Cerpen, Kiki Sulistyo, Kompas

Ismael Anak Baik

Ismael Anak Baik - Cerpen Kiki Sulistyo

Ismael Anak Baik ilustrasi Ni Wayan Dasti/Kompas

3
(14)

Cerpen Kiki Sulistyo (Kompas, 29 Agustus 2021)

BEBERAPA hari sebelum terserang tifus, Ismael pergi ke pantai untuk berburu kerang. Dia membawa satu kantung kecil terbuat dari kain tipis untuk menampung hasil buruannya. Sore hari ketika arus laut mulai deras dan ombak menghantam dengan keras, kerang-kerang akan terseret ke tepian, dan ketika air tertarik kembali ke laut, kerang-kerang itu tertinggal di basah pasir, dengan susah payah menggali untuk sembunyi. Pasir basah membentuk pusaran kecil ketika kerang-kerang menggali, saat itulah orang mencidukkan tangan untuk mendapatkan kerang itu.

Cangkang kerang berwarna hitam mengilat. Bentuknya oval dengan ukuran dari sekecil kuku sampai setengah jari orang dewasa. Biasanya yang seukuran kuku lebih sering terseret ke tepian, karena itu, orang akan riang ketika berhasil mendapatkan kerang ukuran setengah jari. Namun, sore itu, sampai senja membias di cakrawala, Ismael baru mendapatkan kerang-kerang kecil saja. Kenyataan itu membuatnya murung. Sambil duduk di pasir, diperhatikannya kerang-kerang yang sudah hampir memenuhi kantung kainnya. Sempat terpikir untuk melepas kembali kerang-kerang itu. Dibayangkannya secuil daging di dalam cangkang, secuil daging yang bakal kian menyusut setelah direbus.

Ismael berburu kerang bukan hanya karena dia ingin makan daging kerang, melainkan juga karena dia merasa senang membayangkan rasanya memakan hasil tangkapan sendiri. Di buku-buku pelajaran, terutama Ilmu Pengetahuan Sosial, ada gambar ilustrasi pemandangan desa, pesisir, maupun kota. Kadang di ilustrasi itu ada menyelip gambar-gambar hewan, ternak, ataupun buruan. Sering Ismael membayangkan dirinya jadi peternak atau pemburu dan hidup dari hasilnya.

Semenjak ayahnya hilang, bayangan itu kian mekar di pikirannya. Namun, karena Ismael masih kecil, dia belum bisa jadi peternak atau pemburu, hanya kerang yang bisa diburunya. Ismael tak pernah sekalipun mengajak teman-temannya. Sesungguhnya, semenjak ayahnya hilang pula, Ismael jarang bermain bersama teman-temannya. Dia yang semula pemarah dan senang berkelahi berubah jadi anak pendiam dan tak senang berkumpul, baik di sekolah maupun di Gang Melayu, lingkungan rumahnya.

Saat memperhatikan kerang-kerang kecil dalam kantung kain dan berpikir untuk melepas kembali hewan-hewan itu, mata Ismael tak sengaja memperhatikan kulit tangannya yang penuh biji-biji pasir. Kulit yang dirasanya semakin hitam hari-hari belakangan ini. Ismael meletakkan kantung kain di sebelahnya, lalu membersihkan pasir yang menempel di kulit tangannya. Tangan kirinya merogoh kantung kain dan mengambil seekor kerang. Dibandingkannya cangkang kerang dengan kulit tangannya. Matahari hampir senja membuat banjir cahaya, bunyi ombak terserak seakan-akan ada dinding kaca yang terus-menerus pecah. Meski kegelapan cangkang kerang dan kegelapan kulit tangannya jauh berbeda, Ismael merasa keduanya serupa. Perasaan itu membuatnya semakin murung. Ulu hatinya terasa perih sebab kemurungan itu. Oh, tidak. Ulu hatinya perih bukan karena kemurungan, melainkan karena semenjak pagi Ismael belum makan apa-apa. Oh, tidak. Ismael belum makan apa-apa bukan karena tidak ada yang bisa dimakan, melainkan karena pikirannya terlalu fokus pada rencana berburu kerang.

