Cerpen Yusi Avianto Pareanom (Koran Tempo, 10 April 2011)
Meja 7
“Kau masih suka cappuccino kan, Mas?”
“Tentu saja. Ada apa? Kenapa menarik-narik rambut dan senyam-senyum seperti itu?”
“Kalau begitu mari angkat cangkir.”
“Ayo!”
“Kau pembohong yang manis, dari dulu kau memang tak suka minuman ini.”
“Ketahuan, ya? Habis bagaimana, kalau tidak tubruk tidak mantap. Bahkan, kopi kampung yang dicampur bubuk jagung pun lebih enak ketimbang favoritmu ini.”
“Ngawur, ah. Mengapa sih butuh enam bulan pura-pura suka?”
“Aku tak mau membuatmu kecewa.”
“Kenapa tak boleh kalau hanya urusan kopi?”
“E…, aku ingin mengesankanmu.”
“Ha ha ha. Payah, ah. Kalau ingin membuatku terkesan, kenapa tak menari di tengah sana dengan kaki terangkat sebelah dan lidah terjulur?”
“Sungguh?”
“Tidak, dungu.”
Meja 10
“Kalau yang diminta bergerak orang-orang itu agak repot, Bang.”
“Harganya lebih tinggi?”
“Bukan itu, mereka panasan. Bisa geger nanti.”
“Malah bagus, tho?”
“Kalau ada yang mati?”
“Pelankan suaramu.”
“Sori.”
“Prinsipnya, mereka jangan sengaja disuruh bunuh orang begitu, kita ini bukan binatang. Tapi, kalau terpaksa ada yang habis, apa boleh buat.”
“Kodenya apa?”
“Pita biru.”
Meja 4
“Tetap Sora Aoi, Miyabi pipinya nggak halus.”
“Malah alami, dong. Sora sampai sekarang mainnya begitu-begitu saja. Belum berani nggak sensor.”
“Nggak pentinglah itu, kita kan tetap bisa membayangkan.”
“Tanggung.”
“Tapi penghayatannya, Bung, penghayatannya. Bahkan kalau lawan mainnya kayak babi sekalipun, Sora tetap menciumnya sepenuh hati.”
“Layak menang Oscar? Ha ha ha. Okelah, malah enak, kita tak perlu bertengkar siapa milih siapa bila suatu hari tiba-tiba saja kita terjebak di kamar bersama mereka. Tapi, tahu tidak, Bung, sekarang ini di Jepang yang lagi naik daun justru pemain yang tua-tua.”
“Genre mature dan lolita kan sudah dari dulu ada?”
“Bukan, yang ini tua lawan tua, nenek-nenek lawan kakek bau tanah.”
“Jangkrik!”
“Tentu tidak sepopuler film yang pakai bintang-bintang AV yang muda, tapi ada ceruk bisnisnya. Trennya naik.”
“Dan lidah nenek-nenek itu juga bertualang ke bagian tubuh manusia yang tak pernah tersentuh sinar matahari?”
Meja 13
“Kalau lu nggak mau balik, gua bakal jadi homo. Dan, kalau gua kenapa-kenapa, lu yang dosa!”
Meja 7
“Aku ingin setia kepadamu, Maura, janji.”
“Apa maksudmu?”
“Apa maksudmu dengan ‘apa maksudmu’? Setia ya setia.”
“Aneh, kok tiba-tiba bilang begitu. Lagi pula kok tidak deskriptif, katanya dulu pernah ikut kelas penulisan kreatif?”
“Apa anehnya? Justru kamu yang aneh, biasanya wanita tersanjung kalau pasangannya bilang begitu.”
“Aturan mana?”
“Buku roman, telenovela, atau sinetron Korea yang kautonton?”
“Aku kok tidak?”
“Tidak tergetar atau tidak merasa aneh?”
“Deskripsikan apa yang kaumaksud dengan kata aneh.”
“Aneh itu adalah… ah, sial! Ngapain aku harus nuruti keinginan anehmu?”
“…eh, eh, kok main cium, sih?”
“Biarin, gemas. Aku jadi tak mengerti dirimu.”
“Kalau tak mengerti mengapa pakai janji segala?”
“Tak mengerti bukan berarti tak bisa berjanji.”
“Lha itu, Mas Setaku sayang, dungu namanya.”
Meja 2
“Mbak Septi bagaimana?”
“Sedih aku sebetulnya. Tapi, bagaimana lagi. Perasaan merana itu kan susah disembuhkan. Dua tahun terakhir sudah mendingan, tapi minggu lalu kembali lagi seperti dulu.”
“Pas setelah eksekusi?”
“Sebetulnya sebelumnya sudah ketika berita eksekusi si anjing itu mulai ramai di televisi. Tapi, kukira siapa pun yang diingatkan akan nasib buruk anaknya yang mati dirusak dan dipotong-potong akan nelangsa berkepanjangan seperti itu.”
“Anu, menurutmu, pantas tidak aku dolan ke rumah kakakmu itu?”
“Jangan main-main.”
“Aku sangat serius. Kautahu, aku sudah suka kepada mbakyumu sejak kita masih SMP. Sungkan saja yang membuatku menahan diri. Mungkin takut dianggap ingusan juga. Tapi, sekarang kan sudah sama berumur. Lagi pula aku bukan jenis laki-laki seperti bekas suaminya.”
“Aku bilang lagi-lagi, jangan main-main. Kautahu, ia benar-benar… Oke, oke, pelan-pelan, oke?”
Meja 1
“Aku tadi baca di Yahoo, Marion Bartoli bilang IQ-nya 175.”
