Cerpen, Sapta Arif Nur Wahyudin, Suara Merdeka

Percakapan di Tengah Hutan

Percakapan di Tengah Hutan - Cerpen Sapta Arif Nur Wahyudin

Percakapan di Tengah Hutan ilustrasi Nugroho DS/Suara Merdeka

4.4
(7)

Cerpen Sapta Arif Nur Wahyudin (Suara Merdeka, 08 Agustus 2021)

SEPASANG manusia—lelaki dan perempuan—berjalan di tengah malam. Mereka melewati jalan setapak yang sepi. Di kanan kiri jalan setapak itu adalah hutan yang sangat gelap. Tak ada penerangan kecuali lampu sentir yang dibawa oleh Timan—seorang tentara KNIL. Ia masih mengenakan baju dinas berwarna krem pucat dan bersepatu lars.

“Bersyukurlah, kau diantar oleh seorang tentara. Jika tidak, aku tak yakin bakal terdengar lagi kabarmu besok pagi,” ujar Timan. Lelaki ini memang garang di medan tempur, namun sayangnya begitu takut menghadapi hal-hal berbau magis atau bahkan soal hantu.

“Ya, Mas, semoga kita sama-sama beruntung, apakah kau pernah mendengar kisah tentang Tana Toraja, Mas?” balas perempuan berambut panjang itu dengan datar. Ia berjalan di sebelah kiri Timan.

Timan menengok ke wajah perempuan itu. Kegelapan malam telah mengaburkan penglihatannya. Tak begitu jelas wajah yang seharusnya bisa ia nikmati.

“Hmm…. Sedikit,” dengan ragu sambil menggelengkan kepala ringan, Timan berkata.

“Aku pernah mendengar, katanya warga desa di belakang kita masih mengayau Mas.”

Timan menelan ludah, “Mengayau?”

“Iya Mas, kau tahu kan? Berburu kepala manusia untuk dijadikan tumbal ritual upacara. Dan biasanya yang diburu itu kepala musuh.”

“Ya, aku pun pernah mendengarnya, namun kau tak perlu khawatir, aku jamin keselamatanmu,” ucap Timan sambil merapatkan tubuhnya ke perempuan itu.

“Apakah kau tak membawa pistol, Mas?”

“Pistol hanya untuk kapten, prajurit sepertiku dibekali senjata yang lebih besar, senapan.”

“Lho, kok bisa?”

“Katanya, pistol hanya digunakan untuk menembak prajurit yang tidak patuh. Ya karena kapten bukanlah orang garda terdepan dalam medan perang.”

“Dan senapanmu?”

“Kebetulan tidak kubawa, tapi tak perlu khawatir, aku membawa belati yang sangat tajam. Itu jauh dari kata cukup untuk menghabisi para pemburu itu,” ucap Timan dengan suara sedikit bergetar.

Dingin semakin mencengkeram sepasang manusia itu. Jalanan serasa sangat panjang. Mereka berjalan pelan menembus sepasang hutan yang gelap. Sebenarnya Timan ingin segera keluar dari bentangan jalan setapak. Setiap melihat kerdip cahaya di depan, harapannya muncul, pikirnya mereka berdua hampir sampai di desa. Namun setiap kerdip cahaya itu lahir seketika hilang, lahir lagi langsung hilang lagi dengan cepat. Sial, ternyata kunang-kunang, umpatnya dalam hati. Mati-matian Timan melindungi api sentirnya. Angin malam seringkali tiba-tiba berembus kencang, namun sebenarnya ia juga senang lantaran bisa merapatkan tubuhnya ke perempuan desa di sampingnya itu. Meski begitu, sebenarnya ada perasaan cemas yang besar di dada Timan.

Baca juga  Raidah Kawin!

Ia ingat betul cerita kapten, ketika mendapati beberapa prajurit KNIL yang mati tanpa kepala lantaran diburu oleh para pemburu bengis itu. Kejadiannya pun seringkali terjadi ketika mereka berjaga di perbatasan desa. Di kesunyian malam, pemburu bengis itu berjalan tanpa suara seolah-olah telah manyatu dengan alam. Kemudian, seketika kepala prajurit itu tertebas satu per satu. Tak peduli berapa jumlah prajurit yang berjaga, seperti akan selalu ada jumlah yang bisa jadi lebih banyak di kubu pemburu kepala itu.

