Dewi Kharisma Michellia

Keputusan Ely

5
(2)

Cerpen Dewi Kharisma Michellia (Media Indonesia, 3 Agustus 2014)

Keputusan Ely ilustrasi Seno

ELY mengemas semua yang tak bisa ditinggalnya. Bahkan suara burung-burung di pohon akasia yang berkicau sepanjang hari sudah dia masukkan ke dalam toples. Dengan secongkel cat warna merah jambu dari ayunan di taman belakang rumah, dan cacing-cacing pada tanah gembur dari taman ayahnya.

Saat meninggalkan ayah Ely, ibunya hanya berkata maaf. Ayah Ely di kursi roda tak menyahuti. Ia hanya dapat menatap mata istrinya. Melihat itu, Ely ingin menghamburkan tubuh ke pangkuan ayahnya. Namun, kakak Ely sudah berdiri di belakang kursi roda. Hanya menggelengkan kepala, lantas mengangkat dagu mengusir Ely.

Ely tak tahu mengapa dia harus memihak pada ibunya yang berselingkuh. Dan mengapa kakaknya dibiarkan menemani ayahnya yang lumpuh. Padahal kakaknya manja dan cerewet. Tapi Ely tak dapat menuntut. Tangannya digenggam erat dan ditarik untuk menjauhi rumah. Bahkan anjing kesayangannya turut menyeret rok Ely menuju mobil. Pergi selamanya dari rumahnya.

Ely enggan memakai sabuk pengaman. Di pelukannya ada akuarium besar yang berisi hadiah pemberian ayahnya. Paman yang melarikan ibu dari ayah Ely menyetir di jok sebelah. Membiarkan Ely dimaki ibunya meski lantas ibunya mengalah dan mengalihkan perhatian ke bayi yang menggeru di jok belakang. Dia menoleh benci ke bayi yang memisahkan ayah dan ibunya, dan lantas ke ibunya. Dan kemudian, masing-masing berlagak tak punya mulut, dan lagu yang tak disukai Ely terdengar sepanjang jalan.

Rumah paman yang dia benci itu memang lebih megah. Taman yang lebih luas, lahan parkir dan mobil yang lebih banyak, dan kaca-kaca jendela yang lebih besar. Ely yakin ibunya akan betah menjahit sembari menekuri panorama danau di belakang rumah. Tak akan ada gangguan dari derit kursi roda dan bau pesing sarung ayahnya.

Kamar baru Ely tujuh kali lipat lebih luas. Dengan grand piano, biola, papan catur, busur dan anak panah, rak-rak buku ensiklopedia, dan semua yang Ely rasa tak dibutuhkannya. Dibukanya stoples-stoples yang dia bawa. Ely melihat burung-burung yang biasa dilihatnya di pohon akasia rumahnya lantas bertengger pada grand piano, cacing-cacing seketika menggemburkan lantai kamar dan rumput teki tumbuh subur darinya, dan rak-rak buku berubah menjadi ayunan.

Maka Ely lantas tergesa berlari keluar kamar. Dia bawa akuarium besarnya ke ruang tengah. Ditebarkannya barang-barang dari akuarium itu di seluruh penjuru ruangan. Seketika seluruh bagian rumah paman yang dia benci itu berubah menjadi rumah ayahnya. Tiap momen ketika ayahnya memberi dia hadiah terulang di hadapan Ely. Dia menonton semua itu dari sofa hingga ketiduran.

Barang-barang itu habis dibakar ibunya di belakang rumah saat Ely terbangun. “Kenapa Ibu tega membakar barang-barang ayah?” Ely berlari ke tengah api dan memadamkannya dengan tubuhnya.

Rok bunga-bunga Ely terbakar saat dia dapat meraih tongkat kasti ayahnya. Orang-orang berseragam pelayan membawa baskom berisi air dan bergegas menyiraminya.

“Kenapa kamu rela terbakar untuk tongkat kayu tak berguna itu?” ibunya mendekap Ely yang basah kuyup.

