Cerpen, Karas, Yuditeha

Ruang Hampa di Bola Mata

Ruang Hampa di Bola Mata - Cerpen Yuditeha

Ruang Hampa di Bola Mata ilustrasi Sapriandi/Karas

4.5
(34)

Cerpen Yuditeha (Karas Nomor 1, Oktober 2020)

KATA mama, tahun 2007 bertepatan aku masuk sekolah dasar adalah awal papa dan mama merintis perusahaan. Oleh mama aku sengaja dititipkan pada saudara mama, dan keterusan sampai lulus SMA. Hanya saat liburan aku pulang, dan ketika mulai kuliah barulah kembali bersama keluarga.

Pagi itu aku berangkat kuliah diantar papa. Tempat kerja papa memang searah dengan kampusku. Di tengah perjalanan papa membelokkan mobil ke jalan yang seharusnya tidak kami lalui. Aku menanyakan hal itu kepada papa.

“Ada orang yang harus papa temui,” jawab papa.

“Jam kuliahku sudah mepet, Pa,” protesku.

“Sebentar saja, Lin.” Bersamaan mengatakan itu, papa menghentikan mobil dekat area taman kota. Tanpa mengatakan sesuatu, papa turun dari mobil lalu berjalan memasuki taman itu. Aku hanya terbengong melihat apa yang dilakukan papa. Sepertinya papa mengarah pada lelaki yang sedang duduk di sebuah bangku. Sembari terus pandanganku ke arah mereka, perlahan aku membuka pintu mobil lalu keluar. Berjalan sedikit mendekat ke arah mereka. Aku perhatikan papa duduk di samping lelaki itu, lalu terjadi obrolan di antara mereka. Aku melihat jam di pergelangan tanganku, waktu kuliah semakin mepet. Saat aku akan memperingatkan papa perihal waktu, kulihat papa telah berdiri dan terkesan akan meninggalkan tempat itu. Aku menyadarinya lalu gegas kembali masuk mobil. Ketika papa tiba di mobil, aku langsung bertanya perihal kejadian itu.

“Tidak ada apa-apa. Papa hanya ingin menemuinya sebentar,” jawab papa.

Peristiwa seperti itu sudah berberapa kali terjadi. Aku saja yang tidak begitu perhatian. Sopir papa juga sering mengatakan hal itu kepadaku, tapi lagi-lagi aku memang tak acuh. Beberapa kali Lan, adikku mengalami hal serupa, bahkan kata Lan, dia pernah terlambat sekolah karena menunggu papa sedang menemui seseorang di jalanan. Beberapa orang juga pernah mengatakan bahwa sebenarnya setelah urusan dengan orang rumah selesai, papa tidak lantas pergi ke kantor untuk mengurusi perusahaan, tapi seringnya keliling kota dan menemui orang-orang yang ingin dia temui.

Aku pernah bertanya kepada papa perihal kebiasaannya itu tapi papa seperti tidak bersungguh-sungguh menjelaskan, hingga aku pun tidak benar-benar mendapat jawaban yang bisa menerangkan apa yang ingin aku ketahui. Aku merasa papa sedang mencari seseorang, tapi siapa? Mungkinkah temannya? Jika benar temannya, lalu apa yang terjadi dengan temannya itu, sehingga papa harus mencarinya di jalanan? Setelah aku melakukan pengamatan, orang yang papa temui itu selalu berciri-ciri sama. Seorang lelaki yang di kedua bola matanya seperti ada ruang hampa.

Mamalah yang selama ini sering berada di kantor bila papa tidak di sana, dan mengambil alih tugas papa, mengurusi perusahaannya. Keadaan itu semakin membuatku heran, mengapa mama seperti tidak menganggap hal itu masalah. Bahkan mama juga tidak pernah menceritakan hal itu kepadaku. Karenanya aku ingin menanyakan perihal kebiasaan papa itu. Pada saat mama sedang santai di rumah, aku sengaja menemuinya.

Baca juga  Penjual Bunga Bersyal Merah

“Ketika papa dan mama hendak menikah, papa mengatakan sesuatu kepada mama.” Apa yang dikatakan mama itu memang tidak menjawab pertanyaanku tapi aku merasa hal itu adalah awal dari misteri yang ingin aku ketahui. Aku tidak lantas bertanya apa yang dikatakan papa. Aku berharap mama langsung melanjutkan ceritanya.

“Aku punya dosa besar,” lanjut mama.

“Maksud mama?” tanyaku.

“Aku punya dosa besar. Itulah yang dikatakan papa saat itu, Lin.”

