Ayunda Rizky Nur Rohmah, Cerpen, Radar Malang

Cincin untuk Sefia

5
(1)

KEMBALI bertemu dengan bulan Agustus, entah rasanya Sefia tidak pernah mengharapkan bulan ini untuk datang kembali. Lima tahun yang lalu, tepat di hari di mana ia merasa kehilangan semuanya. Ia kehilangan sahabatnya, ia juga kehilangan kekasihnya. Di hari itu juga dia merasa Tuhan sedang tidak adil. Ia terus melakukan self harness karena ia terus merasa marah, hingga akhirnya seseorang menyarankan dirinya untuk mendatangi psikolog karena sudah terlalu banyak memar pada kedua lengannya.

Awalnya ia merasa baik-baik saja dan ini akan segera berakhir. Namun nyatanya tidak. Ia terus merasa dunianya benar-benar hancur. Ia mulai mendatangi seorang psikolog untuk melakukan konsultasi hingga ia ditawarkan untuk melakukan terapi setiap satu bulan sekali. Drama yang berkepanjangan membuatnya muak dan ingin mengakhiri saja hidupnya.

Menurutnya, dunianya sudah tidak memiliki harapan lagi untuk diperbaiki. Bahkan jika ia harus membangun kembali kehidupannya, ia merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri. Lukanya sudah terlalu dalam. Pada tahun pertama merupakan tahun terberat di dalam kehidupannya, dimana ia menjadi seseorang yang lebih dingin, tanpa lagi memikirkan perasaan orang lain. Menurutnya, sudah cukup saja semua kebaikan yang pernah ia lakukan kepada siapapun.

Sefia marah, kepada dirinya sendiri. Dia merasa sangat kecewa karena terlalu bodoh percaya dengan orang-orang di sekitarnya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menjual rumah peninggalan kedua orang tuanya dan memutuskan untuk pindah ke Bali. Dia memilih Bali bukan karena alasan. Dia bahkan telah mempertimbangkan ribuan alasan sebelum memutuskan kepindahannya ini setelah tiga tahun berdamai dengan kondisinya.

Di sebuah cottage yang terletak di wilayah Nusa Dua. Ia bekerja di sana sebagai manager staff. Ia kembali memulai segalanya yang baru. Tidak cukup sampai di situ, ia merubah penampilannya menjadi seseorang yang menurutnya lebih terlihat dewasa. Hingga ia merasa dunia yang ia bangun kembali sedikit terobati.

Baca juga  Gambar

Pantai terhampar luas di hadapan matanya. Ia menghela napas panjang sembari menikmati sunset. Hobi baru yang ia selalu lakukan hampir setiap hari di kala pekerjaannya sudah ter-handle dengan baik. Terkadang ia juga menulis beberapa artikel untuk diterbitkan pada media cetak Bali. Menurutnya, ia menjalani semuanya bukan tanpa alasan.

“Halo Sef, ini ada kiriman. Katanya buat kamu. Aku taruh di laci receptionist ya,” ujar seseorang melalui telephone di seberang sana. Sefia menerawang jauh sembari berpikir karena dia bukan tipikal orang yang menyukai belanja online. Langit pun sudah gelap, hanya tersinar oleh beberapa titik lampu dari restoran di bibir pantai. Ia melangkahkan kakinya menuju lobby cottage.

“Din, ini dari siapa?” Sefia bertanya kepada teman yang tadi menelponnya. Dini hanya menoleh sambil mengarahkan sorot matanya karena baru menyadari bahwa paket tersebut tidak tertera nama pengirim. Hanya bertuliskan Sefia Labio.

“Lah, iya juga kok aku baru nyadar,” dengan ekspresi santai Sefia hanya mengangguk sembari melangkahkan kakinya untuk kembali ke mess karyawan. Ia kembali berteriak terimakasih karena lupa belum mengucapkan kata sakral tersebut.

Di sepanjang koridor dia menolehkan kepalanya dan sorot matanya tidak berhenti mengawasi para tamu yang baru saja tiba. Ia menghentikan langkah kakinya karena melihat salah satu tamu di kamar VVIP yang menurutnya jika dilihat dari postur tubuh dan jenjangnya bukan orang yang asing bagi dia. Cukup lama Sefia mengawasi pergerakan laki-laki itu sembari menyipitkan mata karena suasana yang remang-remang membuatnya sedikit kesusahan melihat siapa pria dari arah jam 11.

“Ah masa bodoh,” batinnya, Sefia kembali melangkahkan kaki menjauh dari lorong. Kali ini dia tidak lagi melihat sekelilingnya. Karena merasa lapar, ia singgah di kantin sebentar. Ia mengambil piring yang di atasnya tersedia nasi, cumi-cumi bakar, dan sayur asem. Tanpa berpikir panjang setelah mendapatkan posisi duduk yang enak dia segera melahap. Namun kembali ia melihat kotak box yang terbalut kertas coklat berada di sebelah kanannya membuatnya kembali berpikir. Siapa yang sedang mengirimkannya kado, apakah ada salah satu tamu yang sedang mengucapkan terima kasih. Tetapi ia ingat betul bahwa satu minggu ini ia bahkan tidak mendampingi tamu yang sedang liburan. Dia hanya piket di bagian receptionist saja.

Baca juga  Ada Marela, Ada Mama

Sefia mempercepat makannya dan segera membuka paketnya setiba di kamar. Ia memandangi box itu cukup lama. Seperti masih berpikir siapa pengirimnya. Sejenak dia berpikir mungkin nama pengirimnya di tulis di dalam box. Perlahan ia membuka box tersebut. Ternyata box tersebut masih terlapisi beberapa box lagi. Hingga akhirnya pada box terakhir ia melihat ada tali yang membentuk pita. Ia diam, masih membisu. Membolak balik box kecil tersebut sebelum membukanya. Perlahan Sefia membuka box tersebut dan dia sedikit terkejut. ***

Bersambung

Ayunda Rizky Nur Rohmah. Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggris UIN Malang Cincin untuk Sefi a Bersambung

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!