Cerpen Hikmat Gumelar (Media Indonesia, 6 Juli 2014)
DI gang lebar sedepa, yang kiri-kanannya dipenuhi poster dan pamflet pasangan calon presiden dan wakil presiden, dua belas anak terbelah dua. Satu tim Brasil. Satu tim Spanyol.
Nama-nama mereka pun berganti dengan nama-nama pemain bintang Spanyol dan Brasil, idola anak-anak yang semuanya masih duduk di bangku sekolah dasar itu. Anak-anak di tim Brasil yang bernama Wawan, Isa, Tisna, Deden, Toto, dan Dodo berganti menjadi Julio Caesar, David Luis, Thiago Silva, Oscar, Ramires, dan Neymar. Anak-anak tim Spanyol yang bernama Uu, Aming, Kamil, Aat, Sabur, dan Nanu berganti jadi Iker Casillas, Iniesta, David Silva, Gerard Pique, Sergio Ramos, dan Fernando Torres.
Penggantian nama-nama itu tidak dilakukan hanya oleh masing-masing tim. Semua yang bermain ikut memilih nama-nama pengganti. Maka ada anak yang bermain di tim Spanyol ikut memilihkan nama untuk yang bermain di tim Brasil. Begitu juga sebaliknya. Dan ini dilakukan dengan alasan-alasan. Alasan-alasan itu pun tak langsung diterima, tapi lebih dulu dipersoalkan. Ini dilakukan sebelum mulai final piala dunia 2014, begitu anak-anak itu menyebut permainan mereka. Maka sebelum mulai pertandingan, keramaian sudah nyaring terdengar.
Namun, anak-anak itu beberapa kali saja memanggil teman setimnya dengan nama para bintang. Itu terjadi di menit-menit awal belaka. Setelahnya, semua dipanggil dengan nama pemberian orangtuanya. Meski begitu, keramaian permainan tidak susut. Begitu juga ketika terpaksa mereka harus jeda karena motor atau penjual bakso masuk ‘lapangan final piala dunia 2014’. Saban jeda, mereka ramai membicarakan permainan mereka.
Memang tak sejak mula seorang bunda mengikuti permainan anak-anak di samping rumahnya itu. Tapi sejak melihat dan mendengar permainan mereka, mata dan kupingnya tak berpindah. Terus penuh mengarah pada keriangan anak-anak tetangganya itu.
“Anakku, anak semata wayang, hilang. Bayang-bayangnya tidak pernah hilang,” gumam bunda tiba-tiba.
Lalu, matanya berpindah. Menerawang. Dirasakannya cahaya senja meredup. Langit makin serupa punggung kura-kura raksasa. Angin kemarau menyemburkan debu. Bunda terbatuk-batuk. Tetapi ia bergeming. Hanya daster tuanya yang berkibaran seperti helai-helai perca. Tubuhnya, yang seperti pohon jati bersitahan dari deraan kemarau terik dan panjang, tetap tegak di muka jendela terbuka.
“Seperti anak-anak itu. Seperti mereka. Ya, seperti itulah anakku. Suka bermain bola. Gemar mengisi senja dengan gerak dan gelak. Ia tak suka curang. Bila ada yang mencuranginya, ia tidak meradang. Tidak berang. Kakinya tetap gesit dan fantastik, lincah dan indah mengolah bola. Maka, pantas ia disukai kawan-kawannya. Bahkan seperti jadi panutan. Tetapi itu tak membuat dagunya mendongak. Sebagaimana bapaknya, selalu ia berjalan menunduk. Matanya, yang cerlang serupa mata anak kijang, lebih terpikat warna dan tekstur tanah, rerumputan, reranting, kerikil yang berserak di bawah.
Ia memang suka terpana pada rembulan dan bintang-bintang. Tapi, ia lebih suka lagi menghabiskan malam di kamar. Tekun mengerjakan tugas-tugas. Kecanduan membaca. Membaca apa saja. Itulah yang membuatnya sejak sekolah dasar hingga mahasiswa berkali-kali dapat beasiswa. Ia pun makin suka ngobrol dengan tukang sayur, pedagang kaki lima, pedagang asong, abang becak, pengojek, sopir angkot, sopir tembak, bahkan dengan mereka yang orang-orang bilang preman terminal. Kadang diam-diam cemas mencengkeram. Kadang pula kasak-kusuk satu-dua tetangga menusuki gendang telinga. Bahkan…”
“Teee! Sate! Teeee! Sate!”
Si bunda tersentak. Tapi ia tidak marah. Matanya yang bergulir mengikuti punggung cadas lelaki penjual sate itu kemudian malah tampak basah, tampak berlinang.
“Teeee! Sate! Teeeee! Sate!”
“Maaf ya, Mas. Tadi sudah masak sayur lodeh,” desisnya selirih bisikan.
Si bunda demikian, karena kupingnya kembali disergap penggalan percakapan dengan anaknya yang tiba-tiba hilang.
“Betul, Bunda. Sayur lodeh, tempe dan ikan asin sudah cukup. Tapi seperti tukang sayur, tukang tempe dan penjual ikan asin, tukang sate keliling itu juru selamat yang harus diselamatkan.”
“Ah, kamu! Bisa aja. Lagian juru selamat kok harus diselamatkan. Jadi mahasiswa kalimatmu jadi sering ganjil. Muskil.”
“Lho, iya Bunda. Tukang sate keliling itu punya istri. Punya anak-anak. Dia keliling jualan sate demi hidup istri dan anak-anaknya. Malah tak mustahil dia pun menghidupi anggota keluarga lainnya seperti ponakannya, iparnya, atau mertuanya. Dan apa dia dibantu pemerintah? Apa dia dibantu bank?”
