Arman AZ, Cerpen, Suara Merdeka

Hikayat Demang Tuuk

0
(0)

DIA datang menunggang ombak dari Batavia, tiga purnama menetap di Telukbetung, lalu ratusan kilometer menuju Lehan [1] dilahap dengan jalan kaki sendirian. Bukan hendak mengangkangi perniagaan lada hitam, kopi, atau damar; tapi merangkum segala hal yang berkaitan dengan bahasa kami.

Orang Belanda yang aneh. Beda fisik yang menujah mata membuatnya lekas dicireni warga Lehan. Badan gagah menjulang, pandangan sipit tajam serupa elang, dan rambut selalu disisir rapi. Dia mengubah sosok orang Belanda yang selama ini lekat menempel dalam benakku; bertopi putih bulat berujung runcing, baju mewah, jika berjalan dagu sedikit terangkat, mendongak congkak.

Dia menyewa rumah dekat Way Seputih [2]. Entah apa dalihnya memilih tinggal di Lehan. Barangkali tersebab pusat pemerintahan Hindia-Belanda pernah ada di sini sebelum pindah ke Telukbetung. Bersama seorang tetangga, aku jadi pembantunya. Tugasku menjaga rumah, menyalakan lampu di ujung petang, menebas semak agar rumah tak berpagar belukar, dan harus siap jika disuruh apa saja. Bukan tanpa menanggung risiko. Hari-hari pertama bekerja, sulit aku mendinginkan telinga yang panas diolok orang kampung.

Saya punya badan mestinya tak di sini, katanya dengan nada datar, saat kami bercakap kali pertama. Dia menceritakan sesuatu yang tak kumengerti tentang pemberontakan di Buleleng. Lantas, seorang kolega di Batavia mendukungnya agar menerima tugas di Lampung atas biaya pemerintah. Dia bekerja untuk—susah lidahku mengucap—Nederlandsch Bijbelgenootschap sebagai utusan bahasa. Utusan bahasa? Apa pula itu? Kaget aku mendengar kerjanya menerjemahkan dan mengurus penyebaran alkitab di semua koloni Belanda. Barangkali melihatku salah tingkah dan pasang sikap curiga, buru-buru dia jelaskan bahwa dia lebih tertarik mempelajari bahasa ketimbang agama.

Meski dia tak bawa bedil, aku harus hati-hati. Banyak manusia serupa musang berbulu domba. Jangan sampai terjebak dalam perangkap. Jika teringat cerita-cerita yang pernah kudengar tentang kelicikan Belanda, aku siap menujah tubuhnya dengan badik yang selalu terselip di balik pinggang. Namun hasrat itu kalah dengan rasa penasaran terhadap sosoknya.

***

KAMI menyebutnya Demang Tuuk. Julukan “Demang” itu lebih sebagai gurau (campur ledekan) untuknya. Usianya sekitar empat puluhan. Dia suka jalan kaki ke mana-mana. Tak canggung membaur dengan orang pribumi. Pun tak ciut hati jika ada yang menatap sarat benci atau mengolok dari belakang punggung.

Usai mandi sore, biasanya Demang Tuuk menyusuri jalan setapak sepanjang Lehan. Bila ada yang menggoda perhatian, dia akan berhenti dan mencari tahu. Misalnya, bentuk rumah di kampung kami yang nyaris mirip. Kepalanya manggut-manggut mendengar penjelasan orang-orang perihal kenapa tempat tinggal kami berbentuk rumah panggung. Penuh rasa ingin tahu, dia juga bertanya tentang adat kami, legenda yang kami ingat, sikap kami terhadap suku-suku pendatang, pandangan kami terhadap agama, dan sebagainya.