“Bagaimana cara kita mengenali pemburu itu pada siang hari?”

“Aku kurang paham begitu detail Mas, yang jelas, pemburu yang mahir akan diberi anting gigi macan kumbang di kedua telinganya oleh kepala adat. Apakah di Jawa tidak ada pemburu kepala, Mas?”

“Tidak, tidak ada. Di Jawa kami menggunakan santet, ilmu tempur jarak jauh paling ampuh.”

“Santet?”

“Iya, dukun-dukun sakti di Jawa bisa mengirim penyakit ke tubuh musuhnya. Bahkan jauh hari sebelum berperang, musuh bisa mati seketika. Berkat dukun-dukun ini, kami juga seringkali menang besar dalam perang.”

“Dukun juga ikut perang?”

“Ehm. Lebih tepatnya, mereka membantu kami mengirim senjata dengan ilmunya. Maka meskipun bala tertara kami jumlahnya kalah dari pasukan lawan, namun persediaan senjata dan peluru kami tidak pernah habis.” Timan bercerita dengan perasaan bangga. Bahkan segunung rasa cemasnya hampir tenggelam oleh suara lantang dari mulutnya.

“Hebat sekali! Bahkan tidak pernah terpikir oleh masyarakat di sini. Namun, katanya, aku pernah mendengar, bukan para pemburu yang ditakuti oleh para KNIL. Apakah kau pernah mendengar, Mas?”

Suara perempuan itu perlahan merendah. Angin kencang tiba-tiba datang, meski hanya sebentar, namun memberikan suara gemerisik di antara reranting hutan. Hal itu mengagetkan Timan. Beberapa kali Timan menyapu pandang ke kedua sisi hutan. Ia merasa ada yang datang, khawatir jika ada pemburu kepala sedang mengintai mereka.

“Ada apa, Mas?”

“Tak apa, hanya hewan melata sialan ternyata. Sebentar, memangnya apa yang lebih mengerikan dari para pemburu kepala?”

“Kamu belum pernah mendengarnya, Mas?”

“Aku baru seminggu dipindahtugaskan.” Timan memandang wajah perempuan di samping kirinya. Masih samar, kemudian lelaki itu mengucek matanya dengan tangan kanan. Yang bisa dilihatnya adalah kalung manik-manik yang melingkar di leher jenjang perempuan itu.

Baca juga  Suara-Suara yang Mestinya Tak Kaudengar

“Di setiap malam, setelah perang atau pemberontakan berhasil diatasi, Kapten prajurit KNIL di desa selalu merasa cemas. Awalnya aku tak begitu paham apa yang membuat gelisah majikanku kala itu. Kemudian aku beranikan bertanya pada suatu malam.” Perempuan itu diam sejenak, kemudian berhenti sambil memandang Timan. Lelaki itu pun ikut berhenti dan memandang perempuan itu lekat-lekat. Terlihat bola matanya membulat mencari cahaya, lalu Timan hanya bisa terpaku melihat kecantikannya. Mata yang indah, bibir yang sempurna, batinnya kemudian.

“Di setiap malam, ketika terjaga kapten selalu merasa cemas. Meski berhasil membantai puluhan bahkan ratusan pasukan musuh, hatinya selalu bergetar ngeri. Bukan karena dosa kemanusiaan, yang aku yakin sebenarnya sudah musnah di hati mereka. Namun, ketika malam telah sempurna dan bulan telah tertutup gelap dengan utuh, jauh di tengah hutan, di medan laga pertempuran, timbul suara-suara kesakitan yang begitu ngeri. Suara-suara itu ditambah gesekan-gesekan suara yang kurasa bahkan tidak pernah didengar oleh manusia. Kau tahu, suara apa itu?” suara perempuan itu merendah dan berubah parau di akhir. Sedangkan Timan, mengernyitkan dahi, tiba-tiba tubuhnya sedikit gemetar, bulu romanya berdiri seketika.

“Apa itu?” suara Timan tak terasa ikut parau.

