Cerpen, Mutia A Nst, Waspada

Balada Nikah Muda

3.3
(4)

“KAMU yakin kita coba lagi nih?”

Lelaki berkulit hitam manis itu menganggukkan kepalanya.

Wanita bertubuh kurus itu menghela napas dan mulai mengetik satu huruf di laptopnya.

Sang suami mendekat kemudian mendekap bahu sang istri yang tampak kurang bersemangat.

“Bersemagatlah, Dek. Siapa tahu sekolah ini adalah rezeki kita,” ujar kekasih hati menguatkan.

“Aku merasa lebih baik kita berjualan bubur Bang. Lebih jelas penghasilannya. Lagi pula Abang kan bukan S1 kemungkinan diterima di sekolah ini kecil.”

Perempuan berhidung mancung itu menutup mulutnya.

Sebenarnya sedih hati lelaki yang akrab disapa Arham itu kala istri tercintanya mengatakan hal seperti itu, tapi dalam pernikahan harus selalu ada yang mengalah dan sabar agar tidak terjadi pertengkaran.

Arham merangkul lagi bahu istrinya yang nyaman.

“Abang kan melamar jadi guru ngaji Dek di sekolah itu. Siapa tahu rezeki Abang dan kamu ada di sana. Abang juga pelan-pelan nanti bisa lanjut kuliah lagi di sana. Sudah lanjutkanlah mengetik surat lamaran kita.”

Perempuan cantik yang akrab disapa Kia itu menurut. Meski sudah ditolak beberapa sekolah sebelumnya, namun mengingat semangat suaminya yang begitu menggebu-gebu. Kia jadi tidak menyerah dan menuruti keinginan suaminya untuk bisa bangkit dari ekonomi mereka.

Sebenarnya Kia merasa jualan bubur saja juga sudah cukup memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari apalagi belum dikaruniai anak. Tapi kelihatannya Arham ingin derajat mereka lebih terangkat lagi dengan memiliki pekerjaan yang tetap.

***

Hari interview kerja pun tiba.

Lelaki paruh baya itu merapikan kaca matanya.

“Sudah ada pengalaman mengajar sebelumnya?” Tanya Bapak berkumis tebal itu.

“Su…sudah, Pak, di kursus sewaktu saya masih kuliah,” jawab Kia gugup.

Baca juga  Salah Sasaran

Bapak itu mengangguk sembari terus membaca Cv. Kia.

“Kamu sudah menikah?”

Pertanyaan berat muncul. Kia bingung harus jujur atau berohong saja sebab ia takut tidak diterima. Pengalaman interview sebelumnya mereka selalu kena tolak karena kejujuran mereka mengakui status yang sudah menikah.

“Be… belum, Pak!”

Akhirnya Kia berbohong akan statusnya.

Setelah wawancara selesai.

“Duh sepertinya Abang tidak diterima lagi nih Dek karena ijazah cuma sampai SMA.”

Pesimis namun tetap tersenyum bahagia penuh syukur. Begitulah Arham dengan segala kerendahan hatinya.

Kia menggenggam tangan Arham. Jangan sedih Bang rezeki kita sudah Allah yang atur.

“Iya, Dek. Eh, kamu bagaimana?”

Kia gugup dan belum berani jujur pada suaminya.

“Belum tahu, Bang. Kita lihat saja nanti!” Tutur Kia mengalihkan.

Keesokan harinya.

“Dek…dek…” teriak Arham dari dalam kamar menuju dapur.

“Ada apa, Bang?” Tanya Kia penasaran.

“Abang tidak sengaja buka HP kamu tadi karena penasaran ada pesan masuk. Ternyata isinya adalah pesan dari sekolah yang menyatakan kamu lulus Dek, kamu diterima di sekolah itu.”

Wajah Kia berubah bahagia namun seketika murung mengingat jawabannya saat di wawancara kemarin

“Loh kenapa kamu terlihat tidak bahagia, Dek?” Tanya Arham kebingungan melihat raut wajah istrinya bukan bahagia melainkan sedih.

Seketika Kia bersujud di kaki suaminya bersimbah air mata dan minta maaf.

“Maafkan Kia, Bang, maaf!”

“Kamu kenapa, Dek. Cepat bangun!” Pinta Arham.

Kia mengusap air matanya dan mulai bercerita.

“Sebenarnya semalam saat di wawancara mengenai status pernikahan, Kia tidak jujur Bang. Kia bilang Kia belum menikah.”

“Apa?”

Wajah Arham memerah menahan emosi.

“Tega sekali kamu merahasiakan status pernikahan kita, Dek? Kau tahu aku justru bangga menceritakan kisah nikah muda kita saat aku diwawancarai kemarin. Bapak itu menanyakan alasanku yang belum dua puluh tahun tapi berani menikah dengan wanita yang sudah sarjana dan lebih tua usianya dariku. Aku dengan bangga menjawab karena aku tidak ingin terjadi perzinaan dan ingin mensucikan cintaku padamu.”

Baca juga  Terlatih untuk Kuat

Air mata Kia jatuh kembali mendengar jawaban Arham.

“Ya sudahlah jika memang sudah seperti itu. Kamu masuk saja dahulu ke sekolah itu ya. Nanti kita jelaskan pelan-pelan dengan jujur.”

Kia menurut perintah sang suami.

Sudah satu minggu Kia mengajar di sekolah yang telah menerimanya. Meski diliputi perasaan tidak enak akan ketidak jujuran itu namun ia tetap berusaha profesional dalam bekerja.

“Selamat Pagi.”

Sebuah suara memasuki kantor ruang guru.

Kia menoleh dan melihat kedatangan Arham dengan sekeranjang bubur.

“Pagi Bang. Bu Kia tolong terima pesanan buburnya ya. Saya terima telpon sebentar.”

Kia berjalan terbata-bata menerima bubur dagangan suaminya.

Arham hanya bisa tersenyum dan berusaha bersikap seolah-olah mereka memang tidak saling kenal.

“Wah lezat ya buburnya,” puji salah seorang guru.

“Iya yang dagang juga masih muda dan tampan,” sambut guru yang lain diiringi tawa guru-guru lainnya.

“Ukhuk…ukhuk…” Kia terbatuk-batuk mendengar suaminya dipuji wanita lain.

“Pelan-pelan, Bu Kia!”

Kia tersenyum dan sulit menelan bubur yang ia masak itu.

Malam harinya di rumah. Kia menyerahkan sepucuk surat ke hadapan Arham.

“Surat apa ini?” Tanya Arham penasaran.

“Coba abang baca dan buka,” pinta Kia.

Alangkah terkejutnya Arham membaca isi surat pengunduran diri Kia dari sekolah yang baru menerimanya itu.

“Kamu serius Dek mau berhenti?”

“Iya, Bang. Aku tidak sanggup jika harus terus bersandiwara di hadapan satu sekolah mengenai status pernikahan kita. Belum lagi kejadian tadi siang membuatku semakin berdosa.”

Arham tersenyum, jauh di lubuk hatinya ia bangga memiliki istri seperti Kia.

“Baiklah kalau begitu besok kita jualan bubur lagi ya!”

“Siap, Pak!” Ujar Kia mantap. ***

Loading

Leave a Reply

error: Content is protected !!