Ini yang paling unik dari Demang Tuuk: dia doyan mengumpulkan kata-kata. Seperti gajah kehausan, dia habiskan waktunya untuk mempelajari bahasa dan dialek kami. Serupa pemetik lada dan kopi, tekun dia kumpulkan kata-kata, kemudian dicatat dan diterjemahkan. Di sini tidak ada kesusasteraan, keluhnya suatu ketika. Jadi dia mencari langsung dari mulut penduduk. Aku dan Bapak bergantian mengantar ke tempat tetua-tetua yang menyimpan tulisan yang terpahat di ruas-ruas bambu, kulit kerbau, atau kambing. Semangat sekali dia mengamati. Sebagian disalin ke dalam kertas yang selalu dibawa kemana dia pergi. Sebagai imbalan mengantar ke sana kemari, aku diajari menulis. Dia bilang, pena dan kertas bisa jadi senjata. Aku tak paham maksudnya. Sebentar saja aku belajar menulis. Bukan tersinggung karena caraku menggenggam pena membuatnya tertawa, tapi aku memang tak tertarik mempelajarinya.

Perlahan Demang Tuuk mendapat tempat di hati warga Lehan. Rumahnya terbuka untuk siapa saja. Banyak yang kaget, tak menyangka dia ulung bicara dalam bahasa Jawa, Batak, dan Melayu. Bila sedang riang hati, dia ajak tetangga bercakap-cakap. Sepotong demi sepotong kami ketahui kehidupan pribadi dan pekerjaannya. Dia lebih suka hidup sendirian di tempat baru. Di tempatnya makan gaji, dia seperti orang asing. Banyak kolega di Batavia dan Belanda tidak suka cara kerjanya. Mereka mencapnya kasar, tukang protes, tidak taat pada agama, dan tidak bermoral. Lucu juga mendengar gerutuan orang yang benci dengan negaranya sendiri. Kadang kami terkekeh mendengar cemoohnya terhadap kelakuan para pejabat dan kaum borjuis Belanda yang kerap buang waktu dengan main kartu atau cari hiburan lewat gadis-gadis pribumi.

Lain waktu, Demang Tuuk mengipas kebencian kami terhadap Belanda. Dia dedah penindasan Belanda yang berkongsi dengan pedagang-pedagang serakah. Hasil bumi kami laris manis di luar negeri. Lada hitam, kopi, damar, gambir, pinang, diborong dengan harga murah, lalu mereka jual dengan keuntungan berlipat-lipat di pasar dunia. Kalian orang pribumi sudah lama jadi kuli, jadi budak di kampung sendiri, atau pongah bila jadi amtenar, sindirnya. Sebagian kami yang mendengar sempat tersinggung. Namun setelah kupikir-pikir, benar juga apa yang diucapkan.

***

RUANG kerja Demang Tuuk di bagian tengah rumah. Hampir tiap malam dia menulis di bawah siraman cahaya lampu minyak tanah. Entah apa yang ditulis. Entah pula akan dialamatkan ke mana. Kalau sedang menulis, pantatnya berjam-jam menempel di kursi. Kadang hingga dini hari terlewati. Aku tak berani mengusik. Cukuplah tugasku menyalakan lampu minyak tanah di atas meja kerja. Jika dia minta diambilkan air minum, barulah kusahuti panggilannya.

Sesekali aku mengintipnya dari bilik kamar. Di sudut yang remang, ditemani lantun gerimis di luar rumah, bayangan tubuhnya menari-nari di lantai. Tangannya pulang-balik mencelupkan pena ke dalam botol tinta. Asap rokok mengepul-ngepul diembuskan ke sekeliling; menepis dingin selepas hujan atau mengusir nyamuk hutan yang merubung. Sesekali terdengar tepukan tangannya di kaki, lengan, dan leher; membunuh nyamuk yang kepingin mencicip darah Belanda.

Pernah aku berniat melihat catatan-catatan yang disimpan dalam laci dan koper, tapi kubuang jauh kehendak itu. Ingatannya lancip. Dia tahu posisi barang-barang miliknya ketika ditinggalkan terakhir kali.

