Cerpen, Supartika

Peternakan Lebah dan Kematian Amirudin

0
(0)

Cerpen I Putu Supartika (Suara Merdeka, 21 Juni 2015)

Peternakan Lebah dan Kematian Amirudin ilustrasi Putut Wahyu Widodo

Peternakan Lebah dan Kematian Amirudin ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka

JIKA kau mendengar seseorang mati karena disengat ular, kalajengking, atau laba-laba beracun itu hal yang biasa. Tapi bagaimana jika kau mendengar bahwa seseorang mati karena disengat seekor lebah? Jika lebah yang menyengat itu ratusan atau ribuan mungkin kau masih percaya. Tetapi, jika yang menyengat itu hanya seekor lebah dan orang itu mati, pasti kau tak akan pernah percaya. Bagaimana mungkin hewan sekecil lebah dengan sengatan yang tidak begitu berbisa bisa membunuh seseorang? Pasti hal itu hanya ada di negeri dongeng dan menjadi pengantar tidur bagi anak-anak yang baru lahir kemarin sore. Namun, kini kau harus percaya dengan hal itu, karena kini orang-orang sedang ramai-ramai membicarakan kematian Amirudin yang konon disengat seekor lebah.

Semasa hidupnya Amirudin adalah seorang peternak lebah yang terkenal di kampungnya. Bahkan sampai ke kampung tetangga namanya juga terkenal. Selain terkenal sebagai peternak lebah yang andal, ia juga merupakan seorang pawang lebah yang sangat pintar menjinakkan lebah-lebah yang sangat ganas tanpa harus menggunakan mantra-mantra atau jampi-jampi dari para dukun. Mungkin memang ia ditakdirkan untuk menjadi sahabat para lebah.

Suatu hari ribuan lebah atau mungkin puluhan ribu lebah mengamuk di kampung tetangga. Lebah-lebah itu seperti kesetanan menyerang semua rumah penduduk secara bergiliran dari ujung utara ke ujung selatan kampung. Semua orang takut dengan serangan lebah itu karena lebah-lebah itu secara ganas menyerang dan menusukkan sengat pada orang yang ditemui tanpa ampun. Anak-anak kecil yang sedang bermain-main di halaman rumah tiba-tiba menjerit karena kesakitan disengat lebah. Ketika orang tua mereka menjajaki mereka, mereka telah menemukan wajah anak mereka bengkak-bengkak disengat lebah, dan kawanan lebah yang menyengat anak-anak itu masih bergerombol di udara dan tanpa basa-basi lebah tersebut menyerang mereka yang ingin menyelamatkan anak mereka dari serangan lebah. Tak bisa dimungkiri lagi, wajah mereka pun bengkak-bengkak tersengat lebah. Lalu dengan tergopoh-gopoh mereka berlari memasuki kamar dengan muka bengkak-bengkak sambil menggendong anaknya yang juga bengkak-bengkak.

Sesampainya di kamar mereka saling membantu mencari jarum-jarum kecil dari lebah yang menempel di muka mereka dan segera mengoleskan minyak kayu putih ke wajah mereka berharap bengkak di wajahnya segera mengempes dan membuat wajah mereka kembali seperti semula.

Hanya orang-orang yang berada di dalam kamarnya yang selamat dari sengatan lebah itu. Sementara mereka yang berada di luar kamar semuanya bengkak-bengkak disengat lebah. Termasuk kepala kampung.

Baca juga  Menunggu Jumat Pagi

***

KABAR tentang kampung tetangga yang diserang lebah sampai juga ke telinga Amirudin, yang membuat dirinya pagi-pagi sekali telah pergi dari rumahnya sambil memikul lima buah rumah lebah yang terbuat dari kulit pohon kelapa ke kampung tetangga.

Di kampung tetangga ia mendapati betapa banyak lebah yang beterbangan di langit bagaikan kesetanan tanpa tujuan yang jelas. Ia juga mendapati pintu rumah di kampung itu semuanya tertutup rapat, dan orang-orang lebih suka mengintip kedatangan Amirudin ke kampung itu dari lubang kunci daripada harus keluar dan disengat lebah lagi. Orang-orang dikampung itu berharap Amirudin bisa menjinakkan lebah-lebah kesetanan itu dan sedikitpun tak berharap Amirudin bernasib sama dengan dirinya.

