YOGYAKARTA, itulah kota kenangan yang tak terlupakan. Di tempat itu, aku mengenyam pendidikan. Di situ aku mulai mengenal berbagai teman dari berbagai daerah di Tanah Air. Tak ada keluarga, famili ataupun sanak keluarga yang tinggal di sana.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di kota pelajar tersebut. Aku mulai mengenal teman baik dari Sumatera seperti Riau, Jambi, Bengkulu, dan Lampung. Begitu juga ada teman dari Jawa seperti Pekalongan, Boyolali, Solo, Purworejo dan sebagainya.
Salah satu teman akrab yang tak terlupakan yakni Defri. Pria asal Jawa Tengah tersebut merupakan teman baik yang tak bisa kulupakan. Betapa tidak, beliau yang memperkenalkan kehidupan Yogyakarta denganku.
Mulai dari kebudayaan, pariwisata hingga makanan khas. Meski Defri bukanlah asli Yogyakarta namun pergaulan dan bahasa Jawa yang dimilikinya menjadi komunikasi Defri untuk mendapatkan banyak teman di Pulau Jawa.
“Saya ini, orangnya nggak suka neko-neko. Apa aja bisa diajak berteman akan saya terima,” ujar Defri dengan khas logat Jawanya. Perkenalan pun berlanjut. Apalagi aku dan Defri teman satu kampus.
Awalnya, kami giat menuntut ilmu di semester awal. Sayangnya, Defri mulai tergoda narkoba hingga kuliah di semester berikutnya mulai jadi amburadul. Bahkan dia tak sempat menyelesaikan pendidikan karena harus di-drop out oleh kampus.
“Iya, saya rusak karena narkoba,” akuinya. Meski demikian, ia tak pernah meracuni teman-teman kuliah untuk ikut dengannya. Diakuinya, narkoba tersebut dikenalnya lewat teman yang bukan satu kampus. Ia mengatakan, awalnya hanya coba-coba dan mendapat secara gratis.
Namun lama kelamaan narkoba tersebut menjadikan dirinya kecanduan. Bukan hanya biaya kuliah menjadi korban namun harta yang ia miliki juga nyaris habis dijual hanya untuk narkoba. “Itulah penyesalanku yang tak akan kulupakan,” ungkap Defri.
Defri, menjadi teman tak terlupakan bagiku. Di saat aku ada masalah, ia orang yang pertama menghiburku. Dia juga tidak pernah menyodorkan narkoba dan mengajak hal yang tak baik. Intinya, ia hanya merusak dirinya sendiri tampa mengajak orang lain.
“Tak ada yang dapat kusesalkan. Namun aku berusaha untuk bangkit dari ketepurukan,” kata Defri kepadaku. Ia mengakui, harta yang dimiliki orang tuanya bukan jamin untuk menjadikan dirinya lebih baik. Tapi sebaliknya, ia mengatakan orang tuanya hanya bisa memberikan harta namun tidak memberikan rasa cinta.
Hal itu karena kedua orang tuanya sudah broken home. Meski demikian, Defri selalu tersenyum di hadapan teman-teman. Ia tak pernah mengeluh akan persoalan biduk rumah tangga orang tuanya. “Semua ini aku tutup rapat-rapat agar tidak ada yang mengetahuinya,” cetus Defri.
Baginya, teman adalah segalanya. Kebaikan terhadap teman akan menjadikan dirinya lebih semangat. Kini Defri terus menyongsong untuk melanjutkan usaha orangtuanya. Ia berusaha tidak mengecewakan orang tua meski kuliahnya tak selesai. Aku dan Defri mulai terpisah sejak selesai kuliah. Aku pulang ke kampung halaman. Begitu dia pulang ke rumah orang tuanya di Pekalongan. Lama tak terdengar, Defri ternyata sudah menikah. Ia sempat menghubungiku dan menanyakan kondisiku.
“Apa kabar? Sehat ya. Saya sekarang udah nikah dan dikaruniai anak,” ujar Defri saat menghubungikan. Aku pun demikian menjawab pertanyaannya. “Alhamdulillah sehat,” jawabku pada dia. Dia juga mengatakan kalau kondisinya kini membaik, namun untuk kesehatan mengalami penurunan. “Iya, itu mungkin dampak saya suka narkoba,” cetus Defri.
Meski berusaha untuk meninggalkan kebiasaannya, namun Defri mengaku sudah menjadi kecanduan dalam mengonsumsi obat. Baik itu obat untuk kesehatan maupun obat-obatan.
Komunikasi yang sudah berlangsung hingga 10 tahun itu mengenangkan saya betapa baik dan tidak lupanya Defri untuk mencari teman. Awalnya, saya pun lupa akan nomor telponnya. Ternyata dia diam-diam mencari nomor telepon saya yang sudah sering berganti. “Kita tetap teman, ya. Kapan mau main ke Jawa lagi. Ayo kito ngumpul di Jogja,” ajaknya. Sayangnya, tawaran Defri tidak berlanjut. Kami tidak dipertemukan kembali. Dia dikabarkan tutup usia karena menderita penyakit kronis. Itupun saya dapat info dari teman-teman kampus bahwa Defri telah tiada.
Meskipun dia telah tiada. Namun banyak kenangan yang kami lakukan. Usai yang tak muda lagi hanya berdoa agar Defri bisa diterima di sisi-Nya. ***
Nabila Ipeh. Penulis Mahasiswi UIN Raden Fatah Palembang.
Leave a Reply