Baca juga  Langit Malam Zainah

Angin yang semenjak tadi menerpa apa saja tiba-tiba terasa menggigilkan. Bulu-bulu halus meremang di tubuh Ismael. Dia bergidik, seperti akan diserang meriang. Menyadari rasa tak nyaman di tubuhnya, Ismael bangkit. Sosoknya yang kecil, dengan kaus putih bergambar boneka Si Unyil, terlihat seperti bintil di keluasan pasir pantai. Ismael masih bimbang, apakah akan membawa pulang hasil buruannya atau melepasnya kembali. Sekonyong-konyong dia teringat ayahnya yang hilang. Kata orang, ayahnya dimakan hantu petrus. Ismael tak percaya cerita itu. Dia percaya ayahnya menghilang karena dia sudah jadi anak nakal, dan anak nakal pasti dihukum oleh Tuhan.

Kepercayaan itu tumbuh setelah guru mengajinya berkisah tentang hukuman bagi anak-anak nakal; anak yang gemar meninggalkan sembahyang dan tak berbakti pada orangtua. Ismael jelas memiliki ciri-ciri itu. Bahkan, Ismael baru mulai pergi mengaji setelah ayahnya hilang. Ibunya yang mendaftarkannya. Guru mengajinya adalah seorang laki-laki yang kira-kira seusia dengan ayah Ismael, tampangnya pun mirip; bertubuh besar dan tinggi serta memelihara berewok. Hanya saja, guru mengajinya itu tak memiliki tato dan mukanya bersih. Ismael berpikir guru mengajinya itu pasti dekat dengan Tuhan. Ismael jadi sering membayangkan rupa Tuhan. Dalam bayangan itu, yang paling sering muncul adalah sosok ibunya. Tuhan sepertinya mirip dengan ibunya, dan pada kenyataannya guru mengaji itu memang dekat dengan ibunya.

Setelah lepas dari duduknya, Ismael merasa pusing dan kakinya sedikit gemetar. Digenggamnya erat-erat kantung kain. Mungkin dengan tak lagi menjadi anak nakal, ayahnya akan kembali. Ismael telah mulai menjadi anak baik dengan tak lagi bermain dengan teman-temannya yang pelan-pelan diyakininya sebagai sekumpulan setan yang telah sekian lama menggodanya sebagaimana pernah diceritakan oleh guru mengajinya. Kadang-kadang kalau guru mengajinya itu datang ke rumah, memang dia menyuruh Ismael keluar bermain, tetapi itu karena si guru pasti ingin mengujinya, menguji keimanannya. Hal itu juga pernah diceritakan si guru, bahwa hanya melalui ujianlah seseorang bisa dikatakan dekat dengan Tuhan. Bukankah untuk naik kelas di sekolah setiap orang juga harus menempuh ujian?

Baca juga  Perempuan yang Menemuinya di Dermaga

Ismael ingin dekat dengan Tuhan, supaya Tuhan mengembalikan ayahnya. Dan untuk itu Ismael tak boleh jadi anak nakal, dan untuk itu juga dia harus melepas kembali kerang-kerang hasil buruannya. Namun, bersamaan dengan pikiran itu, rasa lapar datang mengoyak-ngoyak perutnya. Terbayang daging kerang yang setelah direbus, digoreng lagi bersama cabe rawit, bawang putih, bawang merah, tomat, dan garam. Liur Ismael nyaris berlelehan membayangkan asap mengepul dari sambal goreng kerang itu. Saat kebimbangan kembali datang, dia seperti baru sadar bahwa senja sebentar lagi tiba, sudah waktunya pergi mengaji. Ismael melihat sekeliling, pantai tak terlalu ramai. Ada beberapa orang dewasa bersiap memancing. Ada beberapa pasangan duduk-duduk dekat anjungan. Di tengah laut, lampu-lampu sampan mulai dinyalakan. Sebuah kapal besar pengangkut bahan bakar terapung-apung seperti bukit karang. Ismael merasa badannya makin lemas dan dia harus segera membuat keputusan.