“Lebih tinggi ketimbang Einstein, dong?”
“Iya, ha ha ha, Einstein cuma 160. Tapi yang ciamik, si Marion ini omong kalau selama ini tidak bilang-bilang karena tidak ingin pamer ia itu pintar.”
“IQ tinggi tapi servis pertamanya kok busuk ya? Peringkatnya biasa-biasa, mana tampang biasa lagi. Cantikan juga Marion Cotillard yang sama-sama Prancis.”
“Jangan dilawankan bintang film, dong.”
“Kalau di tenis juga masih banyak yang lebih mantap. Maria Sharapova tetap yang paling sedap.”
“Kembali ke soal kecerdasan, si Einstein itu sebetulnya sering tidak cerdas juga lho.”
“Soal dia minta bantuan Marcel Grossman untuk ngerjain hitungan matematika Relativitas Umum?”
“Bukan, aku kemarin baca bahwa sebagian besar uang hadiah Nobelnya ludes gara-gara salah pilih investasi.”
Meja 8
“Aku sudah pesankan. Nasi goreng wagyu, marble sembilan.”
“Dekaden betul.”
“Makan enak itu transendental.”
“Tapi masa marble sembilan hanya jadi lauk nasi goreng?”
Meja 7
“Kalau Mas bilang ingin setia, apa itu berarti kau juga ingin aku setia?”
“Aduh, jelas dong.”
“Itu tiran namanya, fasis.”
“Serius ini, memangnya kau tak keberatan aku main gila?”
“Kalau itu maumu, aku bisa apa?”
“Tidak sakit hati?”
“Pasti, tapi apa bisa melarang? Laki-laki dilarang sampai berbuih pun percuma kalau memang punya niatan ke sana. Untuk adilnya, wanita juga.”
“Bisa gila aku sore ini. Bagaimana kalau sudah menikah?”
“Terserah mereka.”
“Kok mereka?”
“Ya mereka yang menikah itu.”
Meja 9
“Si Tennyson ini pasti bodoh atau sok tahu luar biasa.”
“Ada apa, Neng, mendadak sewot begitu? Teni… sopo, tho?”
“Alfred Lord Tennyson.”
“Bos baru di kantormu?”
“Bukan, dia ini… Begini deh, dia ini dulu sekali kira-kira pernah bilang kalau lebih baik pernah bercinta sekalipun akhirnya putus di tengah jalan ketimbang nggak pernah mencintai sama sekali. Apa tidak gemblung, Mbak?”
“Menurutku apik itu, orang jadi punya kenang-kenangan.”
“Ah mending tidak cinta-cintaan. Sakitnya itu betul-betul lho, Mbak. Hati, Mbak, hati.”
“Lho, lho, memang belum lupa tho sama yang kemarin? Kan sudah lama….”
“Ini deh, Mbak, baca.”
“Cilik-cilik hurufnya. Besarin dikit kenapa?”
“…nah, sudah baca sendiri kan. Aku tadi iseng baca di taksi waktu ke sini, dapat terusan dari teman kantor. Bayangkan, Roy C. Sullivan, si park ranger Amerika itu kesamber petir tujuh kali tidak mati-mati, paling lecet saja. Begitu ditolak cinta, langsung bunuh diri. Apa ini bukan lebih baik nggak usah demen-demenan?”
“Jadi si Teni… itu bodoh karena ada orang bunuh diri gara-gara hatinya remuk?”
“Seratus persen, tanpa diskon.”
“Ah, kalau aku kok ora cocok.”
Meja 4
“Lihat tuh mbak-mbak yang baru datang dan duduk di situ. Mantap, Bung.”
“Jangkrik! Matamu itu lho. Apa lupa pelajaran di sekolah? Tataplah orang pada matanya….”
“Kecuali susu mereka benar-benar bulat….”
“Jangkrik! Salah posisi aku.”
Meja 13
“Kalau lu nggak mau balik, gua….”
“Mau apa? Mau apa?”
Meja 7
“Kukira Mas tak pernah memintanya.”
“Jangan menangis ah, malu.”
“Biar.”
“Ternyata kamu yang telenovela.”
“Terserah. Tapi, kalau selama ini Mas Seta ragu-ragu, aku lebih lagi karena tak ada kepastian dari Mas.”
“Kau kan bisa melamarku lebih dahulu?”
“Apa?”
“Katanya progresif?”
“Katanya gentleman, melamarnya tadi kok pakai bentak-bentak?”
“Harusnya bagaimana?”
“Apa yang kaupelajari dari buku roman?”
“Sang laki-laki berlulut, merogoh kantong, dan mengeluarkan cincin.”
“Mengapa tak kaulakukan itu?”
“Tak ada cincin padaku saat ini.”
“Lupakan cincinnya, lakukan berlututnya.”
“Benar-benar telenovela.”
“Biar, ayo cepat.”
“Baik. Maukah kau Maura Wigati Sulaiman menjadi istriku?”
“Dengan satu syarat.”
“Sebutkan segera.”
“Kauhabiskan dua cangkir cappuccino ini.”
“Ternyata kau yang tiran, yang fasis.”
“Biar.”
Meja 13
“Tolong! Tolong!”
Meja kasir
“Oalah, goblok, goblok! Mau mampus kok di warung orang!” ***
.
.
Yusi Avianto Pareanom, editor di Penerbit Banana.
.
Rumah Kopi Singa Tertawa. Rumah Kopi Singa Tertawa. Rumah Kopi Singa Tertawa.
Leave a Reply