“Jauh di tengah hutan, di tempat mayat-mayat itu mati ditembus peluru senapan, kepala yang barangkali sudah pecah, tangan yang tercecer di mana-mana, tubuh yang koyak, hingga bola mata yang bergelantung di wajah. Mayat-mayat yang menderita itu bangkit perlahan sambil mengeram. Giginya bergemeletuk, ia menyeret kaki yang sudah koyak, atau tubuh yang sudah compang-camping, berjalan bergerombol di tengah kegelapan hutan. Mereka berjalan membentuk pawai dengan suara penderitaan yang mengerikan. Tubuh-tubuh itu berjalan kembali ke desanya, berkumpul di satu titik tempat seorang dukun memanggilnya kembali. Mayat-mayat itu kembali ke rumah dan siap menjalani ritual pemakaman ke langit tujuh.”

“A… apakah itu berbahaya bagi musuh?” Timan jadi terbata-bata.

“Entahlah, meski Kapten tidak pernah mendengar ada mayat yang menuntut balas, namun selalu ada prajuritnya yang hilang bahkan ditemukan mati keesokan harinya. Keadaannya sangat mengenaskan, bahkan Kapten tak bisa mendeskripsikannya.”

Cegluk! Timan menelan ludah. “Hei! Bukankah tak mungkin seorang manusia membangkitkan mayat,” ucapnya kemudian.

“Entahlah Mas, namun bagaimana bisa, mayat-mayat itu hilang keesokan harinya?”

“Binatang buas. Pasti dimakan binatang buas,” jawab Timan mantap.

Baca juga  Pulang dalam Pengasingan Nurani

“Tidak tahu, bisa jadi,” perempuan itu tersenyum menyeringai.

“Hei, sebentar! Mengapa kau tersenyum begitu menyebalkan seperti itu?”

Malam semakin larut. Kegelapan bertambah semakin sempurna. Langit yang gelap meredup, menambah gelapnya malam menjadi semakin tenggelam. Kelam. Di tengah-tengah suara binatang-binatang hutan yang lambat-laun bertambah cepat iramanya, tiba-tiba angin berembus ganjil. Kasak-kusuk, suara gemerisik ranting bergesek di kanan kiri hutan. Ada dengungan asing yang timbul kemudian. Srek srek srek, begitulah bunyi awalnya. Kemudian disusul suara-suara aneh yang timbul banyak. Nyala sentir meredup, bulu roma berdiri seketika. Begidik terasa di sekujur tubuh Timan.

“Hei! Mengapa wajahmu seperti itu?” Timan menarik lengan pundak kanan perempuan berambut panjang itu yang telah menoleh sebelumnya. Kemudian rambutnya terurai oleh angin. Memperlihatkan jenjang lehernya yang samar-samar. Timan kemudian kaget seketika, melihat anting gigi macan kumbang di telinga kanan perempuan itu. Seketika, tangan kanannya meraih paha kiri, tempat belati tajamnya bersarang. Namun tidak ada. Timan menoleh ke kiri. Kemudian kembali menoleh ke depan, seketika belatinya sudah di depan lehernya. Dipegang oleh perempuan itu dan dengan perlahan mengiris jakunnya. Sreeeeetttttt.

***

Perempuan itu menggoyang-goyangkan tubuh Timan.

“Mas? Mas? Bangun Mas!”

Timan duduk dengan sigap. Matanya melotot, wajahnya banjir keringat. Tubuhnya pun basah.

“Mas? Mimpi buruk?”

Timan menata napasnya yang tersengal. Sambil duduk ia melihat sekeliling. Ia telah tidur dengan perempuan desa yang baru malam ini dikenalnya di rumah gubug di tengah kebun. Samar-samar cahaya sentir memperlihatkan wajah perempuan itu.

“Kau pasti bermimpi buruk, Mas,” ucapnya sambil tersenyum.

Kemudian perempuan itu berdiri berniat mengambil air. Ketika menoleh, rambut panjangnya terurai, terlihat jelas anting gigi macan kumbang berwarna putih tulang. Seketika, dengan tangan kirinya, Timan meraih senapan di bawah dipan anyaman bambu.

“Dasar perempuan sialan!” teriaknya kemudian. ***

.

.

Ponorogo, April 2020

Sapta Arif Nur Wahyudin adalah Kepala Humas STKIP PGRI Ponorogo. Kini melanjutkan kuliah pascasarjana di Unitomo Surabaya. Bisa disapa melalui IG: @saptaarif atau @keluargaliterasi_

.
Percakapan di Tengah Hutan. Percakapan di Tengah Hutan. Percakapan di Tengah Hutan. Percakapan di Tengah Hutan. Percakapan di Tengah Hutan.

Loading

Average rating 4.4 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!