Cerpen, Khusnul Khatimah, Pontianak Post

Menjemput Kekasih

4.3
(3)

BAPAK dengar ada ketukan pintu tadi, sudah datangkah Makmu?” tanya Mulyono pada Maharani putrinya.

“Belum Pak, Uteh Wani yang datang, mengantarkan jempot pisang, Bapak mau?”

Mulyono menggeleng pelan, “Cobalah susul Makmu Ran, sudah seminggu ia berkunjung ke rumah nenekmu.”

“Mungkin Mak rindu benar dengan Nenek, sabar ya Pak.”

“Kelak kau akan tahu bagaimana beratnya berpisah dengan suamimu.”

“Rani tidak mungkin meninggalkan Bapak sendiri, butuh waktu seharian ke rumah Nenek,” ujar Rani sambil membantu ayahnya berbaring.

Azan Isya sayup-sayup terdengar dari Surau Wak Roslan di ujung kampung Entubu. Setelahnya suara puji-pujian dan solawat keluar dari mulut-mulut kecil murid Wak Roslan, bukan suara suara takzim. Namun, hiruk pikuk anak-anak yang bersaing mengeluarkan suara paling keras. Wak Roslan tak pernah marah meskipun bocah-bocah itu ribut di surau, hanya diingatkan dengan lembut.

Maharani pergi ke dapur, dan kembali dengan membawa semangkuk bubur yang masih mengepulkan asap.

“Ayo makan Pak, ini resep warisan Mak, biar Rani suap, setelahnya Rani bantu Bapak tayamum.”

Mulyono menggeleng pelan, seharian ini tidak ada makanan apapun yang masuk ke dalam mulutnya. Siang tadi Rani menyuapkan sesendok bubur manis, mual hebat memaksa perutnya untuk memuntahkannya kembali. Selanjutnya tentu saja hanya muntahan kuning yang terasa pahit karena tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan.

“Letakkan saja bubur itu di meja, Ran. Barangkali bapak akan merasa lapar malam nanti, tidurlah di kamarmu, sudah berhari-hari ini engkau kurang tidur, bapak sudah lebih baik, bapak juga bisa tayamum sendiri.”

“Tapi … Pak, Rani mau tidur di samping Ba—?”

“Tidak … tidak,” potong Mulyono, “Engkau juga harus istirahat, nanti Makmu akan marah jika engkau sakit karena merawat bapakmu yang kelewat manja ini.”

Rani meninggalkan kamar Bapaknya dengan ragu-ragu, ia ingin memastikan bahwa bapaknya akan baik-baik saja. Lama sekali ia termangu di ambang pintu dan memandang bapaknya khawatir. Namun, demi dilihatnya sang bapak mengangguk yakin, iapun tidak dapat berbuat banyak.

Baca juga  Bratawali

***

Ketukan di pintu terdengar semakin keras, Mul heran mengapa Maharani putrinya bergeming, tidak peduli dengan ketukan pintu yang tiada jeda. Kantuk menguasai matanya. Namun, ia kenal betul dengan ritme ketukan itu. Siapa lagi yang mengetuk pintu dengan cara aneh begitu, kalau bukan Maryati istrinya. Ketukan dimulai dari pelan, kemudian semakin keras, dan jika ia tidak juga membuka pintu maka teriakan akan terdengar memekakkan telinga. Sebelum teriakan itu benar-benar terdengar, pelan-pelan ia turun dari dipan yang sudah ia gunakan bersama istrinya sejak pengantin baru dulu. Pintu yang terbuat dari kayu bengkirai itu dibukanya perlahan.

Ketika ia melihat istrinya di sana, “Akhirnya engkau kembali Mar, kusangka makanan di rumah Makmu lebih lezat dari rumah kita, hingga engkau lupa pulang,” rajuk Mulyono seperti bocah lima tahun yang tak dibelikan gula-gula.

Maryati melangkah di belakang suaminya yang terus saja mengomel seperti lebah berdengung. Ia yang paham betul perangai suaminya hanya menyunggingkan sebongkah senyum. Semenjak mereka menikah, Mulyono tidak akan pernah membiarkan istrinya beranjak pergi dari sisinya. Bahkan ia rela berhenti kerja dari kota dan menetap di kampung hanya karena istrinya itu tak betah tinggal di kota. Ia yang terbiasa bekerja di balik meja, bersusah payah belajar menyadap getah karet, menanam sahang di tanah yang ia beli dari tabungannya saat masih bekerja di kota dulu. Semua itu ia lakukan demi kebahagiaan istri tercinta.

Mulyono bukan pemuda kaya, tetapi kembang desa dari Kampung Entubu itu memilihnya sebagai pendamping hidup, meskipun hilir mudik pemuda-pemuda kaya berusaha memikat hatinya. Bersyukur mendapat cinta yang berlimpah-limpah dari sang istri, Mulyono mengimbangi dengan selalu berusaha menghadirkan senyum di wajah istrinya.

“Mengapa engkau senyum-senyum sendiri begitu, Bang?” tanya Maryati menyelidik.

Mulyono yang merasa malu karena tertangkap basah sedang melamun sambil senyum-senyum sendiri, buru-buru menggeleng. Ia tak mau istrinya mengetahui apa yang sedang ia pikirkan, bisa besar kepala Maryati kalau tahu apa yang dipikirkannya.