***

AWAL Desember yang basah dan dingin. Untuk kali pertama aku melihat lelaki Belanda menangis. Sepanjang hari Demang Tuuk duduk termangu di depan rumah. Murung di wajahnya menandingi langit yang melulu mendung. Bagai hilang semangatnya untuk melakukan apa pun. Kertas-kertas berserak terlantar di meja. Kopi dan makanan disentuh. Telah kupahami tabiatnya. Bila dia berjalan mondar-mandir dengan kedua lengan terlipat di depan dada atau menjelma jadi patung, berarti ada hal penting tengah menggasing dalam pikirannya. Daripada mengumpan sepatah kata, lebih baik menyingkir. Jangan sampai dipergoki batang hidungku, apalagi sampai memantik amarahnya. Aku hanya bisa menerka-nerka, barangkali dia sedang disengat kesepian karena sudah terlalu lama jauh dari rumah.

Beberapa hari kemudian dia cerita. Ternyata sahabat karibnya, Engelmann, meninggal. Yang membuatnya lebih terpukul, kabar duka itu telat diterimanya. Usianya lebih mudah selusin tahun dari Demang Tuuk. Beberapa jam setelah bercerita, kupergoki dia berdiri mematung di tepi Way Seputih, memegang tongkat dari patahan dahan, menatap air sungai yang mengalir deras. Aku sempat cemas dia diseret buaya jadi-jadian penguasa sungai. Untunglah dia selamat, pulang ke rumah di ambang petang.

Sebagai orang yang belum pernah menyeberangi Andalas, terkurung dalam tempurung kampung, aku terpukau membayangkan tempat-tempat asing yang diceritakan Demang Tuuk. Mataku nanap mulutku nganga, membayangkan Surabaya, Padang, Batak, Belanda, Paris, atau London. Duduk di lantai rumah, tengadah mendengar kisah-kisahnya, seperti mendengar dongeng negeri-negeri antah berantah.

Demang Tuuk bilang cuma sedikit suku di Hindia Belanda yang punya aksara sendiri. Dia pernah bertugas di Batak dan menurutnya aksara kami mirip. Di sana, dia dipanggil Pan Dor Toek atau Raja Tuuk. Sambil mengaku sebagai orang Eropa pertama yang melihat Danau Toba, disodorkannya dua kitab tebal kepadaku. Dia bilang kitab itu adalah kamus bahasa Batak buatannya. Yang paling atas, Over Schrift en Uitspraak der Tobasche Taa [3], dicetak tiga belas tahun lalu di Amsterdam. Kabarnya kitab itu mendapat pujian dari lembaga dan kolega. Kitab di bawahnya, Tobasche Spraakkunst, eerste stuk [4], cetak ulang kitab pertama yang isinya telah diperbaiki dan lebih lengkap. Meneliti bahasa-bahasa asing dengan gaji minim adalah pekerjaan gila, celetuknya meletakkan kembali kedua kitab itu ke atas meja.

Menjelang akhir tahun, Demang Tuuk dapat warta gembira. Keinginannya tinggal lebih lama di Lampung direstui lembaganya. Dia belum bisa kembali ke Bali. Wabah kolera masih merebak di sana dan pemberontakan belum sepenuhnya reda. Saya punya waktu lebih banyak untuk belajar bahasa Lampung, katanya. Kalau tulisannya telah rampung, dia berniat membuat Kamus Bahasa Lampung. Dia memang sedang mengumpulkan dan membandingkan dialek Abung, Peminggir, Bumi Agung, dan Pubian, juga mencicil menerjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Melayu. Yang membuatnya risau, di Batavia dan Belanda tak ada mesin cetak untuk aksara kami. Aku cuma menghela napas. Dia jauh lebih pintar dan lebih maju. Wajar bisa melanglang dunia. Sementara aku warga kampung, hari-harinya habis di kebun dan sungai, hanya melongo sampai terkantuk-kantuk menyimak ceritanya.

