Cerpen Budi Hatees (Media Indonesia, 20 Juli 2014)
BULAN bulat penuh di atas pohon bacang yang tumbuh semarak di halaman rumah. Pendar cahayanya bagai hendak mengganti malam menjadi siang. Membias sampai ke dalam rumah, menyusup lewat celah dinding tepas, membentuk jarum-jarum cahaya dan menembus binar redup lampu minyak tanah yang tergantung di dinding. Angin malam menusukkan gigil pada kulit tubuhmu yang tua dan rapuh. Perlahan kau bangkit dari ranjang, mengansur selangkah untuk meraih lampu minyak, mendekatkan nyalanya ke ranjang, guna memastikan apakah Salminah sudah terlelap.
Kelopak matanya mengatup rapat, membuat bulu mata lentiknya tampak melengkung. Dipadu bentuk hidung yang bangir dengan alis yang rapi, Salminah sesungguhnya jelmaan bidadari yang turun dari langit. Kecantikannya telah menjadi buah bibir, bukan hanya di Huta Parausorat, tapi di seluruh Kecamatan Sipirok. Orang-orang memuji kecantikannya nyaris sebanding dengan rupa Marbintang. Tapi dulu, sebelum Salminah menderita hilang akal karena satu dan lain hal yang tidak seorang pun tahu. Kabar burung yang lepas dari mulut setiap orang dan hinggap di sembarangan telinga warga Huta Parausorat, menyebut Salminah mengalami apa yang telah mendera hidup Marbintang.
Kabar itu sampai juga ke telingamu, tapi tak sekali pun terbit di hatimu untuk meluruskannya. Padahal kau yang lebih paham kenapa Salminah sampai menderita hilang akal seperti itu. Kau tak akan pernah membuka rahasia yang telah kau sembunyikan sekian lama. Biarlah kabar itu menjadi kepercayaan warga Huta Parausorat, meskipun terkadang ada rasa bersalah yang menyebabkan hati risau, yang kadang-kadang pula menjelma menjadi pisau. Hatimu serasa diiri-iris pisau itu, saat mengingat terakhir kali Salminah bicara tentang Torang, pemuda miskin asal Desa Sialagundi yang dengan tak tahu diri mengajak Salminah berumah tangga. Tegas betul kau melarang Salminah melunaskan niatnya untuk menikah, karena Torang akan membuat hidupnya menjadi lebih sengsara, padahal banyak pemuda kaya raya yang datang untuk melamarnya.
“Aku mencintai Bang Torang, lebih dari apa pun.” Untuk pertama kali Salminah membantahmu sejak 20 tahun lalu. Kalimat itu seperti ribuan batang jarum yang ditembakkan bersamaan ke ulu hatimu. Sakitnya luar biasa. Sembari menanggung rasa perih, kau bangkitkan almarhum suamimu dalam ingatan. Tiba-tiba saja kau ingat pesan terakhirnya sebelum maut menjemputnya, bahwa ia menitipkan Salminah agar dijaga dan dibesarkan menjadi kebanggaan orangtuanya, bangsa, dan negara. Lima tahun masih usia Salminah ketika ayahnya meninggal. Sejak itu, kau melakukan apa saja untuk membesarkannya, seorang diri kau hadapi segala sesuatu. Makin berat cobaan, makin kuat hatimu untuk mendidik Salminah seorang diri. Tapi, setelah usianya 20 tahun, Salminah membantahmu hanya karena si Torang.
Diam-diam kau pupuk kebencian pada Torang. Pemuda miskin itu kunci dari semuanya, sebatang kunci yang gampang dipatahkan. Sedikit bekas, seperti cacat pada kaki yang membuat Torang tidak lagi mampu menerangi hati Salminah. Bila itu terjadi, tak ada lagi alasan bagi Salminah untuk bersikeras menikah dengan pemuda miskin itu. Dan pada suatu malam, saat bulan bulat penuh di atas kepala, seperti biasa Torang datang mengunjungi Salminah. Dari rumahnya di Desa Sialagundi, melintasi kebun Kakao dan mengambil jalan pintas melalui persawahan, dalam hitungan setengah jam akan sampai di hadapan Salminah.
Di kebun kakao itu, tiga pemuda pemabuk yang sebelumnya kau belikan rokok dan beberapa botol tuak, berpesta pora sambil menunggu Torang melintas. Di bawah semarak cahaya bulan, yang menerabas ranting-ranting kakao, tiga pemabuk itu mencegat Torang. Semula hanya ingin mengingatkan agar Torang tidak lagi mendambakan Salminah. Tapi cinta telah membuat Torang tidak mengenal rintangan. Meledak emosi Torang. Gelegar suaranya justru seperti percik api menyulut alkohol yang mengendap di darah ketiga pemuda pemabuk itu. Mereka naik darah. Malam itu, disaksikan bulan bulat penuh, Torang roboh bersimbah darah.
