AKU berharap waktu tak pernah berjalan dengan cepat. Aku selalu berharap seperti itu, agar aku tak memikirkan bagaimana caranya membeli kenangan. Aku pikir kenangan bisa dibeli dengan uang, dibeli seperti membeli makanan ataupun pakaian atau membeli apa saja. Namun kenyataannya cara konyol itu tak pernah bisa. Tak akan pernah bisa.
Yasalia adalah kota kecil di pinggir pantai yang banyak ditumbuhi nyiur, dekat dengan pulau dewata sehingga banyak turis singgah sebentar menikmati keindahannya. Dalam bayanganku kota kecil itu ramai oleh para nelayan, perahu-perahu serta jaringnya dan pengepul ikan di pinggir dermaga yang siap menawar hasil nelayan. Perempuan-perempuan paruh baya mengenakan tapih dan sepatu bingkap bersiap menuju saung melanjutkan pekerjaannya, membersihkan aneka hasil laut.
Ibuku hidup di kota kecil itu pada masa lalu. Ada kisah tersemai tentang mimpi-mimpi ibuku. Kisah cinta tentang ayah dan ibuku, menikah dan memilih menetap di kota kecil itu bersama ayahku. Hari itu hari yang naas, ayahku adalah seorang nelayan yang berlayar dan tak pernah kembali tertelan badai besar. Rasa getir memagut mimpi-mimpi ibuku yang gagal, kelak ia akan membesarkan segumpal daging di dalam perutnya seorang diri.
Hingga tangis seonggok janin terdengar, aku yang telah lahir ke dunia. Ibuku menyayangiku melebihi menyayangi dirinya sendiri. Ia dengan sabar merawatku, memerhatikan pertumbuhanku, ketika suatu hari ibu membawaku ke kota yang lebih besar dari Yasalia.
***
Jauh dalam lubuk hati, bagiku rumah adalah Yasalia tempatku lahir dan dibesarkan. Pada lingkungan alam seperti Yasalia pertanyaan-pertanyaan masa kanak-kanak yang belum terungkapkan secara verbal mulai mengakar. Apalagi anak-anak yang hidup di kota kecil cenderung dekat dengan alam. Berjalan-jalan di tepi pantai pada hamparan pasir lembut, kami memunguti kulit kerang, bulu babi, keping-keping pecahan karang dan apapun yang kusebut sampah kota besar. Bungkus mi instan, plastik detergen, mobil-mobilan rusak yang tak beroda dan sebagainya.
Berada di kota besar membuatku gagap. Jalanan kota besar yang ramai lalu-lalang, gang-gang sempit, got-got berbau. Semua berevolusi terasa baru dan cepat. Yang membuatku gagap adalah budaya dan bahasa di kota besar yang berbeda dengan Yasalia, di kota kecil itu aku terbiasa berbahasa daerah dengan teman-temanku, sedangkan di kota besar berbeda. Namun, mau tak mau aku harus beradaptasi dan mulai mengikuti kebiasaan teman-teman sekolahku. Dan pada suatu hari di tengah proses adaptasi terjadilah sesuatu yang mengubah hidupku.
Elena si kulit hitam, keriting dan pendek! Ucap Mayo teman sekelasku.
Dia berbeda ras dengan kita.
Anak jaddah, tak punya bapak tak mau aku sekelompok dengan dia. Kami tak mau bermain kalau ada dia, Pak! Tambahnya.
Salah satu temanku itu menolakku saat pembagian kelompok olahraga kasti di lapangan bersama guru olahraga kami. Seketika wajahku memucat, lalu berbagai pertanyaan berkecamuk dalam kepalaku, kenapa aku ditolak? kenapa aku berbeda? seharusnya aku sama fisik seperti mereka, dan diam-diam aku menyalahkan ibuku. Mendengar perundungan itu, bukanya membela diri, aku hanya diam. Bahkan guru kami juga diam, mempersilahkan aku ke pinggir lapangan untuk menepi agar permainan tetap berjalan.