***

PADA 1869 belum sampai enam purnama Demang Tuuk memutuskan melanjutkan perjalanan ke barat. Dia nampak kesulitan membawa koper dan tas kulit yang disampirkan di bahu kanan. Koper berat itu berisi buku, tumpukan kertas, alat tulis, dan beberapa potong pakaian. Layaknya tamu, dia pamit ketika hendak pergi. Usai sudah kerjaku. Tak ada lagi upah harian yang kuterima darinya. Bapakku memberinya sebilah badik. Bukan sebagai kenang-kenangan atau tanda terima kasih karena Demang Tuuk telah berbaik hati mempekerjakanku sebagai pembantunya, tapi untuk jaga diri di perjalanan.

Lewat percakapan dengan beberapa tetua kampung, beberapa hari menjelang pergi, dia bertanya tentang Krui, Muara Dua, Bengkulu, Rejang, dan kampung lain. Juga bertanya arah menuju Petrus Albertus dan Valkenoog, benteng Belanda pertama di Lampung yang dibangun lebih seabad silam untuk mengatur perdagangan hasil bumi. Barangkali dia hendak menyambangi tempat-tempat itu.

Orang yang nampak membenci kehidupan namun sesungguhnya baik hati itu telah pergi. Barangkali, seumur hidup, satu-satunya orang Belanda yang kukenal dekat hanyalah Demang Tuuk. Dia sanggup memilih hidup di Lehan; di tengah hutan yang sesekali terdengar aum harimau, di tepi sungai yang dihuni buaya, hanya untuk mendulang bahasa kami. Dia juga membuatku mengerti, tak semua orang Belanda datang untuk menanam benih benci dan dengki. Di balik tabiatnya yang kadang kasar penuh dendam, tersembunyi sikap yang tegas dan jujur. Harus kuakui juga nyalinya. Membayangkan dia jalan kaki sendirian; menyusur hutan, ladang, dan semak belukar, kuharap dia tak apes berpapasan dengan harimau.

Jauh hari setelah dia pergi, lewat sekelompok peniaga dari Muara Dua, aku mendapat warta tentang sosok seorang pria yang kuyakini dalam hati sebagai Demang Tuuk. Dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan orang Belanda yang aneh (sebagian menyebutnya gila) dan banyak tanya. Karena sejak lama telanjur mencap Belanda sebagai penjajah licik, mereka mengelak, enggan meladeninya.

Demang Tuuk mungkin telah berjalan kaki kembali ke Telukbetung, menunggang ombak pulang ke Batavia, lalu melunasi niatnya ke Bali. Sebagai tuan rumah (juga pembantu), aku akan mengingatnya sebagai tamu sekaligus majikan yang baik. Meski sebentar saja menetap di Lehan, dalam tubuhnya telah mengeram sejarah tanah ini. Dia telah mencecap pedas lada, menyeruput kental kopi, melahap gurih ikan sungai, dan menghirup harum damar. Namun, entah bagaimana nasib tumpukan kertas berisi bahasa kami yang telah telaten dikumpulkannya. Semogalah keturunan-keturunanku kelak, bila tak jadi budak di kampung sendiri atau pongah sebagai amtenar, bernasib mujur bisa membaca kitab itu. ***

Bandarlampung, Februari 2011

Catatan:

[1] Lehan kini dikenal dengan daerah Terbanggi, Kabupaten Lampung Tengah.

[2] Way Seputih, sungai besar di daerah Terbanggi.

[3] Over Schrift en Uitspraak der Tobasche Taal (Perihal Penulisan dan Pengucapan Bahasa Toba)

[4] Tobasche Spraakkunst, eerste stuk (Tata Bahasa Toba, Bagian Pertama)

[5] Sebagian cerita ini merujuk korespondensi Herman Neubronner van der Tuuk kepada NBG (Nederlandsch Bijbelgenootschap, Persekutuan Alkitab Belanda), buku Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak, Uli Kozok, KPG 1999, esai Uli Kozok di Journal of Southeast Asian Studies, Vol 34 no. 2, Juni 2003

[6] 600 halaman kamus dan tata bahasa Lampung yang dikerjakan Van der Tuuk hingga kini tak pernah terlacak keberadaannya. Konon ada di Belanda.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!