Amirudin segera mengacungkan rumah-rumah lebah yang dibawanya tersebut ke langit dengan bantuan bambu yang ia tancapkan ke tanah. Tanpa mantra atau jampi-jampi ia berdiri di antara ribuan bahkan puluhan ribu lebah yang kesetanan itu. Tak seekor lebah pun berani menyengatnya. Apalagi menyengat Amirudin, mendekati tubuhnya saja lebah-lebah itu enggan. Lebah-lebah itu lebih memilih masuk ke dalam rumah lebah yang terbuat dari kulit pohon kelapa tersebut dan berdesak-desakan seperti orang-orang yang kedinginan pada musim salju agar tubuhnya menjadi hangat.

Lima menit berlalu, semua lebah yang semula beterbangan di langit tanpa tujuan sudah berada di dalam rumah lebah yang dibawa oleh Amirudin. Orang-orang yang tadinya mengintip Amirudin melalui lubang kunci dan berharap Amirudin bisa menjinakkan lebah tersebut mulai berani membuka pintu rumah mereka. Dengan sedikit ragu-ragu kalau-kalau lebah lain datang lagi dan menyengat wajah mereka, mereka berjalan ke luar rumah dan mendekati Amirudin yang sedang menurunkan rumah lebah dari bambu-bambu yang ia tancapkan.

Semua orang di kampung itu kemudian memuji keberanian sekaligus keberhasilan Amirudin menjinakkan lebah-lebah itu. Sejak saat itu pulalah Amirudin mendapatkan gelarnya sabagai penjinak lebah ulung dari orang-orang kampungnya dan juga kampung tetangga. Ia menenteng rumah-rumah lebah yang telah penuh terisi lebah tersebut dan bergegas menuju ke rumahnya. Sampai di rumahnya ia menggantung rumah lebah tersebut di tiang gantungan yang terbuat dari bambu yang ia sandarkan pada dua batang pohon kopi.

***

SELAIN menjadi pawang lebah ulung, ia juga sukses menjadi peternak lebah terkaya di kampungnya. Ia berhasil menundukkan saingan-saingannya yang telah lebih dulu beternak lebah daripada dirinya. Keberhasilannya menjadi peternak lebah terkaya di kampungnya bisa dilihat dari rumahnya yang dulu hanya berdinding bata dan lantai yang hanya dipoles dengan semen kasar kini telah berubah menjadi rumah berlantai dua dengan ornamen-ornamen yang megah. Selain itu, di garasi yang berada di sebelah kiri kamarnya juga terparkir sebuah mobil mewah dan sebuah mobil pikap yang biasa ia gunakan untuk mengangkut madu hasil beternak lebahnya.

Baca juga  Ular-ular Peliharaan Bapak

Keberhasilannya sebagai peternak lebah yang sukses, membuat saingannya menjadi iri, dan saingan-saingannya itu berharap Amirudin mati disengat ribuan lebah yang ia pelihara. Tapi harapan dari para saingannya itu sia-sia saja, karena pada kenyataannya Amirudin sehat-sehat saja dan usaha peternakan lebahnya semakin maju dan bahkan ia mampu mempekerjakan beberapa karyawan yang membantunya merawat lebah dengan gaji yang lumayan menggiurkan.

Keadaan justru berbalik pada saingan yang iri padanya. Suatu pagi seorang saingan Amirudin dikabarkan meninggal dunia akibat disengat ribuan lebah peliharaannya yang mengamuk entah karena apa. Mendengar kabar itu Amirudin merasa kasihan padanya dan memutuskan untuk datang ke upacara pemakamannya dengan membawa amplop yang berisi beberapa lembar uang di dalamnya, serta menyampaikan pada keluarga yang ditinggalkan bahwa ia ikut berduka sebagai sesama peternak lebah.