Baca juga  Balap

Tiba-tiba Mulyono merasa oksigen menipis di kamarnya, kedua tangannya menekan-nekan dada seolah dapat menolong paru-parunya agar mampu mengumpulkan oksigen lebih banyak hingga ia terbebas dari sesak yang seminggu belakangan ini selalu datang ketika angin malam berembus dari Bukit Pring.

“Mar-mar, tolong gosokkan balsam itu ke dadaku,” ujar Mulyono menunjuk balsam di atas meja.

Maryati tersenyum, masih dengan senyum yang sama ketika Mulyono membukakan pintu untuknya. Ia paham betul bagaimana manjanya sang suami ketika tidak enak badan. Jika sedang sakit—meskipun hanya masuk angin, ia tidak akan makan jika tak disuapi sang istri.

“Tidak … tidak … jangan menggosok dadamu dengan balsam, biar kuurut saja, balsam akan membuatmu menggigil meskipun awalnya hangat.” ujar Maryati sambil menggosok-gosok dada sang suami.

Sentuhan tangan Maryati, menghilangkan sesak yang membuat Mulyono susah bernafas. Seolah tindihan batu di dadanya itu hilang begitu saja, nafasnya kembali teratur. Tidak ada orang yang bisa memahami dirinya selain Maryati istrinya, tidak juga Maharani putri semata wayang mereka, apalagi wanita lain.

Dalam temaram lampu kamar mereka, wanita di sampingnya itu terlihat segar, wajahnya bersinar bak purnama penuh. Bahkan kecantikan itu sama— tiada berkurang sedikitpun—seperti kecantikan yang melekat pada istrinya saat mereka baru mereguk manisnya kehidupan suami istri dulu.

“Aku rindu padamu Mar, lain kali kalau pergi jangan terlalu lama, apa engkau tidak kasihan padaku?” rajuk Mulyono pada istrinya itu.

“Engkau bahkan tidak akan membiarkan aku memasak di dapur jika sedang di rumah, hanya karena ingin terus berada di dekatku, apakah tidak ada bosannya engkau padaku, Bang?”

“Aku tidak peduli, jika harta yang kukumpulkan dengan susah payah hilang dari tempat penyimpanannya, tetapi tidak ada yang bisa merenggutmu dariku, meski itu hanya kenangannya.”

Maryati tersenyum, senyum lebar yang membuat kedua lesung pipinya terlihat jelas. Senyum yang Mulyono kagumi, senyum yang dulu membuat banyak lelaki tergila-gila padanya.

“Semua orang mengatakan engkau amat beruntung mendapatkanku, sesungguhnya akulah yang beruntung mendapatkan cinta yang tumpah ruah darimu,” ujar Maryati sambil menggenggam tangan suaminya.

Baca juga  Perbincangan setelah Magrib

Mulyono memeluk istrinya, air mata mengalir dari kedua kelopak matanya. Lama sekali mereka berpelukan, seolah bertahun-tahun tiada berjumpa, padahal hanya seminggu berselang.

“Jangan pergi lagi ya, Mar? Aku bisa gila kalau engkau jauh-jauh dariku,” pinta Mulyono sambil mengecup lembut jemari istrinya.

“Sebenarnya Mak belum mau kutinggalkan, aku hanya ingin menjengukmu sebentar, tetapi melihat keadaanmu, aku tak tega, ikutlah denganku, Bang.”

“Baiklah, tapi kita harus berpamitan pada Rani, nanti dia akan mencari-cari keberadaan kita.”

“Rani akan tahu kemana kita pergi saat bangun nanti, biarkan dia istirahat, dia tentu letih berhari-hari menjagamu yang manja ini, lagian kendaraan yang mengantarku ke sini tadi sudah terlalu lama menunggu di luar.” ujar Maryati sambil menggandeng mesra tangan suaminya.

“Jadi engkau pulang hanya untuk menjemputku?”

“Sebenarnya hanya ingin menjenguk, tetapi rupanya engkau tidak bisa lama-lama jauh dariku, seminggu berjauhan dariku tentu akan menjadi siksaan bagimu bukan?”

Mulyono tertawa mendengar apa yang dikatakan sang istri. Ia merasa seperti anak remaja yang diam-diam mengagumi seorang gadis manis yang ternyata juga mengaguminya. Gayung bersambut, demikian pikirnya. Ia mengikuti istrinya yang melangkah sambil menggandeng tangannya, meninggalkan kamar penuh cinta milik mereka berdua. Saling bergandengan tangan seolah hendak berkejaran di hamparan ilalang yang sedang berbunga.

***

Maharani berjongkok di antara dua makam yang masih basah, menaburkan bunga melati yang ia bawa dengan keranjang dari anyaman rotan. Masing-masing seikat mawar merah diletakkan pada kedua pusara tersebut, doa-doa ia panjatkan. Sebelum pergi, dielusnya dua batu nisan itu bergantian.

“Sudahkah Bapak bertemu dengan Emak di sana? berbahagialah kalian berdua berkumpul di surga yang abadi.” ***

Noyan, 2 September 2021

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!