“Trus?”

“Jika kamu benar-benar mau menikah denganku, izinkan aku menebus dosaku. Dan usaha penebusan itu akan lama, bahkan mungkin akan memakan waktu sepanjang hayatku.” Mama menirukan tambahan yang dulu dikatakan papa. Lalu mama menjelaskan lagi padaku, andai mama tidak setuju, papa ingin mereka berpisah baik-baik.

“Berarti mama setuju?”

Mama mengangguk.

“Lalu sebenarnya dosa besar apa yang papa lakukan?” tanyaku penasaran.

Pada saat itu mama menceritakan sesuatu, dan cerita itu memang telah menjawab apa yang selama ini menjadi keherananku.

***

Februari 1982 adikku lahir. Dia diberi nama Liangyi. Selisih usia kami memang jauh, tujuh tahun. Tentu saja papa dan mama bahagia atas kelahirannya. Pun aku, setidaknya akan ada yang menemaniku selagi papa dan mama sibuk bekerja. Terlebih dia juga laki-laki hingga aku sudah tidak sabar menantinya tumbuh besar agar segera bisa kuajak bermain. Tapi seiring berjalannya waktu, kuperhatikan keadaan Liangyi berbeda dengan anak-anak seusianya. Seingatku, seharusnya Liangyi sudah saatnya berjalan dan bicara, tapi dia belum bisa melakukannya. Aku melihat ada ruang hampa di kedua bola matanya. Dan semakin jelas bagaimana keadaan Liangyi ketika papa dan mama sedang membicarakannya dan tanpa sengaja aku mendengar.

“Aku masih berharap apa yang dibilang dokter salah. Tapi jika benar, apa yang mesti kita lakukan, Pa?” tanya mama.

“Idiot itu kondisi bawaan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan, selamanya kita menemani dan menjaganya,” sahut papa.

“Apa kita kuat menanggung cobaan ini, Pa?”

“Mulai sekarang kita memang harus menyiapkan diri untuk kuat, Ma.”

Jalan hidup selanjutnya tidak lancar seperti yang diharapkan karena pada pertengahan tahun 1990 papa sakit keras. Jantung papa tidak bisa diselamatkan hingga tutup usia. Untuk mengatasi keterpurukan ekonomi setelah sebagian aset papa dipakai untuk pengobatan, mama memutuskan pindah ke Solo. Pada mulanya mama hanya mengatakan bahwa selama ini demi bisnis, Ibu Kota telah menyita banyak waktu papa dan mama. Menurut mama jika hanya menuruti bisnis, tidak akan ada habisnya. Meski mama sudah mengatakan begitu, tapi pada saat itu aku tetap menyampaikan pertanyaan, sesungguhnya untuk alasan apa mama ingin pindah dari Jakarta. Kata mama, semua itu demi Liangyi, agar ibu bisa lebih banyak waktu untuknya. Terlebih sewaktu papa masih ada, sempat berpesan agar mama tetap setia menemani dan menjaga Liangyi. Pesan papa, setiap anak, bagaimana pun kondisinya adalah titipan Tuhan yang harus dirawat dan dijaga baik-baik. Satu-satunya tugas orangtua akan terlunaskan jika telah mengantarkan setiap anaknya kepada kehidupannya sendiri.

Baca juga  Pria dan Temannya di Dalam Rumah

“Uang memang penting tapi bukan segalanya. Adikmu butuh perhatian lebih. Dengan pindah ke kota semoga bisa lebih tenang dan nyaman,” tambah mama.

Praktis, setelah pindah ke Solo, perhatian mama memang benar-benar tercurah kepada Liangyi. Bahkan bisa dibilang perhatian mama kepadaku semakin hari semakin berkurang. Mungkin itu hanya perasaanku tapi sebagai anak, kadang aku mengirikannya. Pemikiran seperti itu sering mengesampingkan keadaan Liangyi yang sesungguhnya memang butuh perhatian lebih. Setiap saat dan setiap hal yang mama lakukan, selalu mengarah kepada Liangyi hingga sesekali situasi seperti itu benar-benar membuatku jengkel.

Liangyi, ternyata bukan saja tidak bisa menjadi teman bermain, bahkan sejak kelahirannya sudah merepotkan, dan dia telah merebut seluruh perhatian mama. Beberapa kali pernah aku menyampaikan tentang perhatian mama kepadaku yang kurasa tidak seperti dulu, tapi mama selalu punya alasan kuat, bahwa Liangyi lebih membutuhkan hal itu dari pada aku. Suatu kali kejengkelanku meninggi dan aku melakukan protes keras kepada mama, tapi ujung-ujungnya justru aku malah mendapat petuah yang mama dapatkan dari cerita-cerita di kitab suci. Mama pernah bercerita kepadaku tentang kisah anak yang pergi dari rumah. Lantas juga bercerita tentang kisah domba yang hilang.

