Cerpen, Herlina, Radar Jombang

Beri Aku Kesempatan Sekali Saja

5
(1)

ENTAH yang ke berapa kalinya benda ini kembali kumasukkan ke tong sampah. Puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan kali, benda ini selalu mengecewakanku. Tapi herannya aku tak pernah bosan untuk membelinya, karena sangat berharap memperoleh secercah harapan dari benda ini.

Suara sumbang mulai bernyanyi di sekitarku, tentang aku, suamiku, juga keluarga suami. Ada yang menyalahkan aku yang terlalu sibuk. Ada pula yang mencibir karena suamiku gendut, bahkan ada yang bertutur bahwa ini turunan.

Karena itulah aku pun pindah kerja. Semula aku seorang bidan di kampung yang jauh dari kota. Sedangkan suamiku bekerja di kota harus bolak balik satu minggu sekali menemuiku. Mungkin itu masalahnya kelelahan dan jarak jauh menyebabkan aku sulit hamil.

Orang-orang di kampung mulai kasak kusuk, “Tuh lihat bu bidan, percuma bidan, hampir tiap hari menolong orang melahirkan, tapi dia sendiri belum pernah melahirkan, bagaimana dia tahu rasa sakitnya melahirkan.”

“Kasihan padahal bodinya bagus dan wajahnya cantik, jangan-jangan suaminya yang bermasalah, suaminya kan gendut.”

Begitulah aku dan suami selalu menjadi bahan obrolan tetanggaku saat mereka bertemu di tempat penjualan sayur. Hatiku perih, seperti luka lalu diperas dengan jeruk asam, emangnya anak itu barang pesanan seperti kita memesan daging atau ikan dari abang tukang sayur. Kami juga kepingin punya anak. Saking inginnya, setiap akhir pekan kami selalu mengajak keponakan untuk bersama. Siapa tahu dengan dekat kepada anak kecil dapat memancing untuk cepat dapat momongan.

Sekarang aku tak lagi berada di kampung dan aku pun tak lagi menjadi bidan. Melainkan menjadi pegawai biasa di dinas kesehatan. Tadinya aku pikir dengan pindah ke kantor, pekerjaanku akan menjadi ringan, ternyata semakin sibuk. Sebentar-sebentar tugas ke luar kota, suami pun sering kutinggalkan.

Baca juga  Tidur Beralas Daun Rambutan

Aku larut dalam kesibukan, kehadiran momongan tak lagi menjadi prioritas. Beruntung mertuaku tak pernah menuntut untuk punya cucu dari suamiku sebagai anak laki-laki pertama. Aku tak pernah berkeluh kesah kepada siapapun tentang tak kunjung hamil, juga tidak pernah berpikir untuk mengadopsi anak. Sedangkan usaha ke dokter, ke tukang urut sudah kami lakoni. Bayi tabung saja yang belum kami lakukan karena biayanya mahal. Kami pasrah dan menyerahkankan semua kepada Allah Sang Maha Pencipta.

Tepat 17 tahun usia pernikahan, rahimku divonis terdapat miom. Setelah rembuk keluarga akhirnya kami setuju untuk dioperasi dengan harapan setelah operasi aku sehat dan bisa hamil. Setelah operasi selesai dan aku kembali beraktivitas seperti biasa, ternyata pasca operasi siklus bulananku masih belum normal. Aku berpikir mungkin rahimku sudah rusak dan peluang untuk mempunyai anak semakin kecil.

***

Kemarin sore ketika ibu pulang pengajian dengan penuh semangat menceritakan perihal bik Ummi teman pengajiannya yang baru pulang dari umrah. Setelah itu matanya tak berhenti menatap foto kabah di dinding kamar salat. Bukan sekali ini saja aku memergoki ibu berlama-lama di depan foto itu.

“Mas, please… aku ingin memberangkatkan ibu umrah,” aku sandarkan kepala ke dada suamiku. Dia mengangkat kepalaku, menancapkan netranya ke mataku. Terlihat netra itu berkaca-kaca. Sedetik kemudian kami berpelukan dalam keharuan. Mendekapku lebih kencang, aku merasa ada bulir jatuh menetes di pipiku.

Besoknya, aku dan ibu mertuaku dengan mengendarai motor matic berangkat menuju biro travel umrah. Dari kaca spion aku melihat wajah ibu nampak senang dan bahagia sekali. Teringat ketika aku dan suami mengurus pendaftaran haji untuk bapakku beberapa tahun lalu. Bapak juga gembira seperti halnya ibu mertuaku saat ini. Hari-hari berikutnya sejalan dengan daftar antrian tunggu lama dan panjang, kegembiraan itu perlahan sirna seiring dengan pertambahan usia dan penyakit tua yang menggerogoti. Bapakku pun berpulang ke pangkuan Ilahi, pergi bersama sepotong doa tulus yang ingin keluar langsung dari mulut bapak saat berada di tanah suci nanti. Doa agar aku dan suami bisa punya keturunan, berharap rida Allah yang kutitipkan pada rida bapak.

Baca juga  Politik dan Perempuan Cantik

***

Mertuaku sakit, akhirnya umrah yang didambapun tak terlaksana. Setelah melalui pertimbangan akhirnya kami berdua yang berangkat umrah, tentu dengan mempersiapkan mental ibu agar beliau tidak kecewa dan ikhlas melepaskan keberangkatan kami.

Setelah sampai di kota Madinah, air mata tak pernah berhenti sejak mulai naik bis yang membawa jamaah dari bandara menuju ke hotel di Madinah. Sepanjang perjalanan kami melantunkan salawat. Sebentar-sebentar pembimbing memperkenalkan daerah perlaluan bis, dan mengulas napak tilas Rasullulah hingga sampai ke Madinah. Ada rindu yang menderu ingin segera cepat sampai ke Masjid Nabawi yang selama ini hanya mengetahui dari tayangan televisi dan Youtube. Alhamdulillah semua karena Allah yang menggerakkannya.

Satu kamar berisi empat orang dan semua teman sekamarku adalah lansia. Otomatis ini adalah tambahan ladang amal buatku. Aku harus mengurus ketiganya, mulai ke masjid maupun ke tempat lain. Kami berempat selalu pergi bersama. Usia meraka mendekati 80 tahun. Ternyata tidak hanya di Madinah, kami pun terus berempat hingga kepulangan ke tanah air.

Saat sujud di atas karpet merah Masjid Nabawi aku tumpahkan segalanya. Kuadukan kepada yang Maha Pencipta, tentang kelelahan jiwaku menanti si mungil buah cinta, tentang penyakit yang bersemayam di rahimku, tentang titipan tiga lansia yang menyita waktu untuk beribadah kepada-Nya. Tapi jika ini karena dosa-dosaku, aku mohon ampuni ya Allah. Melintaslah di benakku wajah ibuku yang selama ini hanya kupandang dari foto usang yang tak seberapa jumlahnya. Aku tak sempat mengurusnya. Anggap ini sebagai pengganti. Air mata ini pun tak sanggup lagi dibendung, beri aku kesempatan hamil ya Rabb. ***

Herlina, tenaga pendidik SMP yang lahir di Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung.

Loading

Leave a Reply

error: Content is protected !!