Sedikit tertatih Ismael berjalan ke arah laut. Dibukanya kantung kain ketika ombak bergerak ke tengah, ditumpahkannya kerang-kerang itu ke pasir basah. Seperti merasakan bau kebebasan, kerang-kerang itu keluar dari cangkang dan langsung berusaha menggali. Dengan pikiran yang tak mudah diuraikan, Ismael memperhatikan kerang-kerang itu sesaat, sebelum ombak kembali datang dan kerang-kerang itu menghilang.

Ada perasaan tenang menyusup ke batin Ismael. Dia telah menjadi anak baik, Tuhan akan memberi rahmat baginya. Sesaat terbayang ketika pulang nanti ayahnya sudah ada di rumah. Ismael melangkah meninggalkan pantai, dia merasakan tubuhnya agak baikan. Tuhan tampaknya sudah langsung memberinya rahmat.

Dengan tergesa-gesa Ismael berjalan. Dia harus jadi anak baik, dan untuk itu dia tak boleh telat datang mengaji. Jalan kecil yang menghubungkan pusat kota dan pantai itu agak sepi. Orang-orang tampaknya juga pulang untuk mengaji. Kota ini dipenuhi orang-orang baik, pikir Ismael. Kecuali teman-temannya, tentu saja. Di depan sebuah gudang tua, Ismael melihat seorang anak sedang duduk sambil memperhatikan sangkar burung yang dibawanya. Ismael kenal anak itu, salah satu dari setan-setan kecil, karenanya dia tak ingin bahkan untuk sekadar beradu sapa dengan anak itu. Ismael semakin mempercepat langkahnya, namun sayang, setan kecil itu sudah telanjur melihatnya. “Ismael, mau ke mana?” serunya. Ismael pura-pura tak mendengar, tapi anak itu meraih sangkar burungnya dan segera mengejar Ismael.

Baca juga  Semar

“Ndak ada orang ngaji hari ini,” ujar si anak ketika sudah sejajar dengan Ismael. Kalimat itu membuat Ismael menghentikan langkahnya. “Kenapa?” tanyanya. Burung dalam sangkar melompat-lompat gelisah seakan burung itu adalah setan yang mendengar ayat-ayat suci. Si anak berusaha menenangkan burungnya. “Kikkki, Kikkki,” serunya sambil menjentikkan jari. “Aih, kamu ndak tahu, ya. Guru ngaji kita kan sedang di rumahmu. Banyak orang juga di sana.” Ismael mengerutkan kening, dia tidak tahu soal itu, karenanya dia bertanya lagi. “Kenapa banyak orang di rumah saya?”

Anak itu tak menjawab, dia malah balik bertanya sambil memperhatikan Ismael, “Kamu cari kerang, ya? Mana hasilnya?”

“Sudah saya lepas,” jawab Ismael.

“Dilepas? Kenapa? Daripada dilepas, kan lebih baik kasih saya buat makanan burung. Aduh, kamu benar-benar bodoh, Ismael. Kamu bodoh, makanya ayahmu hilang!”

Mendengar kalimat itu, Ismael terkinjat. Benarkah ayahnya hilang karena dirinya bodoh? Ismael tak percaya. Emosinya segera naik serupa ombak bersiap menghantam daratan. Dia ingat guru mengajinya pernah bilang bahwa setan akan selalu menggoda manusia dan karena itu setan harus dimusnahkan.

Sementara anak itu terus mengucap kata “bodoh”, Ismael mengepalkan tangan. Sambil komat-kamit mengucap ayat-ayat suci yang telah dihafalnya, dengan sekuat tenaga Ismael mengarahkan tinjunya ke muka anak itu. ***

.

.

Mataram, 24 April 2021

Kiki Sulistyo, lahir di kota Ampenan, Lombok. Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018). Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Dinding Diwani (Diva Press, 2020).