“Jika mama punya sepuluh domba, dan hanya sembilan domba yang berhasil pulang ke kandang, mama harus lebih memedulikan yang mana?” tanya mama.

“Tentu saja mama akan lebih peduli pada satu domba yang hilang itu,” kata mama lagi menjawab pertanyaannya sendiri.

Padahal jika mama ingin tahu apa yang aku pikirkan, aku lebih condong peduli pada sembilan domba yang masih ada. Karena aku tidak ingin sembilan domba itu nantinya ikut hilang. Tapi karena mama tidak memberi kesempatan kepadaku menjawab, sehingga apa yang kupikirkan itu hanya mengendap dalam benak. Sejak itu aku memang harus mengikhlaskan keadaan itu untuk adikku. Mama kuperhatikan semakin hari semakin dekat dengan Liangyi. Sedangkan aku memang harus mulai memikirkan diri sendiri, termasuk memutuskan tidak kuliah tapi memilih langsung kerja. Sebenarnya mama ingin aku mengurus perusahan papa yang diteruskan mama tapi aku lebih mencari kerjaan yang kuminati. Sampai di sini, kupikir kehidupan kami sudah tak ada masalah lagi. Kami sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Baca juga  Pagar

Tapi pada akhir tahun 1996 ternyata tidak demikian adanya. Hal itu diawali dengan keadaan mama yang sudah tua dan sering sakit-sakitan. Pada saat itu aku yang bekerja di luar kota terpaksa pulang untuk merawat mama yang sakit. Yang membuat kejengkelanku dulu muncul lagi ketika aku menyadari, bahwa bukan hanya mama yang aku urus tapi tentu saja juga Liangyi yang memang senyatanya selalu merepotkan, bahkan mungkin akan selamanya membutuhkan perawatan dan penjagaan. Dan kecemasanku memuncak saat kondisi mama tidak bisa diselamatkan. Mama akhirnya menyusul papa, pergi untuk selamanya. Dari semua kejadian itu hal yang paling membuatku tidak nyaman pada saat menjelang mama akan berpulang. Sebelum mama mengembuskan napasnya yang terakhir, mama berpesan kepadaku.

“Liangyi memang bukan tanggung jawabmu, tapi mama dengan sangat memohon agar kamu bersedia merawat dan menjaganya.”

Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutku. Apa yang dikatakan mama adalah pesan terakhir dan aku tidak punya daya untuk menolaknya. Sepeninggal mama, meski dengan perasaan berat, aku keluar kerja dan meneruskan perusahaan keluarga sembari merawat dan menjaga Liangyi. Waktu berlalu, hingga tibalah peristiwa Mei 1998. Kejadian geger itu telah memporakporandakan Solo. Perusahaanku dan rumahku tak luput dari jarahan para perusuh. Dan yang membuatku shok ketika peristiwa penjarahan di rumah. Pada saat itu, entah setan apa yang merasukiku hingga aku tega meninggalkan Liangyi sendiri menghadapi amukan para perusuh, bahkan bukan saja meninggalkan dia tapi bisa dibilang aku justru sengaja mengorbankan Liangyi sebagai tameng untuk keselamatanku. Aku berhasil selamat karena dalam persembunyianku, aku bertemu teman yang akhirnya mengajakku tinggal di rumahnya. Tapi nasib Liangyi, sejak itu aku tak lagi mendengar di mana rimbanya.

***

Usai mama menceritakan semua itu, aku melihat mata mama basah. Mama mengatakan, tidak bisa menahan haru, sama halnya saat mama mendengar pertama kali ketika papa menceritakan bagaimana dulu dia dengan sengaja meninggalkan adik satu-satunya sendirian menghadapi amukan para perusuh. ***

.

.

Yuditeha. Penulis tinggal di Karanganyar-Jawa Tengah. Pegiat Komunitas Sastra Kamar Kata Karanganyar. Pendiri Media Seni & Budaya Ideide.id. Buku terbarunya Sehimpun Cerita Filosofi Perempuan dan Makna Bom (Rua Aksara, 2020).

.

Ruang Hampa di Bola Mata. Ruang Hampa di Bola Mata.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 34

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!