PEJAGALAN
.
Sapi-sapi itu. Sapi dengan warna merah, kuning,
hijau, dan biru murung di kandang pejagalan. Pagi
tadi sapi putih dan hitam sudah menyerahkan
lehernya. Tikaman pisau di uratnya telah memutus
hak asasinya di dunia. Di tangan juru masak
barangkali kini dagingnya telah menjadi potongan
puisi; rendang hati, dendeng jantung, sate paruparu,
dan gulai otak. Sementara tunjang, kulit,
tulang, dan ususnya telah dilumuri kuah yang nikmat
seperti larik-larik sajak.
.
Sapi-sapi itu. Sapi dengan warna merah, kuning,
hijau, dan biru ingin melarikan diri sejauh-jauhnya.
Mereka bersepakat mencari sayap. Sayap itu ada di
pasar-pasar dan dijual mahal. Untuk menggantinya
perlu sebanyak 3 sapi. Sapi merah, kuning, dan
hijau bersedia dijadikan korban. Sebab bagi para
sapi biru adalah warna langit. Biru pun adalah
harapan. Kini sapi biru dapat terbang ke mana ia
suka. Namun ia sedih karena tak ada kawan.
Dijualnya sayap itu dengan sejumlah uang.
.
Sapi biru itu. Tak dapat mengembalikan sapi-sapi
yang lain. Uang tak bisa mengembalikan nyawa sapi
merah, kuning, dan hijau. Mendadak ia memilih
menjadi sapi yang dijagal. Tuan pemilik sapi
mencari sapi-sapi lainnya. Di dekat sapi biru
ditemukan banyak sekali uang kertas. Barangkali
telah datang pembeli, pikirnya. Sudah saatnya kau
disembelih. Sapi biru segera berdiri dan menuju
lubang pejagalan tanpa ditarik-tarik lagi. Kini ia
bertemu kembali dengan sapi-sapi lainnya.
.
Indramayu, 2019
.
RUMPUN ALFALFA
.
Sapi-sapi tidak boleh menangis. Tetap tenang.
Memamah jerami padi kering di mulutnya. Namun saya
tahu mereka gelisah. Memandang kincir air berhenti
berputar. Lenguhnya sesekali terdengar lebih panjang
dari musim. Menyanyat-nyayat seperti nyanyian
melankolia burung kehilangan rimbun hutan. Barangkali
ini bukan waktu yang tepat untuk berpinak. Melepas tahi
bahkan untuk mati sekalipun. Dulu tubuhnya gempal dan
padat. Sekarang sudah kurus. Tirus seperti danau susut.
Kemarau melumat daging-daging puisi di punuknya.
Bola matanya tak seindah telor mata sapi. Lebih mirip
tatapan bayi-bayi Rohingya kehilangan tanah
kelahirannya. Saya tak sampai hati melihatnya. Pagi itu
pun saya pergi ke padang tak bertuan. Memilih tangkaitangkai
segar dan daun yang dihinggapi embun.
Mengikatnya lalu memanggulnya di pundak. Seonggok
demi seonggok rumpun alfalfa berhasil membuat
senyumnya mekar. Itu bukan makan siang yang mesti
dibayar. Sekedar keinginan untuk berbagi sajak-sajak
kasih. Kepada siapa pun juga. Karena dalam firman dan
sabda pun demikian. Tetap tenang. Sapi-sapi tidak boleh
menangis.
.
Indramayu, 2019
.
Pages: 12
Leave a Reply