“Lho, lho, lho. Kok bawa-bawa pemerintah dan bank segala.”
“Ya, iya lah, Bunda. Para pengusaha seperti yang bangun mal, bangun hotel atau menggali bumi mengeruk minyak, pasir besi, batu bara, tembaga dan emas itu semua sama. Semua dibantu pemerintah dan bank. Tapi tukang sayur, tukang tempe, penjual ikan asin dan tukang sate itu tidak. Mereka tak pernah dapat bantuan pemerintah dan bank. Mereka berjuang sendiri. Mereka mandiri. Mereka itulah tulang punggung ekonomi republik ini. Karena itulah mereka….”
“Hiya. Tapi itu.”
“Apa, Bunda?”
“Satemu itu lho.”
“Oh, ketahuan. Bunda juga rupanya pengen.”
Perempuan yang rambut peraknya sudah lebat itu tersenyum. Namun senyumnya lekas menguap. Mulutnya kemudian jadi merasa tengah mengunyah belerang.
“Anak itu mudah terenyuh. Ia tak tahan melihat mereka yang disebutnya para juru selamat makin tak punya tempat, makin sering diuber-uber seperti maling. Ia pun makin tak tahan melihat mereka yang disebutnya bandit-bandit makin merajalela menjarah harta negara, memaksa kebanyakan pemberi amanah terus menelan ludah, terus mengucur darah, terus mereguk nanah.
Mereka juga tambah kerap menyalak, tambah galak menghadapi yang menuntut hak-haknya. Jadilah anak itu turun ke jalan. Ia ikut turun ke jalan bersama kawan-kawannya, bersama para juru selamat itu. Mereka menuntut perubahan. Menuntut tuan presiden turun. Militerisme dihentikan. Reformasi dimulai. Demokrasi dijalankan. Dan …”
“Allahu Akbar, Allahu Akbar. Allahu Akbar, Allahu Akbar.”
Bunda terkesiap. Ia berkeras takzim mendengarkan azan magrib dari pengeras suara masjid. Tapi suara motor meraung-raung melintasi gang. Maka tangan bunda menutup jendela dan gorden yang tertunda. Telunjuknya lantas menekan stop kontak, menyalakan lampu beranda dan ruang depan. Telunjuk itu menekan lagi stop kontak ruang tengah. Tapi begitu bohlam neon 15 watt menyala, mata bunda menabrak foto anak semata wayang tengah tersenyum dalam pigura duduk di atas bufet. Ia pun mematung.
“Tuan presiden itu sudah turun. Dan sudah beberapa orang menggantikannya duduk di situ. Mereka terus berkoar-koar. Hukum harus ditegakkan. Keadilan harus dibangkitkan. Demokrasi harus dijaga. Hak-hak asasi manusia harus dihormati. Harus! Harus! Tapi di mana anakku? Di mana? Padahal ia ikut ramai-ramai mendongkel rezim kegelapan itu. Para penculiknya sudah terang. Begitu juga dengan otak dari penculikan itu. Tapi dari presiden ke presiden, tak pula perkara bergeser. Bahkan kini orang itu bagai melambung. Ia diunggulkan sebagai calon pemimpin.
Rekam jejaknya terus-terusan disebar. Nyaris tak ada cela. Saban langkahnya adalah usaha membangun bangsa dan negara. Napasnya hanya mengalir untuk menghidupi ratusan juta rakyat. Menjadikan mereka bangga sebagai warga republik ini. Begitulah cerita banyak orang sekarang. Dia sendiri terus menguatkan cerita itu.
Di panggung-panggung dia berpidato. Kata-katanya lantang, menggambarkan dirinya sebagai patriot. Dan ribuan orang gemuruh menyambutnya. Mengelu-elukannya. Jumlah mereka terus bertambah. Jadi jutaan. Jadi puluhan juta. Sebagian menutup dinding samping rumahku dengan poster-poster bergambar orang itu. Mereka tegas melarang siapa pun mencopotnya. Oh, anakku. Kenapa bisa mereka begitu? Kenapa mereka bisa lupa? Apa memang iya yang dikatakannya di televisi itu? Dia bilang, yang dilakukannya dulu itu adalah menyelamatkan negara dari ancaman. Itu tugas dan kewajiban. Jadi, kau dan teman-temanmu itu berarti…”
“Bun, sudah.”
“Sudah apa?” sergah bunda seraya tajam matanya mengarah ke musholla keluarga di antara ruang tengah dan kamar mandi. “Anak semata wayang hilang, bertahun-tahun hilang kok sudah? Apalagi kini, tokoh yang dicurigai berada di balik peristiwa penculikan itu mau jadi presiden. Bagaimana bisa Bapak bilang sudah? Keterlaluan.”
“Maksud Bapak, sudah azan, Bun. Sudah waktunya kita shalat maghrib sama-sama.”
“Alasan,” timpal si bunda sambil gemetar melangkah ke kamar mandi. Kepalanya yang memberat disandarkan ke daun pintu. Tangannya lalu memutar keran. Punggungnya membungkuk pelan-pelan. Dan, mulailah bunda berwudlu. Ia berwudlu dengan deras air matanya… (*)
2014
Hikmat Gumelar, budayawan, tinggal di Bandung. Ia menulis fiksi dan esai budaya. Saat ini ia mengelola institut Nalar di Jatinangor.
Heri I. Wibowo
kereeeeen