“Kenapa Ibu memilihku? Kenapa ibu tak tinggalkan aku dengan ayah?”

Ibunya tak menjawab dan hanya mendekapnya semakin kencang.

***

Ely tak ingin mengerti hubungan romantis orang dewasa dari penjelasan ibunya. Yang dia tahu, jika dia menjadi ibunya, dia tidak akan meninggalkan ayahnya di saat lelaki itu lumpuh di kursi roda. Biarkan saja bayi haram itu dibesarkan orang lain. Paman yang dia benci itu bisa menemukan berjuta perempuan lain untuk menjadi ibu bayi itu, dan ibu Ely tidak perlu bertanggung jawab atas bayinya sendiri.

“Aku benci karena paman itu seolah bisa membaca pikiranku. Aku tak kerasan tinggal dengannya. Aku ingin pulang, sudah tujuh tahun,” ujar Ely dengan tatapan yang terus mengarah ke jendela. Dia gusar bila sewaktu-waktu kakaknya pulang dari tempat kerja. Ayahnya tak menyahut. Ia hanya menawarkan roti selai di meja makan.

“Kakak itu. Sudah tahu Ayah sakit, masih juga dia memilih kerja dua belas jam sehari untuk menghasilkan uang. Roti dan selainya saja merek murah. Kenapa tak seperti ibu saja, jual diri ke pria kaya. Kalau perlu jadi istri simpanan.”

Ely memperhatikan gerak-gerik ayahnya. Dia pikir ayahnya mungkin sudah tuli. Di seberang Ely, ia membawa senampan roti yang telah diberi selai dan digorengnya dengan margarin di wajan.

“Ayah memang bisa melakukan semuanya sendiri. Tapi bagaimana kalau tiba-tiba kursi roda Ayah tergelincir? Siapa yang menolong?”

Roti-roti goreng tersaji dengan dua cangkir teh yang asapnya mengepul. Ely mau tak mau menuju meja makan dan mengambil bagiannya.

“Tapi ada untungnya. Kalau kakak tak kerja dua belas jam, aku tak akan bisa sering-sering mampir mengunjungi Ayah.”

Makan siangnya hari itu tandas cepat karena dimasakkan ayahnya.

“Ayah, kenapa Ayah tak banyak bicara? Apa Ayah tak pernah kangen aku? Misalnya, bagaimana caraku kabur kemari, apa yang biasa dilakukan ibu dengan suami selingkuhannya itu, atau apakah aku masih bercita-cita jadi dokter.”

“Jangan jadi dokter. Itu pasti keinginan ibumu. Masa kau tak bisa pilih jalan sendiri?”

“Bukan. Setelah pisah dengan Ayah, aku tak lagi mendengar perkataan ibu. Aku hanya ingin agar Ayah tak usah banyak menghabiskan uang untuk berobat jalan. Kalau berobat padaku, Ayah akan kugratiskan.”

“Hari ini kakakmu pulang cepat,” ujar ayahnya setelah melihat pesan singkat di ponsel.

“Baik, jadi aku pergi sekarang. Bilang ke kakak untuk banyak-banyak beli roti dan selai merek murah itu. Rasanya ternyata enak.”

***

Tujuh tahun Ely menanti hari di mana usianya menjadi ganjil, 17 tahun. Seperti tujuh tahun belakangan, tak ada yang mengingat hari itu. Mungkin yang lagi-lagi mengingatnya hanya ayahnya yang tempo hari dia kunjungi. Pagi itu, bocah haram yang dibenci Ely berdiri di pintu rumah, berseragam putih-merah. Saban Senin, dia merengek agar Ely tak usah diantar ke sekolah karena bocah sialan itu takut terlambat datang ke upacara bendera. Hari itu, dia yang sudah mulai lancar berbahasa Inggris memerintah dalam bahasa itu. Ely hanya tersenyum. Bisa-bisanya bocah itu menyangka Ely tak paham bahasa Inggris. Ely tak berseragam sekolah hari itu. Tak ada yang menyadari tas ranselnya lebih penuh dibandingkan hari-hari biasa.

