelar sebuah “solilokui”.

Seperti apakah sosok Goenawan Mohamad yang ditemukan Budi Darma dalam sajak-sajaknya? “Sebagai penyair dia punya kebulatan yang bukan seorang yang hanya bisa menulis puisi,” katanya. Goenawan menunjukkan kemampuannya membuktikan kata-kata Eliot bahwa puisi adalah bentuk aktivitas intelektual yang paling tertata.

Sajak Goenawan, khususnya “Bintang Kemukus”, bagi Budi Darma, mengingatkan bahwa seni puisi tak lagi cukup hanya berupa wujud dari getaran sukma, seperti diyakini dan kerap dikatakan para penyair Pujangga Baru. Intensitas puisi juga menuntut pengerahan daya intelektualitas.

“Penyair yang baik mempersatukan dalam dirinya bakat alam dan intelektualitas. Puisi yang merupakan kegiatan intelektuil ini sebetulnya merupakan pil pahit yang harus ditelan oleh semua yang berusaha untuk menjadi penyair,” kata Budi Darma. Soal bakat alam dan intelektualitas itu dikutip Budi Darma dari Subagio Sastrowardoyo.

Jadi dalam diri penyair ada dua kubu yang saling menyerang. Pihak intelektualisme menyalakan bara, di lain pihak ada perasaan, emosi, hati, menumpulkan pikiran, yang mematikan nyala bara itu. “Hanya orang yang selamat dari perang saudara ini sajalah yang dapat menjadi penyair yang baik,” kata Budi Darma.

Budi Darma mengutip pendapat Abdul Hadi WM yang ia setujui, bahwa seorang penyair yang baik adalah seorang esais yang baik, sebab—selain harus cermat menuruti gelombang sukma—ia harus dengan cemerlang menyalurkan gagasan-gagasan. Goenawan Mohamad dengan puisi-puisinya menunjukkan kelengkapan itu.

Yang juga ditemukan oleh Budi Darma dalam sajak-sajak Goenawan (Ia menyebut “Di Beranda Itu Angin Tak Kedengaran Lagi”) adalah kesederhanaan. Itu ia sebut terkait dengan intelektualisme. “Itu menunjukkan kebeningan dan kebersihan dalam bepikir. Memungkinkan mengorganisasi dan memformulasikan pikiran dengan baik,” katanya.

Baca juga  Perempuan Penggenggam Foto

Tap, Budi Darma lekas menambahkan, bahwa tidak semua puisi sederhana adalah puisi yang baik dan mencerminkan kejernihan pikiran. “Apabila tanpa imajinasi justru yang tampak adalah pikiran yang kurang matang. Imajinasi yang gamblang, jelas, meninggalkan bekas kontemplasi yang jelas,” katanya.

Akhirnya, di ujung petualangannya, puncak yang dicapai oleh Budi Darma, alamat kejutan yang ia temukan adalah: sublimitas dan kontemplativitas, dua hal yang merupakan jalan bagi manusia untuk mengerti dirinya sendiri sebgai manusia.

Beberapa sajak Goenawan dalam “Pariksit” bagi Budi Darma adalah sajak yang baik yang menawarkan dua hal itu, yang berhasil menyentuh alam bawah sadarnya sebagai manusia. “Puisi yang baik secara totalitas menyentuh totalitas bawah sadar manusia dengan tidak memberi kesempatan adanya intervensi gangguan,” kata Budi Darma.

Apakah gangguan itu? Nanti kita bicarakan lagi. ***

.

.

HASAN ASPAHANI, penyair purnawaktu. Pernah lama di Batam. Sekarang di Jakarta. Blognya: matapuisi.com

.

Membaca Puisi: Petualangan dan Pertemuan. Membaca Puisi: Petualangan dan Pertemuan.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!