Cerpen, Radar Bojonegoro, Yusab Alfa Ziqin

Menanti Kabar di Tepi Pantai

Menanti Kabar di Tepi Pantai

Menanti Kabar di Tepi Pantai ilustrasi Tini/Radar Bojonegoro

3.3
(4)

Cerpen Yusab Alfa Ziqin (Radar Bojonegoro, 05 September 2021)

PERTENGAHAN Oktober 1936.

Hari mulai terik ketika kabar tenggelamnya kapal Van Der Wijck di laut Brondong, Lamongan, sampai di daratan. Surat kabar pagi di Surabaya ramai memberitakan kapal yang harusnya masih akan berlayar ke Semarang-Tjirebon-Batavia itu.

“Menurut surat kabar ini, kapal tenggelam karena anu. Eh, tapi … tidak! Menurut surat kabar itu, Van Der Wijck tenggelam karena ini,” setiap orang yang tidak menderita bisu mendadak jadi penyiar berita.

Di pesisir Pantai Brondong sendiri, para istri nelayan bersama bayi dan balitanya harap-harap cemas menunggu suami berlayar mencari penumpang selamat dari kapal Van Der Wijck.

“Sudah lama, Mbak Mimah? Apa lihat suamiku berangkat tadi?” Lastri datang tergopoh-gopoh menggendong bayinya.

Mimah yang duduk di bawah pohon kelapa bersama dua anaknya berkata, “Lihat, Las. Suamimu berangkat sendiri pakai perahu kecil. Gak ada yang mau menemani. Orang pada pilih yang ramai-ramai pakai perahu besar.”

“Astagfirullah, Mas Hadak!”

“Kenapa astagfirullah?”

“Mas Hadak sedang sakit, Mbak Mimah. Pagi dan malam batuk terus tak mau berhenti.”

“Tapi suamimu kan tak pernah mengeluh sakit.”

“Tetap saja aku kuatir, Mbak Mimah.”

Lastri berjalan mendekati bibir pantai meninggalkan Mimah. Telapak tangannya menghalau terik dan matanya disipitkan memandang jauh ke laut, “Ya Allah, Mas Hadak,” keluhnya.

Bayi dalam gendongan Lastri menggeliat dan menangis. Buru-buru Lastri membuka sedikit kain kebayanya dan menyumpal mulut bayinya.

“He, Las! Kasihan bayimu. Di sini saja tidak panas,” teriak Mimah dari bawah pohon kelapa.

Lastri tersentak. Ia melihat ke arah Mimah, ke arah bayinya, kemudian berlari ke tempat Mimah.

Baca juga  Sumur Pandan

“Jangan gugup, jangan kuatir, Las. Lihat, selain kita kan banyak yang menunggu suami,” Mimah menunjuk gerombolan perempuan-perempuan di tepi pantai.

“Betul, Mbak. Tapi aku sangat mencintai suamiku.”

Mimah melotot, “Kau kira aku dan mereka tidak cinta pada suami, he?”

“Eh, bukan. Bukan begitu, Mbak,” Lastri menghela napas, “Mas Hadak sedang sakit. Aku takut kalau dia tidak kuat di tengah laut sana lalu … lalu …”

“Lalu … lalu … lalu mati. Perahunya terbalik.”

“Astagfirullah, Mbak Mimah. Amit-amit,” Lastri memandang cemas ke laut, “Aku kuatir Mas Hadak kenapa-kenapa. Soalnya lihat saja,” Lastri menunjukkan bayinya pada Mimah, “Hasan masih begini kecil. Masih bayi.”

Mimah mengecap-ecapkan bibir dan menggeleng-gelengkan kepala. Lastri kembali memandang laut dan tangannya mengelus-elus bokong bayinya.

***

Agak jauh, dari arah jalan besar tampak rombongan orang kulit putih dan orang kulit cokelat berjalan menuju pesisir. Seorang istri nelayan berseru, “Lihat, Asisten Residen datang. Oh … bukan, itu patihnya. Eh … tidak, benar itu Asisten Residen Lamongan yang datang!”

Istri nelayan yang lain menyahut, “Betul, itu dia Tuan Asisten Residen Lamongan. Aku pernah lihat dulu waktu di stasiun. Dan yang pakai beskap dengan bawahan jarik itu, aku tahu juga … Kanjeng Bupati!”

“Betul, betul. Cuma wedono saja tidak ada. Barangkali berhalangan.”

Kerumunan istri bergerak merapatkan diri menyambut rombongan. Ketika rombongan lewat, kerumunan istri nelayan memerlukan menunduk. Juga Mimah dan Lastri berjarak agak jauh dari lewatnya rombongan memerlukan menunduk.

