“ADUH aduh aduh… sakitnya!” teriak tas yang teronggok di pojok kamar setelah dilemparkan oleh Nyonya Sonya yang baru pulang arisan dengan para sosialita. Nyonya Sonya lantas ngomel-ngomel.
“CELAKA celaka… korona memang celaka. Mau ditaruh di mana mukaku. Padahal penampilanku sudah perfect, tapi dinodai oleh tas yang tak pantas!”
Teriakan kesakitan tas menarik perhatian high heels yang nangkring di rak penuh sarang laba-laba. Sang sepatu hanya bisa melirik dan mencibir. Sore tadi ia merasa iri karena tidak diajak pergi Nyonya Sonya. Yang ditenteng hanyalah tas yang bagi tuannya dirasa cantik dan branded. Harganya memang mencapai deretan enam nol. Namun, high heels merasa setara dengan si tas, bahkan merasa lebih bonafide menunjang penampilan Nyonya Sonya. Setelah dirinya tidak terpilih, hati high heels merasa tercabik. Ia telah gagal menunjang penampilan Nyonya Sonya agar semakin cantik dan apik. High heels merasa sakit hati dan iri kepada si tas. Melihat penderitaan si tas, ia merasa puas. Hatinya tak lagi panas. Luka-luka yang membayangi seluruh tubuh tas, seperti serat daun jati digerogoti ulat. Hatinya merasa tercekat.
***
“Papa!” teriak Nyonya Sonya.
“Ada apa, Ma?” Tuan Soka tanpa menoleh, matanya terpaku pada gawainya.
“Papa!” teriak Nyonya Sonya lagi sambil mendekat kepada suaminya yang sedang bersantai di sofa depan kamar.
“Hem,” jawab Tuan Soka masih bergeming menimang gawainya.
“Tahu nggak Pa, aku tadi malu banget waktu arisan di Ibu Tonny,” cerita Nyonya Sonya sambil mengempaskan pantatnya di samping suaminya.
“Kok?” tanya Tuan Soka singkat.
“Aku tadi sudah tampil prima dan sempurna saat arisan, ternyata tas hadiah Papa pas ultahku tahun lalu membuatku kehilangan muka!” kesal Nyonya Sonya.
“Kok bisa?” tanya lagi suaminya dengan singkat.
Nyonya Sonya beranjak ke kamar menuju sudut dan mengangkat tas yang penuh bopeng.
“Lihat ini, Pa! Tas ini rontok semua, kulitnya mengotori tangan dan bajuku. Aku jadi bahan lirikan sinis ibu-ibu,” omel Nyonya Sonya sambil melemparkan tas bermerek itu ke muka suaminya.
Tuan Soka, yang sok kaya, merenung dan bermenung. Ia memang suami sok kaya. Ia sering membelikan barang KW untuk istrinya. Istrinya tidak mau tahu penghasilan suaminya. Tuntutannya terlalu tinggi, besar pasak daripada tiang. Beruntung istrinya agak oon, sehingga tidak tahu kalau dibohongi suaminya. Nyonya Sonya, sok narsis dan kaya, setali tiga uang dengan suaminya. Soal gaya hidup, yang sekarang semakin redup.
***
Mendengar percakapan suami dan istri yang memanas, para penghuni kamar mulai berdebat. Si celana yang sebelah kakinya menjuntai di rak lemari, semakin lemas. Ia merasa sebagai produk KW yang semakin merana. Apalagi tuannya sudah setahun menjadi tunakarya, alias pengangguran. Pabrik tempatnya bekerja bangkrut akibat pandemi. Pemiliknya melarikan diri kembali ke negara asalnya, setelah melihat separo lebih karyawannya terpapar Covid-19. Demi eksploitasi pabrik, ia tetap mempekerjakan karyawannya. Ia melanggar protokol kesehatan. Ia tidak mengizinkan karyawannya cuti sakit. Ia abai dan menganggap korona sebagai influenza biasa. Sebagian besar bangunan pabrik digunakan sebagai tempat isoman bagi karyawannya. Setiap hari sirine ambulans meraung, membawa gaung petaka dan maut. Kondisi itu membuat bulu kuduk berdiri dan terasa ngeri.
Sudah ada setahun celana kolor atau celana pendek menghiasi kaki tuannya. Atau kadang bersarung berkumpul bersama para penganggur di pos ronda. Para lelaki gagal yang hanya bisa mengkhayal dan bicara tak masuk akal semakin kehilangan akal sehat. Tanpa peduli nasib sesama dan keluarga, mereka tetap bersuka ria. Tanpa peduli protokol kesehatan, mereka begadang sambil makan dan merokok bersama. Diminta Pak RT memakai masker, mereka malah berkata, “Memangnya kami ninja dan monster, memangnya kami dokter harus pakai masker. Kami lelaki perkasa, setan ora doyan demit ora ndulit.” Sungguh sikap yang arogan dan menantang maut.
Pagi itu badannya mulai lemas. Ia minta dibuatkan wedang jahe dan kerokan. Nyatanya kondisinya tidak berubah, bahkan malamnya demamnya meninggi. Nyonya Sonya semakin panik. Apalagi paginya Tuan Soka sudah mulai tidak bisa membaui kopi yang disajikan istrinya. Ia mengalami anosmia. Ternyata kelompok bapak-bapak yang biasa nongkrong di pos ronda sebagian besar perpapar, bahkan ada tiga orang yang sudah terkapar tanpa sadar di rumah sakit. Tuan Soka pun dilarikan ke rumah sakit karena sudah tidak bisa mengangkat tubuhnya dan mulai kehilangan kesadaran. Saturasinya semakin menurun. Kadar oksigen dalam darah sudah mencapai 65. Ia harus mendapat pertolongan secepatnya agar nyawanya tertolong. Nyonya Sonya hanya menangis melolong melihat penderitaan suaminya lewat kaca jendela. Ia harus mengikuti tes antigen untuk menentukan dirinya tertular atau tidak, mengingat ia berkontak erat dengan suaminya.
Pulang dari puskesmas untuk mengambil hasil tes antigen dan dinyatakan negatif, Nyonya Sonya bersyukur dan beristigfar. Belum puas berucap syukur, gawainya berdering. Secepatnya ia mengangkat panggilan telepon.
“Maaf, Ibu, kami memberi tahu bahwa Bapak sudah berpulang,” kata Pak RT dari balik telepon.
“Bapak pulang? Sudah sembuh, Pak?” Begitu terkejutnya Nyonya Sonya menjawab telepon dari Pak RT.
“Maaf, Ibu, Bapak berpulang ke rahmatullah,” ucap Pak RT pelan.
“Ap… apa?”
Dunia tiba-tiba gelap. Nyonya Sonya tak sadarkan diri. Ia merosot sambil berpegangan pada lipatan celana yang menjuntai. Ia tersungkur, celana mengikutinya. Celana pun semakin merana dan merasa tak berguna. Ia tak bisa lagi membelai paha Tuan Soka. ***
AGNES ADHANI. Tinggal di Kota Madiun.
Leave a Reply