“Ini hari terakhirku diperlakukan seperti ini,” kata Ely kepada ibunya. “Setelah aku pergi, bocah itu bebas merengek apa pun ke kalian. Terserah dengan bahasa apa saja.”

Setelah tujuh tahun lewat, barulah hari itu ibunya barangkali mengingat tanggal ulang tahun Ely. Kunyahannya langsung masuk tenggorokan.

“Usiaku tujuh belas dan aku legal memilih jalan hidupku sendiri. Pulangkan aku ke ayah.”

Suapan nasi goreng Ely menggantung ringan di pegangannya saat paman yang dibencinya menuruni tangga rumah. “Aku pergi hari ini. Terima kasih untuk tumpangannya,” ucap Ely ketika pria itu menjejak tangga terakhir.

Ely yang kemudian menyusuri tangga ke atas dan dari sana lantas menurunkan koper dan kardus. “Aku bisa telepon taksi, atau paman baik-baik mengantarku kembali seperti tujuh tahun lalu.”

Ibunya menatap cemas. Dia bawa ponselnya ke arah Ely, “Bicaralah dulu dengan kakakmu.”

“Tak perlu. Aku sudah bicara dengan ayah minggu lalu.”

“Bagaimana bisa?”

“Tentu bisa, aku tak perlu melapor ke siapa pun untuk mengunjungi ayahku sendiri.”

“Itu yang perlu kau bicarakan dengan kakakmu.”

“Tentang aku yang tak pernah minta izinnya setiap bertemu ayah?”

“Tentang ayahmu yang sudah meninggal jauh sebelum kita pindah ke rumah ini,” jawab ibunya.

Dari ponsel, terdengar suara kakak Ely memanggil-manggil nama ibunya. Ely merasa lemas di tempatnya berdiri.

“Selama ini kau hanya berhalusinasi, menganggap ayahmu masih hidup.”

Ely menopang bobot tubuhnya ke dinding. “Setelah aku berusia tujuh belas tahun, Ibu mengarang cerita bohong tentang ayah agar aku tetap tinggal, begitu?”

“Ely, ayah sudah meninggal. Kau tak sadarkan diri berhari-hari saat ayahmu dikuburkan. Berkali-kali kami sudah mengingatkanmu tentang hal ini. Tapi kau menganggap ayahmu masih hidup ketika ibu pindah tinggal ke rumah ini. Suami kakakmu tak sanggup melihatmu seperti itu setiap hari dan hampir menjebloskanmu ke rumah sakit jiwa. Ibu kemudian datang dan mengajakmu kemari.”

Ely menarik napas dalam. Kupu-kupu melewati ventilasi rumah dan bertengger di kepala ibunya. Kupu-kupu yang lebih banyak muncul di kepala paman yang Ely benci dan bocah jahanam itu. Kepala ketiga orang itu kemudian terbungkus benang. Ely tertawa terbahak-bahak ketika tubuh mereka telah penuh terselimuti kulit larva.

Sambil menggendong tas ransel, Ely bergegas lari keluar. Tiga sosok di balik kulit larva itu menjerit-jeritkan nama Ely dari kejauhan. Ely terus berlari. Di gerbang rumahnya, Ely menyetop bus yang lewat dengan arah menuju terminal. Nama lengkap Ely diteriakkan lantang oleh kepompong bersuara ibunya dari kejauhan. Saat Ely masuk bus dan melihat dari jendela, kepompong-kepompong itu kembali menjadi sosok ibu, paman yang dia benci, dan bocah jahanam itu. Namun saat itu di pikiran Ely hanya ada satu tempat yang dituju; kota tempat tinggal ayahnya. (*)

Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Ia menulis cerpen di sejumlah media. Novelnya, Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya (2013).

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. jujur sih, endingnya nggantung

Leave a Reply

error: Content is protected !!