Cerpen, Sungging Raga

Sepertiga Malam Terakhir

5
(1)

Cerpen Sungging Raga (Media Indonesia, 21 September 2014)

Sepertiga Malam Terakhir ilustrasi Pata Areadi

DI sepertiga malam terakhir itu, Dirminto masih duduk di belakang rumahnya. Ia sedang termenung memandangi langit. “Benarkah Tuhan turun di saat-saat seperti ini?”

Sambil mengisap rokoknya,Dirminto memperhatikan rembulan yang gersang, yang kadang dilewati awan tipis, tapi kemudian lengang kembali. Di sekeliling rembulan ada bintang-bintang yang pendiam, sebagian berkedip, sebagian lagi bersinar cukup terang. Lelaki itu lantas melangkah masuk ke rumahnya yang sempit, istrinya ternyata sudah bangun, sibuk melipat baju-baju. Sementara itu, dua anak gadisnya masih terlelap di atas tikar, Manisha yang berusia empat tahun, dan Nalea tujuh tahun.

“Kamu tidak tidur semalaman?” tanya istrinya.

“Mana bisa aku tidur, sementara besok kita tak tahu harus pergi ke mana,” jawab Dirminto.

Di rumah yang dindingnya berupa kayu dan tripleks itu, kesunyian begitu cepat merasuk. Tak lama kemudian, terdengar sayup-sayup suara azan subuh di surau yang jauh, terasa sangat jauh seperti masa lalu.

“Tuhan sudah kembali ke langit,” gumam Dirminto.

“Apa?” tanya istrinya.

“Eh, tidak apa-apa.” Dirminto terkejut sendiri. Ia tak tahu bagaimana bisa memikirkan semua itu, setelah seluruh kepahitan hidup dilaluinya begitu saja, mengapa ia harus terngiang kalimat yang beberapa hari lalu diucapkan oleh anak gadisnya?

“Kata ustaz di surau tempat Nalea mengaji, Tuhan turun ke langit dunia di sepertiga malam terakhir. Dia akan mengabulkan doa siapa saja yang berdoa.” Begitu Nalea pernah berkata. “Kalau Nalea bangun, Nalea juga mau berdoa ya, Pak.”

Dirminto tersenyum. “Ustaz itu pasti telah mengajarimu banyak hal Nalea,” kata lelaki itu sambil membelai rambut anaknya.

Baca juga  Dua Malam di Kota Kata-Kata

Ah, tapi sekarang, Nalea dan adiknya, Manisha, harus segera dibangunkan. Perlahan Dirminto mencubit tangan kedua anaknya agar mereka terjaga dari kesunyian pagi dan mimpi-mimpi yang menggigil. Angin sesekali menembus dari arah jendela berbingkai kayu. Cahaya matahari terbiasa masuk lewat celah-celah itu. Istrinya sudah memasukkan pakaian ke dalam tas. Kedua anak kecil itu pun terjaga, mengusap wajahnya.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

6 Comments

  1. fitrah

    cerpen keren. saluto

  2. putera

    Bung Sungging Raga, Anda menulis berkesan sekali. Menulislah terus. Menulislah. Saya, dan mungkin banyak orang lain lagi selalu menunggu tulisanmu… menulislah dengan niat yang ikhlas supaya lebih bernas dan menggugah lagi… Wassalam

  3. Ayu

    Bagus, pembukaan yang menarik dengan penutupan yang manis ^^ sukaaa

  4. putera

    Cerpen ini diulas Griven H. Putera di harian Riau Pos, Ahad 26 Oktober 2014 dengan judul “Sepertiga Malam Terakhir: Cerpen yang Indah, Dalam dan Berperisa”…..

  5. Sungging akhirnya bisa baca cerpen dirimu lagih

Leave a Reply

error: Content is protected !!