Sampai di bawah pohon kelapa yang rimbun, rombongan berhenti dan kerumunan istri nelayan mendekat seluruhnya. Juga Mimah dan Lastri mendekat ke hadapan rombongan itu.

Baca juga  Laki-Laki Bermata Dingin

Suasana jadi hening sebentar, kemudian Bupati membuka suara: “Aku bangga pada suami-suami kalian. Aku doakan semuanya selamat, ya. Mereka semua pasti selamat. Kan mereka nelayan tangguh. Aku tahu juga itu. Mereka pasti kembali pada kalian,” Bupati tersenyum, sementara Asisten Residen hanya manggut-manggut.

“Nggih, Ndoro. Amin, Ndoro. Pangestu, Ndoro,”

Bupati tersenyum puas. Ia menyilahkan kerumunan itu bubar, kemudian ia dan rombongan berjalan mendekati bibir pantai.

***

Tak lama sekembalinya rombongan Bupati dan Asisten Residen dari pesisir pantai, titik-titik hitam dari laut semakin lama semakin besar dan nyata bahwa titik-titik hitam itu adalah perahu.

“Ya Allah, suamiku telah kembali, Mbak Mimah,” Lastri sumringah.

Mimah tidak menyahuti. Dia sibuk menata rambut dan pakaiannya.

Perahu pertama yang datang adalah perahu berukuran besar yang ditumpangi suami Mimah. Perahu yang ditumpangi suami Mimah itu tampak membawa puluhan orang pingsan, setengah pingsan, dan orang yang sudah kaku dagingnya. Bersama rombongannya, suami Mimah menurunkan penumpang-penumpang Van Der Wicjk sedang para istri membantu menepikannya ke bawah pohon-pohon kelapa.

Dalam keadaan repot itu, Lastri mondar-mandir mencari suaminya yang belum juga kelihatan.

“Mas … Mas Nur, mana Mas Hadak?” Lastri bertanya pada suami Mimah yang sudah bersama Mimah.

“Sebentar lagi sampai, Las. Jangan kuatir. Sungguh hebat suamimu itu. Sendirian dan … dan ….”

“Dan apa, Mas?”

“Dia bawa penumpang Panjerwik satu orang. Perempuan, Las. Sangat cantik. Kulitnya putih, bukan Londo, Cina juga bukan. Pribumi sama seperti kita, tapi kainnya seperti kain yang pernah aku lihat dulu di Sumatera. Suamimu bilang, ‘Hayati’ namanya. Entah tahu dari mana,” Mas Nur terbatuk, “Tapi betul, cantiknya bukan main. Masih hidup, Las. Cuma pingsan saja. Tadi dia tunjukkan pada kami dengan penuh kebanggaan.”

Baca juga  Ketika Koral Bertemu Emerald

Badan Lastri tiba-tiba terasa rontok. Pandangannya jadi kosong, kedua tangannya terjuntai ke bawah. Kata-kata Mas Nur itu seperti petir menyambar dadanya. Hatinya pedih, panas, dan tiba-tiba pipinya menjadi basah.

“Kau ini omong apa, he? Perempuan cantik, Hayati, berkulit putih. Dasar lelaki brandal!” Mimah memukuli suaminya.

“Jangan kau masukkan dalam hati, Las. Suamiku memang suka menggoda.”

Lastri menyeka mata dengan selendang gendongannya, “Tidak, Mbak Mimah. Tidak apa.”

“Kalau tidak apa mengapa menangis kau, he?”

“Aku bahagia, Mbak Mimah. Mas Nur selamat dan akan segera sampai ke tepi.”

“Kalau begitu kau tetap di sini, ya. Tunggu suamimu. Masih banyak perahu yang belum menepi. Aku akan mencari anak-anak dulu sama Mas Nur, entah pergi ke mana mereka.”

“He’e, Mbak,” jawab Lastri hampir tak terdengar.

Dalam hati ia ingin betul berlari pulang. Secara tiba-tiba, timbul rasa benci pada suaminya. Juga pada perempuan berkain Sumatera bernama Hayati itu, ia juga benci. Ia ingin pulang, tapi ada perasaan lain mencegahnya. Lastri yang menanti, tak mengerti perasaannya sendiri. ***

.

.

Yusab Alfa Ziqin. Tinggal di Bojonegoro. Buku pertamanya terbit pada 2020, sebuah kumpulan cerpen berjudul “Mereka yang Tak Menduga”.

.

Menanti Kabar di Tepi Pantai. Menanti Kabar di Tepi Pantai. Menanti Kabar di Tepi Pantai. 

Loading

Average rating 3.3 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!