Pagi harinya, pemilik kebun kakao menemukan mayat Torang dengan darah yang mengering di perut dan dadanya. Tiga pemuda pemabuk menghilang, tanpa jejak. Tapi jejak kematian Torang meninggalkan bekas yang dalam bagi Salminah. Gadis itu sangat terguncang. Tangisnya melengking panjang. Lebih pilu dari kesedihan apa pun. Kau menyesal belakangan dan merasa sangat bersalah ketika Salminah kehilangan akal sehatnya. Bagai dikejar bayangan dan rasa bersalah yang hebat, kau berniat mengakui segalanya dan meminta maaf kepada Salminah. Tapi kabar tentang nasib Salminah yang mirip nasib Marbintang, membuatmu punya cukup alasan untuk merahasiakan semuanya. Marbintang adalah dara rupawan yang kecantikannya tersohor ke mana-mana. Orang dengan mudah mengetahui, bila Marbintang melintas di sekitarnya, karena dari tubuh gadis itu selalu tercium aroma harum yang mengingatkan orang pada aroma dari paduan bermacam-macam bunga yang kembang. Kecantikan dan aroma tubuh Marbintang membuat seorang pangeran dari Kerajaan Bunian yang bertakhta di puncak Tor Nangge berhasrat luar biasa untuk menikahi gadis itu. Suatu hari, Pangeran menculik Marbintang, bermaksud membawanya ke puncak Tor Nangge, bukit tertinggi dari tujuh bukit yang mengelilingi Huta Parausorat. Tapi, di tengah perjalanan,
Marbintang menolak dengan halus karena dia telah jatuh cinta dan berkasih-kasihan sejak lama dengan seorang pemuda yang tinggal di Huta Baringin. Kecewa lantaran keinginannya tak terpenuhi, Pangeran mengutuk Marbintang tidak akan pernah bisa pulang ke rumahnya, agar tidak bisa menikah dengan siapa pun. Sejak peristiwa itu, Marbintang dinyatakan hilang meskipun dia tidak pernah jauh dari Huta Parauorat. Marbintang tak pernah bisa pulang ke rumahnya, dan dia hanya berkeliling-keliling di sebuah bukit sebelum Tor Nangge. Orang yang datang ke bukit itu pasti mencium aroma harum seperti aroma yang menguap dari pori-pori Marbintang. Orang-orang memberi nama bukit itu sebagai Tor Simuap Bujing (Bukit Beraroma Gadis).
Semua warga Desa Parausorat tahu kisah Marbintang yang malang. Tidak seorang pun akan melupakan nasib buruk gadis yang luar biasa itu meskipun telah berlalu sekian lama dan kisah itu sendiri telah menjadi semacam dongeng pengantar tidur. Kau pun sering menceritakan dongeng Marbintang kepada Salminah pada masa kecilnya, dan Salminah selalu bertanya apakah dirinya akan secantik Marbintang. “Kau jauh lebih cantik, Sayang,” katamu.
Kau pandang lagi wajah Salminah, kau pastikan gadis itu sudah lelap. Kau angsur langkah ke kamar sambil merekatkan kain sarung ke seluruh tubuhmu. Sebelum masuk ke kamar, kau menoleh ke dinding tempat potret hitam putih almarhum suamimu dipajang. Ketampanannya memang tak berbanding, tapi paru-parunya sangat payah. Sesuatu yang sangat ganas menggerogoti paru-paru itu hingga penuh lubang yang berdarah dan terdesak keluar setiap kali ia batuk.
Ada rasa rindu yang mengelus hatimu, membawa ingatanmu pada kalimat-kalimat mesra yang acap dibisikkannya ke telingamu. Laki-laki romantik itu tidak tergantikan oleh siapa pun. Itu sebabnya, sejak kematiannya, tidak pernah terlintas di pikiranmu untuk berbagi ranjang dengan laki-laki lain. Cintamu pada almarhum begitu memberkas. Tak terasa, sebutir air mata bergulir di pipimu, meninggalkan asin ketika sampai di bibirmu. Buru-buru kau usap mata dengan punggung tangan, cepat-cepat masuk ke kamar.
Tapi, sebelum merebahkan tubuh yang letih, sebuah hentakan seperti suara pintu dibuka paksa, membuatmu terlonjak dan menghambur keluar kamar. “Salminah!” Seperti kau duga, ia tak ada di tempat tidurnya. Kau tahu, tak perlu panik. Salminah tidak akan kemana-mana, pasti kembali ke tempat itu, ke bawah pohon bacang itu. Ia tidak pernah jauh dari sana. Tak pernah jauh dari tempat ia selalu berjanji bertemu dengan Torang.
Kau melongokkan kepala dari pintu, menjenguk Salminah di bawah pohon bacang. Angin malam yang dingin bagai berputar-putar di bawah rimbun dedaun pohon bacang, menyambut tubuh tuamu yang tertutup rapat oleh kain sarung. Suara angin ketika mengalir di udara, meninggalkan desing yang mempertajam sunyi suasana.
“Ayo masuk, Sayang!” Kau coba membujuk Salminah, yang duduk memunggungimu. “Di luar sangat dingin. Nanti kau sakit.”
Salminah tetap memunggungimu. Kau lihat Salminah menatap lurus ke depan. Kau mengikuti arah pandangannya. Jauh di sana, di dalam kegelapan malam yang semakin larut, hanya ada lima bukit yang mengelilingi Desa Parausorat. Tapi dari cara Salminah mendongak, kau paham matanya tertuju pada Tor Nangge, puncak tertinggi dari lima bukit itu.
“Ayo, Sayang. Kita ke dalam saja.” Kau menyentuh pundak Salminah.
Gadis itu terlonjak, langsung menolak. “Tidak. Aku berjanji menunggu Bang Torang di sini.”
“Torang sudah meninggal.”
“Ibu bohong. Baru saja Bang Torang dari sini. Ia memintaku menunggu sebentar, karena ada yang mau diambilnya di rumahnya.”
“Rumahnya?!”
“Sekarang Bang Torang tinggal di sana!”
Salminah menunjuk ke puncak Tor Nangge. Lalu, Salminah bangkit, bersorak riang, dan berlari ke dalam kegelapan sambil berteriak: “Bang Toraaaaaang!” (*)
Budi Hatees, sastrawan kelahiran TapanuliSelatan. Menulis cerpen, esai, dan puisidi seju mlah media. Kini ia bermukim di Padangsidempuan.
Leave a Reply