BETAPA rakyat jelata mengelu-elukan hiburan menawan. Pada 1960 sampai 1970-an, pemerintah gencar-gencarnya memberikan penyuluhan, penerangan, propaganda yang dibalut dengan pemutaran film/bioskop yang digelar di tempat-tempat (tanah) lapang dan strategis.
Acara dipandegani oleh departeman penerangan ketika itu, boleh dikata efektif mengumpulkan massa. Padahal, pancingannya hanyalah sepotong film hitam-putih Charlin Chaplin. Bisu. Tanpa suara. Kru kerabat kerja Departeman Penerangan itulah yang dituntut lihai dalam memberi bumbu-bumbu dubbing (pengisian suara) secara spontanitas.
Perkembangan berikutnya, tampilan layar tancap dikuasai oleh bakul jamu. Setidaknya ada dua industri jamu besar dan ternama di Indonesia. Perusahaan jamu ‘J’ dan ‘AM’ (keduanya sama-sama dari Jawa Tengah). Karena saat itu masyarakat masih amat sangat haus hiburan.
Tentu setiap ada pagelaran misbar (gerimis bubar) dijamin pasti pengunjungnya membludak. Hingga mereka rela berduyun-duyun dari rumah membawa tikar sendiri.
.
Judul Buku : Ketika Film Layar Lebar Hadir di Televisi
Penyusun Buku : Azimah Subagijo & Yayuk Sriwartini
Format/Ukuran : 21×14 cm
Jumlah Halaman : 197 halaman
Tahun Terbitan : Tanpa tahun
.
Film-film yang diputar pun sudah modern. Tidak lagi hitam-putih. Sudah terisi suaranya. Walau yang diputar itu adalah lungsuran dari layar lebar (gedung bioskop gedongan papan atas). Khalayak penonton pun masih betah dan puas menunggu hingga tuntas.
Berangkat dari maraknya film layar lebar di era 1980 hingga awal 2000, stasiun televisi (TV) satu-satunya yang ada milik pemerintah itu membuat agenda acara bertajuk apresiasi film. Presenternya dipandegani oleh Sandi Tiyas. Dengan vokalnya yang khas.
Tayangannya mengasyikkan. Analisanya akurat. Muatannya padat. Layak penambahan wawasan keilmuan. Maklum kala itu media hiburan masih langka. TVRI sebagai corong pemerintah tentu ketat menyensor materi-materi tayangannya.
Hasil sensoran film layar lebar untuk konsumen penonton televisi ada di dalam buku yang ditulis oleh Azimah Subagijo dan Yayu Sriwartini. Lebih menakjubkan lagi: ada ju dul-judul film dan foto-foto adegan yang dilarang.
Buku bacaan ringan dan santai 197 halaman itu di bawah kendali penerbit Grasindo. Cocok dan pas bernostalgia bidang perfilman. Baik hasil karya dari mancanegara maupun produksi dalam negeri. Seiring canggihnya media sosial industri film layar lebar terkalahkan. Betapa tidak! Sekali klik dalam pencarian di Google saja sudah dapat kita temukan bahan-bahan tayangan (film) yang diinginkan. Tanpa sensor lagi! ***
AHMAD FANANI MOSAH. Guru SMPN 3 Babat.
Leave a Reply