Ni Wayan Dasti, lahir di Badung, Bali, tahun 1990. Sempat menempuh pendidikan di jurusan DKV di New Media Bali, kemudian belajar seni rupa secara otodidak. Menekuni seni grafis, desain, dan kreasi multimedia, termasuk kolaborasi komik animasi dan mural serta membuat kover buku. Aktif mengikuti berbagai lokakarya seni rupa di Bali dan luar Bali, termasuk Workshop Video Art bersama Krisna Murti di Bentara Budaya Bali dan lain-lain. Telah berpameran bersama di beberapa ruang seni terpilih di Bali.

.

Ismael Anak Baik. Ismael Anak Baik. Ismael Anak Baik. Ismael Anak Baik.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 14

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. Arimby Cahaya Ren

    Mungkin untuk pembaca anak2 zaman sekarang kurang paham dengan “hantu petrus” yang menghilangkan ayahnya, saya pun baru mengerti ketika diceritakan guru ngaji tidak memiliki tato seperti ayahnya. Perihal hubungan guru ngaji dengan ibunya pun tidak begitu tuntas diceritakan. Ya, mungking penulisnya terkungkung dgn batasan karakter cerpen Kompas. Yang membuat cerpen ini terasa hambar.

  2. Dave

    Di cerpen “Ismael Anak Baik” si narator membongkar secara trampil dan berempati pikiran dan persepsi tokoh anak, bernama Ismael terhadap kehilangan ayahnya dan dunia dewasa dan dunia spiritual. Ismael masih menderita kehilangan ayahnya dan menolak perkataan orang (dewasa) bahwa ayahnya “dimakan hantu petrus”. Anaknya tak tahu apa dunia preman itu, dan tanda-tanda preman (ayahnya bertato dan penampilan kurang bersih). Anak tak tahu juga preman disasar oleh oknum di bahwa kontrol aparat keamanan. Setelah ayahnya hilang, Ibunya meminta kyai untuk mengaji anaknya. Ajaran agama itu berkelindan dengan pikiran anak tentang masalah kehilangan ayahnya. Si anak menilai ayahnya adalah anak nakal seperti dia (disebut dulu anaknya pemarah dan senang berkelahi barangkali seperti ayahnya tetapi sekarang menjadi pendiam). Anak itu menimba ajaran religius itu dari gurunya lalu menerapkannya untuk memecahkan masalah kehilangan ayahnya. Dia merasa ayahnya adalah anak nakal yang diambil dari keluarganya sebagai hukuman dari Tuhan. Tersurat si anak ikut merasa bersalah juga dan merasa kalau dia bisa lulus suatu ujian (religius) dengan menaklukan ketergodaan, ayahnya akan diperbolehan (oleh Tuhan) untuk pulang. Ismael merasa guru ngaji sudah menguji dia dengan cara diri sendiri yaitu menyuruhnya ke luar rumahnya sehingga akan tergoda main sama anak setan (bekas teman-temannya). Di sini muncul perbedaan di antara dunia anak dengan dunia dewasa. Tafsirannya tersebut berlainan dengan motif guru ngaji yang sebenarnya yaitu dia ingin menjalin hubungan yang lebih dekat pada Ibu Ismael. Si anak merekayasa ujian lanjutan yaitu menaklukan ketergodaan untuk makan hasil tangkapan kerang. Selama berjam-jam dia bergelut dengan ketergodaan itu dan akhirnya bisa membebaskan hasil tangkapannya meskipun sudah sangat lapar. Ada rasa ketenangan akibat kemenangan ini. Saat pulang dia bertemu dengan anak setan yang memanggil dia bodoh karena melepaskan kerang itu lagipula mengejeknya kebodohannya ialah alasan ayahnya hilang. Dengan menimba ajaran guru ngaji lagi yaitu setan harus dimusnahkan dia menonjok anak itu. Di sini terlihat cela antara dunia anak dan dunia dewasa. Ismael pulang dengan harapan akan ngaji dengan gurunya tetapi tampaknya guru ngaji membatalkan kajian itu meskipun sudah berada di rumahnya. Narator memberitahu pembaca bahwa Ismael dalam waktu dekat Ismael akan terpapar tifus jadi akan menghadapi suatu ujian yang tidak direkayasa dan sangat berat.

Leave a Reply

error: Content is protected !!