Cerma, Monaris Pasaribu, Waspada

Kelu dan Senja

5
(1)

MELANGKAH menuju pantai untuk melihat senja, semenjak kerja part time sudah lama sekali tidak menginjak tempat favorite-ku. Melihat proses matahari yang akan tenggelam seperti dunia mengerti perasaanku. Tiba-tiba seorang gadis datang menghampiri, dia mengulurkan tangannya mengajak berkenalan tetapi aku merasa terganggu dan pergi meninggalkannya.

Seperti biasa setiap pagi aku pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu. Namun, suasana sekolah tidak berbeda dengan kondisi hidupku. Beberapa siswa pembuat onar menghalangi, aku pasrah menerima pukulan dari mereka.

Pernah saat itu aku melawan perlakuan mereka tetapi pukulan yang semakin keras kudapatkan. Jadi tidak ada gunanya melawan, merasa puas mereka pergi begitu saja. Aku mengembuskan napas dan berusaha berdiri lalu menuju kafe. Sampai di tujuan, aku menghadapkan diri di depan cermin melihat wajah yang penuh memar. Setelah itu, segera mengganti seragam sekolah dengan pakaian yang disediakan pihak kafe.

Hari ini kafe lebih ramai dari biasanya membuat diri ini cepat lelah. Aku mengantar secangkir kopi kepada seorang gadis, melihat kopi yang dipesan sudah ada di atas mejanya dia tersenyum.

“Manis, senyumnya sangat manis,” batinku.

Dia menoleh hendak mengucapkan terima kasih tetapi saat melihat wajahnya aku langsung pergi. Dunia ini sangat luas, mengapa harus bertemu dengan gadis itu lagi? Malam pun tiba tiba-tiba suara ponselku berbunyi, sebuah pesan dari nomor yang tidak kukenal. Ia memberitahu nama dan menyuruh menyimpan nomornya.

Di bawah pohon rindang, aku duduk mendengar lagu menggunakan earphone sambil membaca buku. Lalu, seorang gadis tiba-tiba duduk di sampingku. Ternyata dunia itu sempit, gadis tersebut yang pernah menemuiku di pantai dan kafe.

“Namaku Bella, yang mengirim pesan kepadamu,” katanya.

Seperti teror, dia menceritakan banyak hal dan satu fakta yang mengejutkan saat dia mengatakan sudah memperhatikanku sejak lama. Gadis bernama Bella itu cukup kesal karena aku hanya mendengar, lalu kuambil buku kecil berwarna biru langit dari saku celana dan menuliskan beberapa kata.

Baca juga  Terlanjur Disalahartikan

“Aku bisu.”

Bella terkejut membaca kalimat tersebut, bisa kutebak dia pasti menyesal. Sebelum dia pergi, aku sudah melangkah terlebih dahulu.

“Reno, boleh aku menjadi teman kamu?”

Jantungku berdetak dengan cepat, selama delapan belas tahun hal ini baru pertama kalinya terjadi. Aku sangat tidak percaya, kami baru berteman beberapa menit yang lalu tetapi Bella tidak canggung sama sekali, dia bahkan merawat memar di wajahku.

Bel sekolah berbunyi tanda jam belajar telah selesai. Diri ini ingin mengantarkan Bella pulang ke rumah tetapi dia menolak dan mengatakan ingin menemaniku bekerja di kafe. Gadis ini penuh dengan kejutan.

Bulan berganti dengan tahun, hari ini acara kelulusan sekolah. Bella memberikanku sebuah gantungan bergambar harimau sebagai hadiah. Tentu kutolak karena tidak menyiapkan hadiah untuknya. Namun sifat keras kepala Bella lebih mendominasi, dia memasang gantungan tersebut di tasku.

Saat malam tiba, Bella mengirim pesan yang tidak masuk akal. Membacanya saja membuat bingung lalu bagaimana menjalaninya? Aku membalas pesan Bella dengan menyebutkan semua kekurangan, dimulai dari anak yang tidak diinginkan oleh keluarga bahkan membuangku dan berakhir hidup sebatang kara. Jangan lupa, kekurangan utamaku yaitu bisu. Sebenarnya mengirim isi pesan seperti ini tidak ada artinya karena Bella sangat mengenal pribadiku. Tiba-tiba terdengar suara pintu yang diketuk, saat membuka pintu ada Bella di hadapanku. Benar-benar malam yang mengejutkan.

“Ren, ayo pacaran,” katanya.

Kalau boleh jujur, aku juga mempunyai perasaan yang sama seperti Bella. Gadis di hadapanku ini tempat keluh kesah yang sebenarnya, tetapi aku harus sadar diri jika kami menjalin hubungan Bella pasti dikucilkan. Kuambil buku kecil dari saku celana dan seperti biasa menulis kalimat.

“Bella kamu orang dan gadis pertama yang mau mengenalku. Selama kita berteman, aku sangat bersyukur Tuhan mengirimkan kamu sebagai kebahagiaan. Jujur, aku juga mencinta kamu.”