Sejak peristiwa itu, hampir semua teman sekelas tak mau berteman denganku. Saat aku mendekati mereka yang tengah bermain ataupun mengobrol tiba-tiba berhenti dan menjauhiku. Duniaku mendadak penuh cibiran dan bully-an. Di sekolah aku menjadi penyendiri dan banyak diam. Duniaku mendadak terisi kecemasan-kecemasan dan selanjutnya depresi sering terpicu, kepercayaan diri seperti melebur hilang tak bertuan karena peristiwa perundungan fisik itu.
Jika dirunut dari awal aku teringat, temanku bernama Mayo iri karena aku menyalip posisi bintang kelasnya di sekolah sehingga ia melimpahkan perundungan padaku, sebab banyak teman di kelas serta para guru yang memujiku. Aku marah. Pada hari itu sesungguhnya akulah yang menjadi korban. Rasa sakit hatinya karena tersalip posisinya sebagai bintang kelas masih bisa diatasi dengan belajar lebih giat dan bersaing secara sehat bersamaku, tetapi luka di jiwaku masih terasa nyeri bahkan ketika bertahun-tahun tak menemui wajah Mayo sekalipun. Aku marah pada guruku yang tak menasehati Mayo saat mem-bully-ku dihadapan teman-teman, aku marah pada ibuku yang tak pernah menanyakan keadaanku di sekolah seperti apa dan aku marah pada diriku sendiri yang tak sanggup membela diri.
***
Setelah sepuluh tahun akhirnya aku menata diri. Walaupun aku terjatuh lagi dan lagi karena kehilangan kepercayaan diri, berpindah-pindah tempat kerja dan masih mencurigai seseorang yang ingin berteman dekat denganku. Inilah aku yang sekarang, seseorang yang selalu sibuk menyambung hidup, dipusingkan dengan pekerjaan hidup dan menjadi seorang pemelihara kenangan yang baik. Hari-hariku hanya bekerja untuk mengumpulkan uang, supaya bisa mengantarkan aku dan ibu kembali ke kota masa lalu di Yasalia bersama jasad ayah yang tak pernah kami ditemukan.
Sore itu sepulang dari kantor aku menyaksikan seorang anak perempuan berseragam SMP dikeroyok segerombolan anak perempuan SMA di jalanan sepi. Dengan cepat aku membelokkan mobil lalu turun segera melerai peristiwa itu. Hentikan! Belaku pada si korban yang terkapar.
Elo nggak usah ikut campur. Ini urusan kita. Ucap salah satu pelaku pengeroyok.
Akan saya laporkan ke polisi, kalian telah mem-bully dia. Jawabku seberani itu pada pelaku tersebut.
Mendengar peringatanku, anak-anak seragam SMA itu panik dan ketakutan lalu mereka pergi meninggalkan kami. Setelah itu kubawa korban ke rumah sakit dan menelepon orangtuanya sepemberitahuan dari korban, kemudian melapor ke KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) agar kasus semacam ini tak merjalela di kota-kota besar, belum sempat memasuki gerbang kantor KPAI tiba-tiba notifikasi ponsel ramai berdering. Ada fotoku membantu korban dari pengeroyokan tersebut, dan hingga kini viral dengan hastag nama korban. Aku baru sadar ada netizen yang mengenal korban diam-diam memfotoku dan mengunggahnya di media sosial.
Selesai melapor mataku berkaca-kaca ada rasa kelegaan dalam hati. Setidaknya aku bisa membeli kenangan buruk di masa laluku dengan keberanianku sekarang, namun masih ada trauma Yoshua kecil yang tertinggal pada korban pem-bully-an anak perempuan SMP tadi. ***
LAILATUL BADRIYAH, alumni jurusan Perpustakaan dan Arsip Universitas Brawijaya 2018. Sekarang bermukim di Banyuwangi.
Leave a Reply