Kemudian kabar buruk juga menyusul dari peternak lebah lainnya pada suatu siang yang sedikit gerah. Amirudin mendengar kabar peternak lebah tersebut mati terjatuh dari pohon mangga tempatnya menggantungkan rumah lebah, lalu tubuhnya terpelanting dan menghantam beberapa rumah lebah sebelum akhirnya lebah-lebah itu marah dan menyerangnya hingga membuatnya memuntahkan nyawanya.

Lagi-lagi hal itu membuat hati Amirudin tersentuh dan memutuskan untuk datang ke sana sehari sebelum upacara pemakamannya dengan membawa amplop yang berisi beberapa lembar uang serta mengatakan bahwa dirinya ikut berduka atas kematiannya, dan memberi beberapa wejangan kepada keluarga yang ditinggalkannya agar tabah menjalani hal itu.

Dan kabar-kabar buruk lainnya juga terus berdatangan dari saingan-saingannya yang lain yang mati karena disengat ribuan lebah yang dipeliharanya. Semua kabar itu juga membuat hati Amirudin tersentuh dan seperti biasa ia akan datang ke sana dengan membawa amplop sehari atau pada saat upacara pemakamannya dan mengatakan pada keluarga yang ditinggalkan bahwa ia ikut berduka atas meninggalnya rekan sesama peternak lebah itu.

Kini Amirudin menjadi satu-satunya peternak lebah di kampung itu yang masih hidup. Tak ada peternak lebah lain yang iri padanya. Tak ada peternak lebah lain yang berharap ia mati disengat ribuan lebah peliharaannya lagi. Di dalam hatinya tentu saja ia sangat gembira, namun ia tidak menunjukkan kegembiraanya itu secara terang-terangan pada orang lain dan ia memilih untuk memendam kegembiraannya itu dengan terus mengembangkan usaha peternakan lebahnya dengan menambah rumah lebah yang ia beli di pasar dan menambah jumlah karyawan yang akan membantunya mengurus lebah-lebah itu.

Baca juga  Ibumu

***

SUATU sore yang sedikit sejuk dengan desir angin yang memabukkan, Amirudin tertidur di bawah pohon mangga di dekat area peternakan lebahnya. Dua jam ia tertidur, akhirnya ia terbangun dari tidurnya dan meraung-raung kesakitan seperti anjing sambil memasukkan jari telunjuknya ke dalam telinganya. Amirudin berlari menuju ke rumahnya dan segera masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu kamarnya. Di dalam kamar ia tetap meraung-raung sambil membentur-benturkan kepalanya ke tembok karena tak kuasa menahan sakit di telinganya, sementara di luar istrinya menggedor-gedor pintu kamar sambil menanyakan apa yang terjadi namun tak pernah ada jawaban dari suaminya itu.

Hingga malam, Amirudin masih tetap meraung-raung di dalam kamarnya yang terkunci, dan sang istri juga masih setia menggedor-gedor pintu kamarnya. Pada malam hari menjelang pagi yang dingin, suara Amirudin yang meraung-raung kesakitan itu akhirnya berhenti, dan membuat sang istri menjadi lega lalu terlelap dalam mimpinya.

Keesokan harinya, sekitar pukul sembilan pagi istrinya memutuskan untuk mendobrak pintu kamar suaminya setelah memanggil-manggil namanya beberapa kali dan tak ada jawaban dari suaminya. Dan di dalam kamar ia mendapati sang suami mati dalam keadaan tergantung di langit-langit rumah dengan lidah terjulur menggunakan selendang yang biasa ia gunakan untuk menutup mata saat memanen madu lebah. Sang istri pun pingsan di tempat dan orang-orang beramai-ramai datang ke sana lalu menyimpulkan dengan serampangan bahwa Amirudin mati gantung diri karena tak kuasa menahan sakit di telinganya yang disengat seekor lebah peliharaannya seperti juga peternak-peternak lebah lainnya yang mati disengat lebah peliharaannya sendiri. (*)

 

Selumbung, 23 Januari 2014

I Putu Supartika lahir di Karangasem, Bali pada 16 Juni 1994 dan berkuliah di Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Ganesha Buleleng, Bali. Saat ini dia bergiat di Teater Kampus Seribu Jendela. dia menulis puisi dan cerpen dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!