Setelah membaca tulisan tersebut tanpa aba-aba Bella langsung memelukku. Kubalas pelukannya dan air mata mengalir tanpa perintah si pemilik, Tuhan izinkan aku egois sekali saja sebelum semua berakhir. Menjalin hubungan dengan Bella merupakan di luar ekspetasiku.

Baca juga  Menantu Idaman

Hari pertama berpacaran kami mengunjungi pantai, tempat pertama bertemu. Aku duduk memandang Bella yang berlari sepanjang pantai dan bermain air, wajahnya tampak bahagia. Sebelum matahari menghilang Bella ikut duduk bersamaku, dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami memandang proses matahari yang mulai tenggelam, sederhana dan menyenangkan.

Ketika matahari sudah berganti menjadi bulan, kami berdua melakukan dinner pertama di rumah makan dekat pantai. Suara bisik yang keras membicarakan kami berdua tetapi Bella memegang tanganku dan tersenyum. Aku mengambil buku dan pena sebagai alat komunikasi kami, meminta maaf kepada Bella karena kekuranganku ia jadi dikucilkan.

“Ren, menjadi tunawicara bukanlah kekurangan melainkan kelebihan yang dititipkan Tuhan kepadamu,” katanya.

Jawaban dari mulut Bella membuatku semakin yakin kalau Bella adalah gadis yang dititipkan Tuhan. Waktu berjalan dengan cepat, hubungan kami sudah berlangsung selama tujuh bulan. Artinya, sisa tiga bulan lagi hidup bersama dengan gadis yang kucintai.

Terhitung sudah lima tahun aku memendam penyakit kanker ini sendirian. Pulang dari kafe, aku menuju rumah sakit untuk memeriksa penyakit ini, tanpa sepengetahuan Bella. Dokter mengatakan harus segera menjalankan operasi, tentunya kutolak karena tidak mempunyai biaya. Setelah permisi kubuka pintu hendak keluar dari ruang dokter dan ada Bella dengan air mata yang mengalir berdiri di depan ruang dokter.

“Sejak kapan dan berapa lama, Ren?” Tanyanya.

Mengerti arah pembicaraan yang diucapkan, aku mengajak Bella ke taman rumah sakit dan menjelaskan semuanya. Bella sangat kecewa karena aku menyembunyikan rahasia sebesar ini. Meskipun begitu dia tetap memberikan pelukan terbaiknya, aku minta maaf berulang kali di dalam hati. Semenjak menceritakan kebohongan terbesarku, Bella semakin posesif. Aku sangat paham dengan sifatnya itu, terlebih lagi waktu kami tinggal sedikit.

“Ren, kamu operasi saja ya. Biayanya kita cari bersama atau aku minta tolong sama ayah,” kata Bella.

Baca juga  Menuai Luka

Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum meskipun operasi kemungkinan selamat sangat kecil. Bella terisak dalam dekapanku, ia mengatakan tidak siap ditinggalkan.

“Bel, ini takdir Tuhan. Namun, aku tetap bersyukur karena sudah mengenalmu,” ucapku dalam hati.

Akhir-akhir ini badanku cepat merasa lelah dan sering merasakan sesak napas. Mungkin, gejala ini sebagai peringatan dari mimpi kemarin. Seminggu di ruangan serba putih. Anehnya, ruangan tersebut mempunyai taman dan air pancur di tengah taman. Mimpi yang singkat tetapi mempunyai makna dalam. Tiba-tiba aku merasakan sesak napas, darah mengalir dari hidung dan wajah tampak kekuningan secara bersamaan. Penglihatan kabur dan aku pingsan.

Saat membuka mata ternyata aku sudah ada di rumah sakit dan Bella menangis. Aku memberikan senyuman terbaik dan menepuk dadaku sebagai petunjuk agar Bella menyandarkan kepalanya. Sebentar saja sebelum waktu tiba. Pintu terbuka, sepasang suami istri datang membawa berbagai macam buah, mereka adalah orangtua gadisku. Hubungan kami memang sudah diketahui oleh mereka sejak lama dan orangtua Bella tidak menolak. Semenjak itu aku yakin kebahagiaan masih berpihak dalam diri ini.

Tiba-tiba suara monitor holter di ruang rumah sakit berbunyi kuat menunjukkan jantungku yang semakin lemah. Kejadian ini pasti akan terjadi, karena itu sebelum bertemu dengan Tuhan, aku memberikan surat untuk gadisku.

Isi surat yang tulus dari hati dan sebagai peninggalan terakhir untuknya. Suara tangisan Bella semakin kuat membuat hati ini sesak melihat buliran air mata yang mengalir di pipi cantiknya. Dokter dan suster tampak sibuk menyelamatkan nyawaku, namun sekuat apapun mereka berusaha tetap Tuhanlah yang mengatur. Bella, maaf aku pergi. ***

Langit Kompak, 15 Juni 202

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!